Prajurit Polri untuk Sasaran Tembak
Oleh: Bambang Soesatyo
SERANGAN mematikan dan penganiayaan terhadap prajurit Polri di
lapangan tiba-tiba menjadi kecenderungan baru. Kecenderungan ini harus
dihentikan untuk mencegah terbentuknya persepsi masyarakat bahwa prajurit Polri
semakin melemah dari waktu ke waktu.
Prajurit Polri, kini, menjadi incaran pelaku teror, pengedar
narkoba hingga begal di jalanan. Pelaku kejahatan di kota-kota besar sudah
membekali diri dengan senjata api, umumnya pistol.
Bagaimana semua senjata api ilegal itu bisa dimiliki warga sipil
di perkotaan, tentu persoalannya pun terpulang kepada Polri. Kini, banyak orang
sudah beranggapan bahwa tidak sulit memiliki senjata api. Konon, ada pasar
gelapnya. Senjata api selundupan banyak dimasukkan dari pelabuhan Dumai.
Lalu, mendapatkan izin untuk memiliki dan membawa senjata api
jenis pistol tidak sulit-sulit amat. Anggapan publik ini mudah-mudahan diterima
sebagai masukan sekaligus kritik. Karena senjata api mudah didapatkan, pelaku
kejahatan tentu saja berupaya memiliki dan menggenggam pistol.
Kesan yang muncul menjadi kontradiktif. Soalnya, sementara banyak
pelaku kejahatan lalu lalang di jalan dengan pistol di saku, banyak polisi yang
bertugas di lapangan justru sering hanya bermodalkan seragam, minus senjata.
Jadi, alih-alih menangkap pelaku kejahatan, polisi justru bisa
menjadi korban pelaku kejahatan dengan senjata api. Belasan tahun lalu, ketika
senjata api seperti pistol masih menjadi barang langka karena ketatnya
pengawasan, para pelaku kejahatan hanya melengkapi aksi dengan senjata tajam.
Risiko bagi prajurit Polri di lapangan relatif minim saat
berhadap-hadapan dengan pelaku tindak kriminal dalam jarak tertentu. Zaman
berubah, tantangan pun berubah. Itulah kecenderungan baru yang perlu dicermati
pimpinan Polri dan seluruh jajarannya.
Selain pelaku teror, penggunaan senjata api oleh pelaku kejahatan
mulai marak terutama di lingkungan perkotaan. Kecenderungan itu bahkan sangat
menonjol belakangan ini di seputar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan
wilayah lain di sekitarnya.
Kini, ancaman terhadap prajurit Polri yang sedang bertugas di
lapangan tidak hanya dimunculkan oleh kelompokkelompok teroris. Pengedar
narkoba dan pelaku begal motor pun sudah menjadi ancaman nyata.
Fakta Beruntun
Anggota Reskrim Polsek Pesanggarahan, Bripka Saefudin, harus
kehilangan satu ginjal akibat tembakan begal motor di Cipondoh, Tangerang.
Operasi pengangkatan satu ginjal itu dilakukan pada Jumat (10/6) malam di RS
Omni, Alam Sutera, Serpong.
Kondisinya sempat drop karena kehilangan banyak darah akibat
tembakan. Bripka Saefudin bersama rekannya, Aipda Gofur, terlibat baku tembak
dengan dua begal motor. Bripka Saefudin tertembak di perut, sedangkan Aipda
Gofur luka tembak di tangan sebelah kiri.
Bulan Januari lalu, warga Jakarta dikejutkan oleh aksi perlawanan
kelompok pengedar narkoba terhadap lima anggota polisi Satuan Narkoba Polres
Metro Jakarta Pusat. Peristiwa itu terjadi di Jalan Slamet Riyadi, Matraman
Jakarta Timur, pada Senin 18 Januari 2016.
Perlawanan kelompok pengedar narkoba berujung dengan tewasnya
Bripka Taufik Hidayat. Almarhum meninggal dengan cara diduga dilempar ke Sungai
Ciliwung. Dalam hitungan jam setelah peristiwa di Matraman itu, giliran polisi
Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Barat menjadi korban penembakan, Selasa
(19/1).
Kasubnit Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Barat, Iptu
Supriyatin dan anggotanya Bripka Aris Dinanta, ditembak oleh pengedar narkoba
bernama Faisal Rahman alias Ical (30).
Pada pekan pertama Maret 2016, dua anggota polisi dari Polsek
Bandung Kidul, Bripka Meki dan Brigadir Mardiansyah, harus dilarikan ke rumah
sakit setelah ditembak secara brutal oleh Ujang, tersangka begal motor.
Ujang menembaki kedua polisi itu menggunakan senjata yang dia
rampas dari Mardiansyah. Tidak hanya ditembak, prajurit Polri pun dianiaya.
Sepuluh lelaki cepak dan berbadan tegap menganiaya seorang anggota polisi lalu
lintas di traffic light Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Minggu (15/5).
Lalu, jelang akhir Mei 2016 lalu, Aiptu Djoko Suwahyo (53),
anggota Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Selatan, menjadi korban
pemukulan pengendara yang tidak terima ditilang.
Peristiwa itu terjadi di depan Bank Jabar, Jalan Ciledug Raya,
Cipulir, Kebayoran Lama. Tidak mengada-ada jika rangkaian peristiwa itu
dimaknai sebagai kecenderungan baru. Siapa pun tentu tidak ingin kecenderungan
seperti itu berlanjut.
Sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, Polri harus kuat. Kesan
tentang Polri yang kuat dan sigap harus selalu melekat di benak masyarakat.
Itulah pentingnya bagi Polri berupaya menghentikan penembakan dan penganiayaan
terhadap prajurit yang sedang bertugas di ruang publik.
Jika kecenderungan itu berkelanjutan, akan muncul kesan atau
persepsi bahwa prajurit Polri yang sedang bertugas dalam posisi lemah. Sangat
relevan untuk mengaitkan catatan ini dengan momentum pergantian Kapolri.
Presiden Joko Widodo telah memastikan bahwa keputusan soal calon
Kapolri baru ditetapkan sebelum Lebaran. Salah satu agenda kerja pimpinan Polri
yang baru adalah menjadikan prajurit yang sedang bertugas di ruang publik lebih
waspada dan sigap merespons ancaman. []
SUARA MERDEKA, 14 Juni 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar