”Reality Show”
Oleh: Budiarto Shambazy
Jujur saja, sampai hari ini nyaris tak ada berita politik yang
lebih seksi dibandingkan dengan berita tentang Gubernur DKI Basuki Tjahaja
Purnama. Fenomena ”Ahokmania” mungkin telah menyaingi ”Jokowimania” beberapa
tahun lalu.
Padahal, pemilihan gubernur (pilgub) DKI baru akan berlangsung
tahun depan. Namun, hebohnya sudah terasa sejak beberapa bulan terakhir dan
sampai saat ini. Ketegangan itu, termasuk pengumpulan fotokopi KTP oleh Teman
Ahok untuk memenuhi persyaratan mengikuti pilkada dari jalur perseorangan,
diperkirakan akan makin meningkat sampai pelaksanaan pilgub pada Februari 2017.
Sepak terjang Basuki di media massa selalu cepat diperbarui dan
bertalu-talu selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Jangan tanya bagaimana
di media sosial, Anda pasti tidak ketinggalan mengikuti isu demi isu secara
saksama.
Kita sudah lama memasuki era reality show. Istilah ini merujuk
pada program televisi yang menyajikan kehidupan sehari-hari tokoh publik atau
selebritas terkenal.
Kini, Basuki jadi pemeran utama reality show yang mungkin berjudul
Ahokmania. Para pemeran pembantunya berderet, antara lain para bakal calon
gubernur, sejumlah ketua umum partai politik, politisi kunci di DPRD DKI,
Komisi Pemberantasan Korupsi, perusahaan-perusahaan pengembang, dan Teman Ahok.
Jika reality show ini berlangsung sekali sepekan, skenario atau
plotnya berjibun sehingga sutradara enak menggantinya dengan cepat. Pekan ini,
ceritanya soal dugaan korupsi Rumah Sakit Sumber Waras, pekan depan misteri
reklamasi, pekan berikutnya rumor penggusuran Masjid Luar Batang, dan
seterusnya.
Reality show ini penuh konflik, suspense, dan kadang juga fitnah
yang memecah. Oleh sebab itulah, ia menciptakan keterbelahan antara ”Ahok
lovers” atau ”Ahokers” melawan para ”haters”.
Suka atau tidak, memang muncul anggapan bahwa Basuki masuk dalam
kategori figur yang cenderung memecah belah dukungan secara tajam. Ibaratnya,
ia mudah berteman, tetapi gampang pula membuat musuh.
Dalam pemahaman Ahokers, Basuki hanya ingin bekerja sebaik-baiknya
untuk warga Ibu Kota. Sebaliknya, para haters juga tak keliru ketika melihat
dengan attitude problem yang diperlihatkan Basuki, terutama lewat mulutnya.
Dan, sebenarnya Ahokers ataupun haters meributkan hal-hal yang
membuat pusing tujuh keliling publik awam. Tak banyak warga Jakarta yang paham
diskresi atau kontribusi tambahan yang berkaitan dengan reklamasi pantai utara
Jakarta.
Warga lebih memperhatikan ternyata pada musim hujan kali ini
Jakarta yang tidak lagi kebanjiran. Setidaknya, genangan air di sejumlah tempat
hilang dalam beberapa jam saja dibandingkan pada masa lalu yang bisa
berhari-hari.
Tak ada lagi wartawan televisi yang nyemplung ke dalam banjir
sambil melaporkan kondisi kekinian dengan embel-embel ”Breaking News”. Juga
jarang terlihat pula perahu-perahu karet yang masuk ke permukiman miskin untuk
mengungsikan warga yang sakit atau uzur.
Dan, jujur saja, ke mana pun Anda pergi, Ibu Kota relatif telah
bersih. Ini semua berkat kerja keras pasukan oranye dan juga berkat ketua RW/RT
yang memanfaatkan aplikasi Qlue untuk melaporkan kondisi lingkungan
masing-masing.
Terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu prestasi Basuki,
juga Jokowi sebagai gubernur, yang telah dinikmati oleh warga Jakarta. Oleh
sebab itu, sejumlah survei memperlihatkan, sampai saat ini Basuki memiliki
kemungkinan terpilih kembali memimpin Ibu Kota untuk periode 2017-2022.
Ini semua menguak sebuah fakta positif tentang demokrasi kita yang
terhitung baru lahir tahun 1998. Ternyata demokrasi kita tak lagi sekadar prosedural
dan terkonsolidasi, tetapi juga mulai berkualitas.
Kualitas yang dimaksud adalah prestasi sejumlah pemimpin, dalam
hal ini kepala daerah, dalam membenahi kabupaten/kota dan provinsi
masing-masing. Dan, ternyata, respons publik semakin hari semakin apresiatif
terhadap para pemimpin masing-masing.
Publik tidak lagi seperti obat nyamuk yang lebih banyak bengong
saja mengikuti kemauan pemimpin mereka seperti yang terjadi pada masa Orde
Baru. Publik secara perlahan-lahan menikmati kualitas demokrasi tersebut dengan
kesadaran akan hak-haknya dan, tentu saja, kewajiban-kewajibannya sebagai warga
yang baik.
Tidak ada lagi fenomena publik yang too dumb to be governed karena
para pemimpin tidak lagi too dumb to govern. Oleh sebab itu, nikmati saja
reality show sekali sepekan yang berjudul Ahokmania itu. []
KOMPAS, 11 Juni 2016
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar