Kuda Putih Kiai As'ad
Judul
: K.H.R. As'ad Syamsul Arifin Kesatria Kuda Putih Santri Pejuang
Penulis
: Ahmad
Sufiatur Rahman
Penerbit
: Tinta
Medina
Cetakan
: Mei, 2015
Tebal
: xxxviii + 210 halaman
ISBN
: 978-602-72129-7-8
Peresensi
: Mukhamad Zulfa, Pegiat Diskusi Rabu Sore IDEASTUDIES Semarang
Perjuangan bangsa
Indonesia meraih kemerdekaan bukanlah perkara mudah. Butuh perjuangan keras
untuk mempertahankan hingga sekarang ini. KHR As'ad Syamsul Arifin merupakan
salah satu tokoh yang menggelorakan semangat juang untuk melanggengkan NKRI
dari agresi militer Belanda I. Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah
Sukorejo ini rela mengorbankan waktu, tenaga, harta serta pemikirannya untuk
mempertahankan wilayah kesatuan NKRI.
Melalui novel K.H.R.
As'ad Syamsul Arifin Kesatria Kuda Putih Santri Pejuang ini kita diajak penulis
menyelami sejarah bangsa. Karya berbasis sejarah ini merupakan cara terbaik
untuk menggambarkan betapa dahsyatnya pertempuran yang menguras banyak tenaga.
Meski terdapat sisi kekurangan berupa keterbatasan data sejarah dan hanya
mengandalkan rujukan dari buku Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat (2009), tentu
juga menjadi kendala tersendiri bagi penulis untuk berhati-hati menggunakan sejarah
di lapangan. Namun, disisi lain penulis harus jeli dalam menggali data yang
ada.
Tokoh utama bernama
Yusuf, santri yang memiliki tekad kuat dalam mengemban amanah sebagai seorang
kurir (penyampai pesan). Perjalanan Yusuf inilah yang membawa kita menelusuri
perjuangan Kiai As'ad dalam berbagai pergerakan untuk menyusun strategi hingga
melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda.
Novel ini berlatar
belakang tahun 1947, dimana Belanda menyebut operatie product untuk merebut
daerah yang kaya sumber daya alam. Belanda mendarat di Pasir Putih Situbondo
dan Teluk Meneng Banyuwangi. Kiai As'ad dan Barisan Pelopor memulai perjalanan
merebut senjata di gudang mesiu Desa Dabasah Bondowoso. Begitulah kronik
sejarah yang terjadi. (halaman xxix)
Yusuf sempat gentar
karena berulang kali mendapat peringatan ibunya. Hal ini wajar, sebagai orang
tua tentu merasa was-was terhadap anaknya. Karena diceritakan bahwa ayah Yusuf
tak kembali dari laskar hingga cerita ini rampung. Di sisi lain, kakek Yusuf
memiliki jiwa yang kuat untuk merebut kemerdekaan karena dengan sebilah keris
pernah digunakan untuk melawan penjajah. Ketika memandang cucunya ini memiliki
rasa kebanggaan yang bercampur cemas karena sudah seringkali kehilangan orang
tercintanya. Mungkin semangat juang inilah yang menurun pada cucunya.
"Sudah lama tak
kelihatan. Apa ibumu masih menahanmu di rumah?" ujar Kiai As'ad sembari
membuka tutup pipa besi untuk mengambil surat yang tergulung di dalamnya.
(halaman 15)
Dalam berjuang
melawan Belanda, kiai As'ad tidak sendirian. Bersama kiai lain, ia berembug
strategi, termasuk membentuk Barisan Pelopor. Komando gerakan ini berada dalam
tangan beliau. Selain itu, barisan Pelopor ini sangat agamis. Dalam berjuang
kiai As'ad selalu mengingatkan akan niat jihad fi sabilillah, semata-mata untuk
menegakkan agama dan negara.
Kiai As'ad juga
merangkul perampok, penjudi dan bajingan masuk anggota Pelopor. Alasan ini agar
mereka sadar dan bertobat kepada Allah. Di sisi lain, keahlian dan kemampuan
mereka ini bila dikelola dengan baik dan digunakan dengan tepat akan bermanfaat
untuk menegakkan syiar Islam. Hal inipun ternyata ampuh dilakukan Kiai As'ad
dalam merekrut mereka untuk berjuang bersama.
Selain Yusuf dan
sosok Kiai As'ad terdapat Letnan Sufyan yang hadir dalam novel ini. Nama Sufyan
merupakan rekaan penulis yang terinspirasi dari kisan Letnan Dua beserta
pasukannya dari Sidoarjo, Mojokerto dan Malang yang menjaga pesisir pantai Jawa
Timur, khususnya ketika terjadi baku tembak di Pasir Putih, Situbondo 1947.
(halaman 29) Penulis menggambarkan perjalanan Sufyan ini dengan penuh heroik
melakukan gerilya menghambat pergerakan pasukan Belanda yang baru mendarat di
pesisir.
Judul buku Kuda
Putih, merupakan kisah nyata kehidupan Kiai As'ad. Pada saat perang gerilya
ini, Kiai As'ad sering menunggang kuda putih, warna kegemarannya. Karena itu,
ia dikenal pula dengan sebutan "Satria Kuda Putih. Mengapa, menggunakan
kuda putih? "Nabi Ibrahim kudanya juga putih," jelasnya suatu hari
kepada wartawan Tempo edisi 15 Oktober 1983. (Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat:
2009)
Karya semacam ini ke
depan perlu kita perbanyak untuk menuliskan sejarah bangsa ini. Perjalanan Kiai
As'ad ini telah diadakan peringatan dengan menggelar napak tilas tempat yang
pernah disinggahi untuk bergerilya semenjak 2014. Selain seorang pejuang, kiai
kelahiran Makkah dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maemunah ini produktif
dalam menulis diantaranya, Ekonomi dalam Islam, Syair Madura, Risalah Shalat
Jum'at, Isra' Mi'raj, Tsalats Rasail, Tarikh Perjuangan Islam Indonesia,
Risalah al-Tauhid, al-Aurad al-Yaumiyyah dan karya lain yang masih dalam bentuk
tulisan tangan.
Dengan membaca novel
berbasis sejarah seperti ini, kita diajak penulis untuk terus mengingat
kepahlawanan founding fathers untuk menguatkan nasionalisme. Indonesia ini tak
hanya memiliki kekayaan alam. Begitu pula dengan pemikiran liberal hingga
fundamental serta moderat tumbuh berdampingan membentuk Indonesia yang guyub
dan rukun. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar