Kamis, 23 Juni 2016

(Buku of the Day) K.H.R. As'ad Syamsul Arifin Kesatria Kuda Putih Santri Pejuang



Kuda Putih Kiai As'ad


Judul                : K.H.R. As'ad Syamsul Arifin Kesatria Kuda Putih Santri Pejuang 
Penulis             : Ahmad Sufiatur Rahman 
Penerbit            : Tinta Medina 
Cetakan            : Mei, 2015
Tebal                : xxxviii + 210 halaman 
ISBN                 : 978-602-72129-7-8 
Peresensi          : Mukhamad Zulfa, Pegiat Diskusi Rabu Sore IDEASTUDIES Semarang

Perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan bukanlah perkara mudah. Butuh perjuangan keras untuk mempertahankan hingga sekarang ini. KHR As'ad Syamsul Arifin merupakan salah satu tokoh yang menggelorakan semangat juang untuk melanggengkan NKRI dari agresi militer Belanda I. Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo ini rela mengorbankan waktu, tenaga, harta serta pemikirannya untuk mempertahankan wilayah kesatuan NKRI.

Melalui novel K.H.R. As'ad Syamsul Arifin Kesatria Kuda Putih Santri Pejuang ini kita diajak penulis menyelami sejarah bangsa. Karya berbasis sejarah ini merupakan cara terbaik untuk menggambarkan betapa dahsyatnya pertempuran yang menguras banyak tenaga. Meski terdapat sisi kekurangan berupa keterbatasan data sejarah dan hanya mengandalkan rujukan dari buku Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat (2009), tentu juga menjadi kendala tersendiri bagi penulis untuk berhati-hati menggunakan sejarah di lapangan. Namun, disisi lain penulis harus jeli dalam menggali data yang ada.

Tokoh utama bernama Yusuf, santri yang memiliki tekad kuat dalam mengemban amanah sebagai seorang kurir (penyampai pesan). Perjalanan Yusuf inilah yang membawa kita menelusuri perjuangan Kiai As'ad dalam berbagai pergerakan untuk menyusun strategi hingga melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda.

Novel ini berlatar belakang tahun 1947, dimana Belanda menyebut operatie product untuk merebut daerah yang kaya sumber daya alam. Belanda mendarat di Pasir Putih Situbondo dan Teluk Meneng Banyuwangi. Kiai As'ad dan Barisan Pelopor memulai perjalanan merebut senjata di gudang mesiu Desa Dabasah Bondowoso. Begitulah kronik sejarah yang terjadi. (halaman xxix)

Yusuf sempat gentar karena berulang kali mendapat peringatan ibunya. Hal ini wajar, sebagai orang tua tentu merasa was-was terhadap anaknya. Karena diceritakan bahwa ayah Yusuf tak kembali dari laskar hingga cerita ini rampung. Di sisi lain, kakek Yusuf memiliki jiwa yang kuat untuk merebut kemerdekaan karena dengan sebilah keris pernah digunakan untuk melawan penjajah. Ketika memandang cucunya ini memiliki rasa kebanggaan yang bercampur cemas karena sudah seringkali kehilangan orang tercintanya. Mungkin semangat juang inilah yang menurun pada cucunya.

"Sudah lama tak kelihatan. Apa ibumu masih menahanmu di rumah?" ujar Kiai As'ad sembari membuka tutup pipa besi untuk mengambil surat yang tergulung di dalamnya. (halaman 15)

Dalam berjuang melawan Belanda, kiai As'ad tidak sendirian. Bersama kiai lain, ia berembug strategi, termasuk membentuk Barisan Pelopor. Komando gerakan ini berada dalam tangan beliau. Selain itu, barisan Pelopor ini sangat agamis. Dalam berjuang kiai As'ad selalu mengingatkan akan niat jihad fi sabilillah, semata-mata untuk menegakkan agama dan negara.

Kiai As'ad juga merangkul perampok, penjudi dan bajingan masuk anggota Pelopor. Alasan ini agar mereka sadar dan bertobat kepada Allah. Di sisi lain, keahlian dan kemampuan mereka ini bila dikelola dengan baik dan digunakan dengan tepat akan bermanfaat untuk menegakkan syiar Islam. Hal inipun ternyata ampuh dilakukan Kiai As'ad dalam merekrut mereka untuk berjuang bersama.

Selain Yusuf dan sosok Kiai As'ad terdapat Letnan Sufyan yang hadir dalam novel ini. Nama Sufyan merupakan rekaan penulis yang terinspirasi dari kisan Letnan Dua beserta pasukannya dari Sidoarjo, Mojokerto dan Malang yang menjaga pesisir pantai Jawa Timur, khususnya ketika terjadi baku tembak di Pasir Putih, Situbondo 1947. (halaman 29) Penulis menggambarkan perjalanan Sufyan ini dengan penuh heroik melakukan gerilya menghambat pergerakan pasukan Belanda yang baru mendarat di pesisir.

Judul buku Kuda Putih, merupakan kisah nyata kehidupan Kiai As'ad. Pada saat perang gerilya ini, Kiai As'ad sering menunggang kuda putih, warna kegemarannya. Karena itu, ia dikenal pula dengan sebutan "Satria Kuda Putih. Mengapa, menggunakan kuda putih? "Nabi Ibrahim kudanya juga putih," jelasnya suatu hari kepada wartawan Tempo edisi 15 Oktober 1983. (Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat: 2009)

Karya semacam ini ke depan perlu kita perbanyak untuk menuliskan sejarah bangsa ini. Perjalanan Kiai As'ad ini telah diadakan peringatan dengan menggelar napak tilas tempat yang pernah disinggahi untuk bergerilya semenjak 2014. Selain seorang pejuang, kiai kelahiran Makkah dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maemunah ini produktif dalam menulis diantaranya, Ekonomi dalam Islam, Syair Madura, Risalah Shalat Jum'at, Isra' Mi'raj, Tsalats Rasail, Tarikh Perjuangan Islam Indonesia, Risalah al-Tauhid, al-Aurad al-Yaumiyyah dan karya lain yang masih dalam bentuk tulisan tangan.

Dengan membaca novel berbasis sejarah seperti ini, kita diajak penulis untuk terus mengingat kepahlawanan founding fathers untuk menguatkan nasionalisme. Indonesia ini tak hanya memiliki kekayaan alam. Begitu pula dengan pemikiran liberal hingga fundamental serta moderat tumbuh berdampingan membentuk Indonesia yang guyub dan rukun. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar