Generasi
Penikmat
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Orang
arif-bijaksana mengingatkan kita semua untuk hati-hati dan waspada ketika
terjadi peralihan generasi, baik peralihan generasi pada ranah keluarga,
perusahaan, maupun bangsa.
Kita
mengenal empat tipologi generasi yaitu generasi pendiri, pembangun, penikmat,
dan generasi perusak. Dalam konteks berbangsa dan bernegara di depan mata kita
terpampang wajah-wajah siapa saja yang masuk ke dalam kategori pendiri bangsa,
pembangun bangsa, penikmat hasilpembangunan, dan perusak hasil pembangunan.
Naluri orang tua itu selalu ingin membahagiakan anak-anaknya.
Para
pejuang 45 misalnya, yang dahulu hidupnya susah semasa zaman Belanda dan
Jepang, selalu saja diceritakan kepada anak cucu bagaimana susahnya cari makan,
pakaian, dan menempuh pendidikan. Dan, semua itu tidak ingin dialami oleh
generasi penerusnya. Maka itu, ketika mereka akhirnya sukses lalu cenderung
memanjakan anak-cucunya.
Cukuplah
orang tua yang menderita, anak-anaknya yang panen menikmati hidup. Cinta kasih
kepada anak adalah mulia, terpuji. Itu ibarat madu yang manis dan menyehatkan.
Tetapi, memanjakan sehingga anak-anak tidak memiliki mental juang dan tahan
banting adalah racun. Dan, itu akan merugikan perjalanan sebuah bangsa.
Maka itu,
kita lihat banyak anakanak yang orang tuanya termasuk pendiri dan pembangun
bangsa, tapi mereka lalu hidup dalam zona nyaman sebagai penikmat pembangunan
yang diwariskan ayahnya. Pada zona ini terbuka dua kemungkinan, adakah akan
bangkit dan maju dengan fasilitas yang serbaberkecukupan ataukah akan tergelincir
jadi generasi perusak?
Saya
mengamati, ada beberapa pendiri dan pemilik perusahaan besar dan termasuk
jajaran puncak piramida orangorang terkaya di Indonesia, tetapi langsung
merosot tajam begitu beralih ke generasi anak, belum lagi ke cucu. Ini juga
terjadi pada keluarga mantan pejabat tinggi negara, yang gagal melakukan
kaderisasi.
Meski
begitu, ada juga perusahaan dan karier kehidupan yang semakin maju diteruskan
oleh anakanaknya. Orang bilang, keunggulan generasi kelas menengah itu untuk
naik ke atas tidak sesulit kelas bawah. Dan, kalaupun jatuh, sakitnya juga
tidak sesakit jatuhnya kelas atas. Sungguh menarik mengamati dan belajar dari
kebangkitan generasi penerus sebuah bangsa, terutama negara tetangga.
Misalnya
saja Jepang, Korea Selatan, Singapura, Filipina, ataupun Malaysia. Belajar
keras, bekerja keras, dan disiplin sangat ditekankan pada anak-anak Jepang,
Korea Selatan, dan Singapura. Generasi kedua dan ketiga disiapkan untuk maju
ikut berkompetisi dalam panggung keilmuan, teknologi, dan ekonomi, meneruskan
serta mewujudkan cita-cita pendiri bangsanya. Mereka disadarkan dan disiapkan
bahwa hidup itu penuh persaingan. Bahkan lawan selalu mengintipnya. Jika
lengah, pasti akan kalah tergilas. []
KORAN
SINDO, 03 Juni 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar