Selasa, 21 Juni 2016

Satrawi: Merevolusi Mental Pemberantasan Terorisme



Merevolusi Mental Pemberantasan Terorisme
Oleh: Hasibullah Satrawi

IBARAT manusia, ada penyakit yang sangat serius dalam upaya-upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan selama ini di Indonesia. Yaitu penyakit "mental".

Dalam hemat penulis, penyakit itulah yang membuat pemberantasan terorisme selama ini gagal mencapai tujuan yang diharapkan: mencegah pengembangan jaringan terorisme, menyembuhkan mereka-mereka yang terpapar keyakinan yang bercorak teroristis, dan menyadarkan masyarakat luas terkait pentingnya perdamaian.

Penyakit mental dalam upaya pemberantasan terorisme dapat dilihat dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan. Berupa penindakan secara bersenjata, penegakan hukum dengan hukuman yang berat dan pencegahan, termasuk program pelatihan kewirausahaan ataupun penguatan ekonomi bagi mereka yang terpapar keyakinan terorisme.

Pendekatan Gagal

Dilihat dari perkembangan yang ada, pendekatan-pendekatan seperti di atas telah gagal menyelesaikan persoalan terorisme. Penindakan secara bersenjata, contohnya, hanya mampu membunuh para teroris yang sudah ditarget maupun telah menampakkan diri di lokasi tertentu. Keyakinannnya (isme) dan para teroris lain yang bersembunyi atau belum ditarget tidak terbunuh oleh senjata aparat.

Kegagalan pendekatan penindakan secara bersenjata tak hanya terjadi di Indonesia. Keberadaan ISIS saat ini bisa dijadikan salah satu contoh. Mengingat ISIS berkembang setelah Amerika Serikat dan sekutunya menghancurkan Afghanistan yang dianggap menjadi sarang bagi jaringan Al Qaeda. Alih-alih terorisme selesai, kini justru muncul ISIS yang jauh lebih canggih dan sadis daripada Al Qaeda.

Pendekatan penegakan hukum dengan hukuman yang berat kurang lebih mengalami kegagalan serupa. Sebagian bahkan telah dihukum mati seperti trio pelaku bom Bali I.

Alih-alih jera karena hukuman yang berat, sebagian teroris yang sudah keluar dari penjara dengan seluruh hukuman yang diterima justru terlibat dalam penyerangan lain yang lebih brutal. Misalnya yang dilakukan para pelaku penyerangan di Jalan Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kegagalan kurang lebih sama terjadi dalam pendekatan pencegahan. 

Secara teoretis, jaringan terorisme tidak akan terus berkembang bila tidak ada regenerasi atau pihak-pihak yang bermigrasi (atau hijrah dalam bahasa mereka) dari luar jaringan. Belakangan regenerasi jaringan terorisme justru menarget anak-anak muda yang masih aktif di bangku sekolah.

Pendekatan kewirausahaan maupun penguatan ekonomi bagi para teroris mengalami kegagalan kurang lebih sama. Dalam beberapa peristiwa, penguatan ekonomi justru dijadikan momentum untuk mengorganisasi kembali jaringan maupun kekuatan lama. Contohnya beberapa tokoh di balik peristiwa Komando Jihad pada 1962.

Revolusi Mental

Karena itu, harus ada perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam upaya pemberantasan terorisme ke depan. Salah satunya dengan menghadirkan perspektif korban dalam upaya-upaya pemberantasan terorisme. Baik secara konseptual maupun implementatif.

Mengapa perspektif korban ini penting? Tak lain karena para korbanlah yang selama ini mengalami dan merasakan dampak langsung dari kejahatan terorisme. Bila suatu keahlian harus dibangun berdasar rasa dan pengalaman (kata tokoh-tokoh empirisme), sejatinya para korbanlah yang ahli tentang terorisme. Sebab, kata ahli tasawuf, man lam yazuq lam yasu'ur (orang yang tak pernah mencicipi tak akan pernah merasa).

"Rasa keahlian" para korban terkait terorisme sangat murni. Sebab, mereka menjadi ahli terorisme bukan karena tuntutan tugas seperti aparat atau tuntutan profesi seperti pengamat dan akademisi. Melainkan karena terpilih.

Dari segi hukum dan keamanan, apa yang dialami para korban terorisme merupakan bukti kegagalan negara dan aparat dalam melindungi segenap warganya.

Ketentuan perundangan-undangan maupun regulasi dapat dijadikan cermin untuk melihat sikap negara yang abai terhadap pemenuhan hak-hak dan peran korban terorisme. Sejauh ini hanya ada satu undang-undang (UU) yang secara tegas mengatur hak-hak korban terorisme, yaitu UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 
Padahal, banyak korban yang sudah menderita jauh tahun sebelumnya. UU itu pun belum diimplementasikan secara optimal dalam pemenuhan hak-hak korban.

Di luar UU 31/2014, sesungguhnya ada dua regulasi lain yang juga terkait dengan hak-hak korban terorisme. Yaitu UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpres 12/2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tapi, dua regulasi di atas selama ini nyaris tidak bermakna apa pun bagi pemenuhan hak-hak dan peran korban.

Saat ini pemerintah dan DPR mulai membahas draf revisi atas UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Revisi itu harus dijadikan momentum oleh semua pihak untuk menciptakan revolusi mental dalam upaya pemberantasan terorisme sesuai dengan visi Presiden Jokowi selama ini.

Dengan demikian, revisi tersebut tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat penindakan, penegakan, dan pemberatan hukuman yang selama ini kurang efektif dalam upaya penyelesaian terorisme. Revisi itu juga harus menyentuh hal-hal yang bersifat fundamental, termasuk pemenuhan hak-hak korban terorisme. Khususnya pemberian kompensasi secara mudah nan cepat dan jaminan negara atas seluruh pembiayaan medis korban pada masa-masa kritis sesaat setelah kejadian aksi terorisme. []

JAWA POS, 13 Juni 2016
Hasibullah Satrawi ;   Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida) Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar