Merevolusi
Mental Pemberantasan Terorisme
Oleh:
Hasibullah Satrawi
IBARAT
manusia, ada penyakit yang sangat serius dalam upaya-upaya pemberantasan
terorisme yang dilakukan selama ini di Indonesia. Yaitu penyakit
"mental".
Dalam
hemat penulis, penyakit itulah yang membuat pemberantasan terorisme selama ini
gagal mencapai tujuan yang diharapkan: mencegah pengembangan jaringan
terorisme, menyembuhkan mereka-mereka yang terpapar keyakinan yang bercorak
teroristis, dan menyadarkan masyarakat luas terkait pentingnya perdamaian.
Penyakit
mental dalam upaya pemberantasan terorisme dapat dilihat dari
pendekatan-pendekatan yang dilakukan. Berupa penindakan secara bersenjata,
penegakan hukum dengan hukuman yang berat dan pencegahan, termasuk program
pelatihan kewirausahaan ataupun penguatan ekonomi bagi mereka yang terpapar
keyakinan terorisme.
Pendekatan
Gagal
Dilihat
dari perkembangan yang ada, pendekatan-pendekatan seperti di atas telah gagal
menyelesaikan persoalan terorisme. Penindakan secara bersenjata, contohnya,
hanya mampu membunuh para teroris yang sudah ditarget maupun telah menampakkan
diri di lokasi tertentu. Keyakinannnya (isme) dan para teroris lain yang
bersembunyi atau belum ditarget tidak terbunuh oleh senjata aparat.
Kegagalan
pendekatan penindakan secara bersenjata tak hanya terjadi di Indonesia.
Keberadaan ISIS saat ini bisa dijadikan salah satu contoh. Mengingat ISIS
berkembang setelah Amerika Serikat dan sekutunya menghancurkan Afghanistan yang
dianggap menjadi sarang bagi jaringan Al Qaeda. Alih-alih terorisme selesai,
kini justru muncul ISIS yang jauh lebih canggih dan sadis daripada Al Qaeda.
Pendekatan
penegakan hukum dengan hukuman yang berat kurang lebih mengalami kegagalan
serupa. Sebagian bahkan telah dihukum mati seperti trio pelaku bom Bali I.
Alih-alih
jera karena hukuman yang berat, sebagian teroris yang sudah keluar dari penjara
dengan seluruh hukuman yang diterima justru terlibat dalam penyerangan lain
yang lebih brutal. Misalnya yang dilakukan para pelaku penyerangan di Jalan
Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kegagalan
kurang lebih sama terjadi dalam pendekatan pencegahan.
Secara
teoretis, jaringan terorisme tidak akan terus berkembang bila tidak ada
regenerasi atau pihak-pihak yang bermigrasi (atau hijrah dalam bahasa mereka)
dari luar jaringan. Belakangan regenerasi jaringan terorisme justru menarget
anak-anak muda yang masih aktif di bangku sekolah.
Pendekatan
kewirausahaan maupun penguatan ekonomi bagi para teroris mengalami kegagalan
kurang lebih sama. Dalam beberapa peristiwa, penguatan ekonomi justru dijadikan
momentum untuk mengorganisasi kembali jaringan maupun kekuatan lama. Contohnya
beberapa tokoh di balik peristiwa Komando Jihad pada 1962.
Revolusi
Mental
Karena
itu, harus ada perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam upaya pemberantasan
terorisme ke depan. Salah satunya dengan menghadirkan perspektif korban dalam
upaya-upaya pemberantasan terorisme. Baik secara konseptual maupun
implementatif.
Mengapa
perspektif korban ini penting? Tak lain karena para korbanlah yang selama ini
mengalami dan merasakan dampak langsung dari kejahatan terorisme. Bila suatu
keahlian harus dibangun berdasar rasa dan pengalaman (kata tokoh-tokoh
empirisme), sejatinya para korbanlah yang ahli tentang terorisme. Sebab, kata
ahli tasawuf, man lam yazuq lam yasu'ur (orang yang tak pernah mencicipi tak
akan pernah merasa).
"Rasa
keahlian" para korban terkait terorisme sangat murni. Sebab, mereka
menjadi ahli terorisme bukan karena tuntutan tugas seperti aparat atau tuntutan
profesi seperti pengamat dan akademisi. Melainkan karena terpilih.
Dari segi
hukum dan keamanan, apa yang dialami para korban terorisme merupakan bukti
kegagalan negara dan aparat dalam melindungi segenap warganya.
Ketentuan
perundangan-undangan maupun regulasi dapat dijadikan cermin untuk melihat sikap
negara yang abai terhadap pemenuhan hak-hak dan peran korban terorisme. Sejauh
ini hanya ada satu undang-undang (UU) yang secara tegas mengatur hak-hak korban
terorisme, yaitu UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
Padahal,
banyak korban yang sudah menderita jauh tahun sebelumnya. UU itu pun belum
diimplementasikan secara optimal dalam pemenuhan hak-hak korban.
Di luar
UU 31/2014, sesungguhnya ada dua regulasi lain yang juga terkait dengan hak-hak
korban terorisme. Yaitu UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan Perpres 12/2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT). Tapi, dua regulasi di atas selama ini nyaris tidak bermakna apa pun
bagi pemenuhan hak-hak dan peran korban.
Saat ini
pemerintah dan DPR mulai membahas draf revisi atas UU 15/2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Revisi itu harus dijadikan momentum oleh
semua pihak untuk menciptakan revolusi mental dalam upaya pemberantasan
terorisme sesuai dengan visi Presiden Jokowi selama ini.
Dengan
demikian, revisi tersebut tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat
penindakan, penegakan, dan pemberatan hukuman yang selama ini kurang efektif
dalam upaya penyelesaian terorisme. Revisi itu juga harus menyentuh hal-hal
yang bersifat fundamental, termasuk pemenuhan hak-hak korban terorisme.
Khususnya pemberian kompensasi secara mudah nan cepat dan jaminan negara atas
seluruh pembiayaan medis korban pada masa-masa kritis sesaat setelah kejadian
aksi terorisme. []
JAWA POS,
13 Juni 2016
Hasibullah Satrawi ; Direktur Aliansi Indonesia Damai
(Aida) Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar