Rabu, 08 Juni 2016

Buya Syafii: Fazlur Rahman dalam Simposium (III)



Fazlur Rahman dalam Simposium (III)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam makalah Gazo ditegaskan bahwa upaya perbaikan paradigma moral merupakan pekerjaan sulit karena alasan sederhana: Umat manusia secara alamiah bersikap konservatif dan tidak ingin perubahan apa pun dalam hidupnya kecuali jika perubahan itu menunjukkan perbaikan mendasar bagi situasi hidupnya.

Dikaitkan dengan diskusi ini, menurut Gazo, "Dia (Rahman) melihat Alquran sebagai paradigma moral praktis, semacam kompas bagi komunitas Muslim. Penggunaan paradigma Qurani atas masyarakat punya tujuan untuk memastikan ketertiban dan menegakkan sebuah Kosmos (untuk menggunakan ungkapan Yunani Plato) yang terstruktur baik."

Dalam pengertian ini, menurut Gazo, Rahman setuju dengan Plato dan tradisinya (terutama Neo-Platonisme), tetapi menambahkan sebuah dimensi keagamaan bagi upaya ini, yaitu sebuah Kosmos yang tertata secara berimbang baik, sebagaimana digunakan oleh paradigma Alquran dalam bahasa Rahman: … Alquran, tujuan utamanya diarahkan kepada bimbingan terhadap masalah-masalah manusia.

Dalam bacaan Gazo atas pemikiran Fazlur Rahman, tanpa etika dan moralitas umat manusia berubah menjadi binatang, kosong dari intelek kemanusiaan yang membuat kehidupan moral itu menjadi mungkin. Mereka yang terlahir sebagai jenis manusia harus menjadi makhluk moral yang sempurna agar mampu memahami dan menggunakan, dalam istilah Rahman, paradigma Alquran yang mengubah umat manusia menjadi anggota keluarga yang bertanggung jawab, warga sebuah komunitas dan negara.

Lalu, Gazo menyimpulkan, “Tidak diragukan lagi, perdebatan yang kritis sedang menanti komunitas global dalam waktu dekat dan akan menjadi sangat penting tentang macam apa dan tipe bagaimana masyarakat global yang ingin kita jalani."

Dengan kata lain, pemikiran Fazlur Rahman tentang Alquran masih cukup relevan untuk disampaikan sebagai penawar bagi kehidupan moral manusia di abad ini.

Kini, giliran catatan atas makalah Imtiyaz Yusuf tentang perbandingan Ismail al-Faruqi dan Fazlur Rahman. Prof Imtiyaz Yusuf dari Universitas Mahidol, Thailand, adalah warga negara Inggris kelahiran Tanzania, berdarah India.

Ia memiliki istri mantan penganut Buddha dan telah menetap di negeri Gajah Putih itu selama hampir seperempat abad. Di universitas ini, dia menjabat sebagai dosen dan direktur pusat bagi Saling Pengertian Buda-Muslim pada Kolej Studi Agama pada Universitas Mahidol.

Sahabat kita ini, selain seorang penulis untuk berbagai jurnal internasional, juga sedang bekerja keras membangun saling pengertian antara umat Buddha dan Islam di Thailand.

Dia mengajukan pertanyaan yang menukik kepada saya: Sudah sekian ratus tahun umat Buddha dan umat Islam hidup berdampingan di Thailand, mengapa kedua komunitas itu tidak saling mengenal tentang agama masing-masing?

Rupanya, lembaga yang dipimpinnya sedang berupaya untuk menjembatani kedua komunitas itu agar harapan tersebut menjadi kenyataan.

Imtiyaz Yusuf mengawali makalahnya sebagai berikut: Profesor Ismail al-Faruqi (1921-1986) dan Profesor Fazlur Rahman (1919-1988) di samping Profesor Seyyed Hossein Nasr (1933) dari Universitas George Washington, dalam perspektifnya masing-masing tentang Islam dan kajian Islam adalah sarjana kelas satu pertama dalam ilmu keislaman di Barat.

Ketiganya termasuk dalam era yang berdekatan dengan pascakolonial pada saat dunia Muslim sedang menghadapi tantangan-tantangan dari kelampauan dan tantangan-rantangan era baru pascakolonial. Masing-masing telah memberikan sumbangan keahlian mereka terhadap kajian keislaman.

Dalam makalah ini, yang diperbandingkan adalah antara Ismail al-Faruqi, pembimbingnya saat belajar di Universitas Temple, Amerika Serikat, dan Fazlur Rahman. Hoseein Nasr hanya disinggung sekilas. Dikatakan bahwa Ismail al-Faruqi dan Fazlur Rahman pernah berkerja sama untuk membangun Institut Riset Islam di Karachi abad yang lalu.

Keduanya punya pandangan yang relatif sama tentang cara bagaimana berurusan dengan tantangan abad modern yang sedang dihadapi dunia Islam. Surat menyurat antara keduanya sering terjadi, tetapi kemudian mengapa pada ujungnya mereka kecewa dengan proyek riset itu? []

REPUBLIKA, 07 Juni 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar