Fazlur
Rahman dalam Simposium (III)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Dalam
makalah Gazo ditegaskan bahwa upaya perbaikan paradigma moral merupakan
pekerjaan sulit karena alasan sederhana: Umat manusia secara alamiah bersikap
konservatif dan tidak ingin perubahan apa pun dalam hidupnya kecuali jika
perubahan itu menunjukkan perbaikan mendasar bagi situasi hidupnya.
Dikaitkan
dengan diskusi ini, menurut Gazo, "Dia (Rahman) melihat Alquran sebagai
paradigma moral praktis, semacam kompas bagi komunitas Muslim. Penggunaan
paradigma Qurani atas masyarakat punya tujuan untuk memastikan ketertiban dan
menegakkan sebuah Kosmos (untuk menggunakan ungkapan Yunani Plato) yang
terstruktur baik."
Dalam
pengertian ini, menurut Gazo, Rahman setuju dengan Plato dan tradisinya
(terutama Neo-Platonisme), tetapi menambahkan sebuah dimensi keagamaan bagi
upaya ini, yaitu sebuah Kosmos yang tertata secara berimbang baik, sebagaimana
digunakan oleh paradigma Alquran dalam bahasa Rahman: … Alquran, tujuan
utamanya diarahkan kepada bimbingan terhadap masalah-masalah manusia.
Dalam
bacaan Gazo atas pemikiran Fazlur Rahman, tanpa etika dan moralitas umat
manusia berubah menjadi binatang, kosong dari intelek kemanusiaan yang membuat
kehidupan moral itu menjadi mungkin. Mereka yang terlahir sebagai jenis manusia
harus menjadi makhluk moral yang sempurna agar mampu memahami dan menggunakan,
dalam istilah Rahman, paradigma Alquran yang mengubah umat manusia menjadi
anggota keluarga yang bertanggung jawab, warga sebuah komunitas dan negara.
Lalu,
Gazo menyimpulkan, “Tidak diragukan lagi, perdebatan yang kritis sedang menanti
komunitas global dalam waktu dekat dan akan menjadi sangat penting tentang
macam apa dan tipe bagaimana masyarakat global yang ingin kita jalani."
Dengan
kata lain, pemikiran Fazlur Rahman tentang Alquran masih cukup relevan untuk
disampaikan sebagai penawar bagi kehidupan moral manusia di abad ini.
Kini,
giliran catatan atas makalah Imtiyaz Yusuf tentang perbandingan Ismail
al-Faruqi dan Fazlur Rahman. Prof Imtiyaz Yusuf dari Universitas Mahidol,
Thailand, adalah warga negara Inggris kelahiran Tanzania, berdarah India.
Ia
memiliki istri mantan penganut Buddha dan telah menetap di negeri Gajah Putih
itu selama hampir seperempat abad. Di universitas ini, dia menjabat sebagai
dosen dan direktur pusat bagi Saling Pengertian Buda-Muslim pada Kolej Studi
Agama pada Universitas Mahidol.
Sahabat
kita ini, selain seorang penulis untuk berbagai jurnal internasional, juga
sedang bekerja keras membangun saling pengertian antara umat Buddha dan Islam
di Thailand.
Dia
mengajukan pertanyaan yang menukik kepada saya: Sudah sekian ratus tahun umat
Buddha dan umat Islam hidup berdampingan di Thailand, mengapa kedua komunitas
itu tidak saling mengenal tentang agama masing-masing?
Rupanya,
lembaga yang dipimpinnya sedang berupaya untuk menjembatani kedua komunitas itu
agar harapan tersebut menjadi kenyataan.
Imtiyaz
Yusuf mengawali makalahnya sebagai berikut: Profesor Ismail al-Faruqi
(1921-1986) dan Profesor Fazlur Rahman (1919-1988) di samping Profesor Seyyed
Hossein Nasr (1933) dari Universitas George Washington, dalam perspektifnya
masing-masing tentang Islam dan kajian Islam adalah sarjana kelas satu pertama
dalam ilmu keislaman di Barat.
Ketiganya
termasuk dalam era yang berdekatan dengan pascakolonial pada saat dunia Muslim
sedang menghadapi tantangan-tantangan dari kelampauan dan tantangan-rantangan
era baru pascakolonial. Masing-masing telah memberikan sumbangan keahlian
mereka terhadap kajian keislaman.
Dalam
makalah ini, yang diperbandingkan adalah antara Ismail al-Faruqi, pembimbingnya
saat belajar di Universitas Temple, Amerika Serikat, dan Fazlur Rahman. Hoseein
Nasr hanya disinggung sekilas. Dikatakan bahwa Ismail al-Faruqi dan Fazlur
Rahman pernah berkerja sama untuk membangun Institut Riset Islam di Karachi
abad yang lalu.
Keduanya
punya pandangan yang relatif sama tentang cara bagaimana berurusan dengan
tantangan abad modern yang sedang dihadapi dunia Islam. Surat menyurat antara
keduanya sering terjadi, tetapi kemudian mengapa pada ujungnya mereka kecewa
dengan proyek riset itu? []
REPUBLIKA,
07 Juni 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar