Senin, 27 Juni 2016

(Buku of the Day) Memilih Jomblo, Kisah Para Intelektual Muslim yang Berkarya: Sampai Akhir Hayat



Menikah Bukan Ibadah


Judul                : Memilih Jomblo, Kisah Para Intelektual Muslim yang Berkarya: Sampai Akhir Hayat
Penulis             : KH. Husein Muhammad 
Penerbit            : ZORA BOOK
Cetakan            : I, Agustus 2015: II, November 2015
Tebal                : 158 halaman
ISBN                 : 978-602-71777-5-8
Peresensi          : Moh Taufiqul Hakim adalah Wiraswara di Gamelan Mahasiswa Sastra Jawa UGM

Menikah bukanlah ibadah. Pernyataan tersebut kiranya membuat orang terperangah ketika mendengarnya. Padahal, umumnya pernikahan kerap didudukkan sebagai pintu gerbang seseorang yang sudah memenuhi syarat untuk mendayung bahtera rumah tangga, sekaligus penyempurna dari keimanan seseorang.

Kiai Husein, aktivis pesantren yang banyak berkiprah di dunia yang berkaitan dengan pembelaan hak-hak perempuan ini punya ulasan tersendiri. Tak hanya itu, peraih penghargaan Heroes to End Modern-Day Slavery dari pemerintah Amerika Serikat pada 2006 silam ini juga mengisahkan beberapa tokoh cendekia muslim yang memilih tidak menikah.

Kiai Husein merangkumnya dalam buku berjudul Memilih Jomblo; Kisah Para Intelektual Muslim yang Memilih Berkarya Sampai Akhir Hayat. Sebanyak 21 cendekia muslim ia kisahkan dalam buku ini, selain bagian khusus yang menjelaskan ikhwal hukum menikah.

Di antara mereka yang memilih tidak menikah, ada yang lebih memilih mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan, mengabdi pada masyarakat, hingga lebih memilih untuk mencintai Tuhan. Mereka antara lain Ibnu Jarir al-Thabari, guru besar ahli tafsir, Imam Zamakhsyari sebagai teolog Muktazilah, maupun sang wali quthub Sayyid Ahmad Badawi. Kiai Husein juga menyertakan kisah hidup kaum perempuan seperti Karimah Al-Marwaziyah yang menjadi seorang ahli hadits, maupun Rabi’ah Al-Adawiyah dan Laila Majnun yang sungguh popular di kancah kesusastraan dunia.

Menariknya, Kiai Husain juga mewacanakan pandangan hukum pernikahan dari mazhab-mazhab yang mempunyai perbedaan sudut pandang. Mengutip Imam Syafi’i, ia menggarisbawahi bahwa menikah adalah  perkara yang mubah. Merunutnya, ‘mubah’ yang secara gramatika Arab berasal dari kata ahabbu yang berarti ashlahu, dan dimaknai sebagai pilihan. Itulah sebabnya menikah sebagai laku hidup yang tak ada kaitannya dengan akhirat, sebab menurutnya ibadah lebih utama ketimbang menikah. Sebagai contoh, menikahnya orang kafir merupakan peristiwa yang sah, sedangkan ibadahnya orang kafir tidak bisa diterima sebagai perkara yang sah.

Sementara, pandangan Imam Abu Hanifah menekankan bahwa menikah lebih utama ketimbang beribadah. Seperti ungkapan para rasionalis, menikah dapat menjaga diri dari perbuatan zina. Ini erat kaitannya dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti aspek kesehatan dan ekonomi. Dengan demikian, menikah juga berfungsi untuk menjaga diri dari hal-hal yang membahayakan.

Hanya saja, konsep ‘ibadah’ dalam buku ini masih perlu dipertanyakan. Bahkan pemaknaan Kiai Husein atas laku ibadah yang diterangkan Imam Abu Hanifah hanya berhenti pada fungsi membawa keuntungan untuk diri. Padahal bila ditelisik lebih jauh, ibadah juga berarti perkakas hidup manusia untuk berbakti kepada Yang Maha Esa. Sangat mungkin memerankan ilmu pengetahuan juga sebagai perkakas ibadah, yang ditujukan kepada Yang Esa. Ini yang membuat pemaknaan menikah sebagai ibadah atau bukan ibadah dalam buku ini menjadi syak wasangka.

Kendati demikian, lewat olahan Kiai Husein, pandangan dan kisah hidup para cendekia muslim tampil begitu ringan dalam buku setebal 158 halaman ini. Hanya saja, pada bab ‘Hukum Menikah’ Kiai Husein terkesan terburu-buru dalam menyimpulkan pandangan mereka. Dari kalimat penutupnya, tampak bahwa Kiai Husein lebih cenderung mengamini pandangan Imam Syafi’i, bahwa menikah adalah perkara mubah, dan bergelut di dunia ilmu pengetahuan lebih utama daripadanya (hlm. 153).

Barangkali, ikhwal pernikahan dalam buku ini bisa diperluas dari kacamata perempuan. Ini dapat menjadi antitesis yang menarik atas pandangan hukum di atas yang diperuntukan kaum laki-laki, sebab lahirnya pandangan tersebut berangkat dari latar sosial masyarakat yang dianut. Akibatnya, kaum perempuan hanyalah sebagai objek, atau pihak yang dinikahi, seolah mereka tidak punya pilihan selain dinikahi, kecuali memilih jomblo sampai akhir hayat.

Lepas dari itu semua, buku ini memberi tahu kepada kita bahwa menjomblo sampai akhir hayat tidak melulu buruk, meski tidak juga dianjurkan. Memilih jomblo atau tidak, dapat diputuskan dengan pertimbangan tertentu. Selain itu, kisah 21 cendekia muslim dalam buku ini cukup memberi wacana baru, yang notabene mereka lebih banyak tahu ikhwal pandangan hukum menikah, namun lebih memilih jomblo sampai akhir hayat. Inilah yang membuat buku ini perlu bertengger di meja baca anda. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar