Menikah Bukan Ibadah
Judul
: Memilih Jomblo, Kisah Para Intelektual Muslim yang Berkarya: Sampai Akhir
Hayat
Penulis
: KH. Husein Muhammad
Penerbit
: ZORA BOOK
Cetakan
: I, Agustus 2015: II, November 2015
Tebal
: 158 halaman
ISBN
: 978-602-71777-5-8
Peresensi
: Moh Taufiqul Hakim
adalah Wiraswara di Gamelan Mahasiswa Sastra Jawa UGM
Menikah bukanlah
ibadah. Pernyataan tersebut kiranya membuat orang terperangah ketika
mendengarnya. Padahal, umumnya pernikahan kerap didudukkan sebagai pintu
gerbang seseorang yang sudah memenuhi syarat untuk mendayung bahtera rumah
tangga, sekaligus penyempurna dari keimanan seseorang.
Kiai Husein, aktivis
pesantren yang banyak berkiprah di dunia yang berkaitan dengan pembelaan
hak-hak perempuan ini punya ulasan tersendiri. Tak hanya itu, peraih
penghargaan Heroes to End Modern-Day Slavery dari pemerintah Amerika
Serikat pada 2006 silam ini juga mengisahkan beberapa tokoh cendekia muslim
yang memilih tidak menikah.
Kiai Husein
merangkumnya dalam buku berjudul Memilih Jomblo; Kisah Para Intelektual
Muslim yang Memilih Berkarya Sampai Akhir Hayat. Sebanyak 21 cendekia
muslim ia kisahkan dalam buku ini, selain bagian khusus yang menjelaskan ikhwal
hukum menikah.
Di antara mereka yang
memilih tidak menikah, ada yang lebih memilih mengabdikan diri untuk ilmu
pengetahuan, mengabdi pada masyarakat, hingga lebih memilih untuk mencintai
Tuhan. Mereka antara lain Ibnu Jarir al-Thabari, guru besar ahli tafsir, Imam
Zamakhsyari sebagai teolog Muktazilah, maupun sang wali quthub Sayyid
Ahmad Badawi. Kiai Husein juga menyertakan kisah hidup kaum perempuan seperti
Karimah Al-Marwaziyah yang menjadi seorang ahli hadits, maupun Rabi’ah Al-Adawiyah
dan Laila Majnun yang sungguh popular di kancah kesusastraan dunia.
Menariknya, Kiai
Husain juga mewacanakan pandangan hukum pernikahan dari mazhab-mazhab yang
mempunyai perbedaan sudut pandang. Mengutip Imam Syafi’i, ia menggarisbawahi
bahwa menikah adalah perkara yang mubah. Merunutnya, ‘mubah’ yang secara
gramatika Arab berasal dari kata ahabbu yang berarti ashlahu,
dan dimaknai sebagai pilihan. Itulah sebabnya menikah sebagai laku hidup yang
tak ada kaitannya dengan akhirat, sebab menurutnya ibadah lebih utama ketimbang
menikah. Sebagai contoh, menikahnya orang kafir merupakan peristiwa yang sah,
sedangkan ibadahnya orang kafir tidak bisa diterima sebagai perkara yang sah.
Sementara, pandangan
Imam Abu Hanifah menekankan bahwa menikah lebih utama ketimbang beribadah.
Seperti ungkapan para rasionalis, menikah dapat menjaga diri dari perbuatan
zina. Ini erat kaitannya dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti
aspek kesehatan dan ekonomi. Dengan demikian, menikah juga berfungsi untuk menjaga
diri dari hal-hal yang membahayakan.
Hanya saja, konsep
‘ibadah’ dalam buku ini masih perlu dipertanyakan. Bahkan pemaknaan Kiai Husein
atas laku ibadah yang diterangkan Imam Abu Hanifah hanya berhenti pada fungsi
membawa keuntungan untuk diri. Padahal bila ditelisik lebih jauh, ibadah juga
berarti perkakas hidup manusia untuk berbakti kepada Yang Maha Esa. Sangat
mungkin memerankan ilmu pengetahuan juga sebagai perkakas ibadah, yang
ditujukan kepada Yang Esa. Ini yang membuat pemaknaan menikah sebagai ibadah
atau bukan ibadah dalam buku ini menjadi syak wasangka.
Kendati demikian,
lewat olahan Kiai Husein, pandangan dan kisah hidup para cendekia muslim tampil
begitu ringan dalam buku setebal 158 halaman ini. Hanya saja, pada bab ‘Hukum
Menikah’ Kiai Husein terkesan terburu-buru dalam menyimpulkan pandangan mereka.
Dari kalimat penutupnya, tampak bahwa Kiai Husein lebih cenderung mengamini
pandangan Imam Syafi’i, bahwa menikah adalah perkara mubah, dan bergelut di
dunia ilmu pengetahuan lebih utama daripadanya (hlm. 153).
Barangkali, ikhwal
pernikahan dalam buku ini bisa diperluas dari kacamata perempuan. Ini dapat
menjadi antitesis yang menarik atas pandangan hukum di atas yang diperuntukan
kaum laki-laki, sebab lahirnya pandangan tersebut berangkat dari latar sosial
masyarakat yang dianut. Akibatnya, kaum perempuan hanyalah sebagai objek, atau
pihak yang dinikahi, seolah mereka tidak punya pilihan selain dinikahi, kecuali
memilih jomblo sampai akhir hayat.
Lepas dari itu semua,
buku ini memberi tahu kepada kita bahwa menjomblo sampai akhir hayat tidak
melulu buruk, meski tidak juga dianjurkan. Memilih jomblo atau tidak, dapat
diputuskan dengan pertimbangan tertentu. Selain itu, kisah 21 cendekia muslim
dalam buku ini cukup memberi wacana baru, yang notabene mereka lebih banyak
tahu ikhwal pandangan hukum menikah, namun lebih memilih jomblo sampai akhir
hayat. Inilah yang membuat buku ini perlu bertengger di meja baca anda. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar