Fazlur Rahman dalam Simposium (IV)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
“Ismail al-Faruqi dan Fazlur Rahman adalah pencipta studi Islam
kontemporer,” tulis Imtiyaz Yusuf.
Persahabatan antara keduanya, antara tahun 1958-1963, bermula saat
kedua sarjana yang berusia muda itu mengajar di Institut Kajian Islam sebagai
bagian dari Universitas McGill, Kanada, yang pada waktu itu dipimpin oleh
Wilfred Cantwell Smith.
Tahun 1962, keduanya berangkat ke Karachi demi memperkuat pusat
riset yang semula dibanggakan itu untuk menolong dunia Islam dalam memecahkan
masalah-masalah mendesak yang dihadapi.
Ismail al-Faruqi hanya bertahan selama setahun setengah di
Karachi, Pakistan, dan tahun 1964 kembali ke Amerika. Di mata Ismail al-Faruqi,
Institut Kajian Islam Karachi tidak sungguh-sungguh memikirkan Islam dalam
kaitannya dengan dunia modern.
Fazlur Rahman untuk sementara masih bertahan, tetapi kemudian
hengkang juga ke Amerika Serikat. Perlawanan kubu ulama konservatif terlalu
kuat menentangnya.
Kedua pemikir Muslim itu sama-sama menempatkan masalah pendidikan
Islam sebagai prioritas utama untuk mencerahkan dunia Islam yang sedang bingung
pada era pascakolonial itu.
Apa boleh buat, bumi Pakistan yang menyatakan dirinya sebagai
Republik Islam Pakistan itu terlalu gersang bagi persemian gagasan-gagasan baru
yang segar, dipandang dari sisi manapun.
Sebagai sarjana pada era modern, Ismail al-Faruqi dan Fazlur
Rahman berupaya merumuskan “apa itu autentisitas Islam” di tengah kecenderungan
ideologi monarkisme, sekularisme, sosialisme Arab, dan sosialisme Islam,
politik teologis negara Islam ala Ikhwan al-Muslimun dan Jemaat Islami.
Sebagaimana kita maklumi, pemikiran dua gerakan Islam ini pernah
sangat berpengaruh di Indonesia, khususnya di kalangan tokoh-tokoh Partai
Masyumi pertengahan abad yang lalu. Saya sendiri sebelum belajar ke Chicago
juga turut dalam perahu yang pernah ditumpangi Masyumi ini.
“Inilah era persaingan,” tulis Imtiyaz Yusuf, “antara ulama, modernis
Muslim, teknokrat, dan klaim-klaim sekularis dari militer, pelaku pasar
kapitalis di dunia niaga, kaum sosialis, dan kaum komunis.” Ismail al-Faruqi
dan Fazlur Rahman-mengikuti jejak para pembaru sebelumnya: Syed Ahmad Khan,
Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Muhammad Asad dan banyak yang lain-tidak
membayangkan sebuah negara Islam non-demokratik yang dikuasai semata-mata oleh
ulama.
Kedua pemikir ini kemudian mengembangkan hasil pemikiran
keislamannya bukan di tanah Muslim, melainkan di tanah Barat. Inilah sebuah
fakta keras yang harus diakui!
Menurut Imtiyaz Yusuf, Ismail al-Faruqi dan Fazlur Rahman
sama-sama aktivis dalam tipe yang berbeda. Terusir dari Palestina telah membuat
Ismail al-Faruqi menjadi sarjana keras kepala untuk kepentingan Palestina,
sedangkan Fazlur Rahman tetaplah sebagai seorang sensitive activist (aktivis yang peka).
Pemikiran kedua sarjana ini, lanjut Imtiyaz Yusuf, masih belum
dikaji secara dalam sampai hari ini. Memang beberapa seminar telah diadakan
tentang keduanya di berbagai negara, tetapi belum cukup. Ismail al-Faruqi dan
Fazlur menjadi pemikir Muslim diaspora karena bumi Muslim belum memahaminya.
Dalam suratnya dari Karachi tertanggal 20 Maret 1963 kepada Prof
FV Winnett dari Universtas Toronto, Kanada, Ismail al-Faruqi menulis: Amat
disayangkan, studi Islam di negeri ini [Pakistan] sama sekali tidak
sungguh-sungguh. Institut ini diatur oleh pemerintah untuk menjadi
"pakar" atas ketukan Dewan Penasehat Ideologi Islam (sebuah badan
sebagai rujukan semua masalah Islamitas dalam legislasi dan aksi publik di
bawah konstitusi baru) melakukan tugasnya dengan mengundang “beberapa” orang
untuk menulis “beberapa” buku tentang Islam.
Tidak ada kemauan atau keinginan untuk meletakkan kerjanya atas
pijakan akademik apa pun. Selama satu setengah tahun sekarang, semua upaya
untuk memberikan institut sebuah program akademik tidak ada faedahnya.
Itulah sebabnya, saya merencanakan untuk tidak memperbarui masa jabatan
saya saat habis musim panas ini dan berharap untuk kembali ke Kanada.
Pernyataan frustrasi Ismail al-Faruqi ini akan dialami Fazlur Rahman kemudian.
Kedua pemikir ini pada akhirnya harus pergi ke Barat untuk
mewujudkan elan akademik dan intelektualnya secara lebih bebas dalam iklim yang
terbuka. []
REPUBLIKA, 14 Juni 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar