Rabu, 15 Juni 2016

Buya Syafii: Fazlur Rahman dalam Simposium (IV)



Fazlur Rahman dalam Simposium (IV)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

“Ismail al-Faruqi dan Fazlur Rahman adalah pencipta studi Islam kontemporer,” tulis Imtiyaz Yusuf.

Persahabatan antara keduanya, antara tahun 1958-1963, bermula saat kedua sarjana yang berusia muda itu mengajar di Institut Kajian Islam sebagai bagian dari Universitas McGill, Kanada, yang pada waktu itu dipimpin oleh Wilfred Cantwell Smith.

Tahun 1962, keduanya berangkat ke Karachi demi memperkuat pusat riset yang semula dibanggakan itu untuk menolong dunia Islam dalam memecahkan masalah-masalah mendesak yang dihadapi.

Ismail al-Faruqi hanya bertahan selama setahun setengah di Karachi, Pakistan, dan tahun 1964 kembali ke Amerika. Di mata Ismail al-Faruqi, Institut Kajian Islam Karachi tidak sungguh-sungguh memikirkan Islam dalam kaitannya dengan dunia modern.

Fazlur Rahman untuk sementara masih bertahan, tetapi kemudian hengkang juga ke Amerika Serikat. Perlawanan kubu ulama konservatif terlalu kuat menentangnya.

Kedua pemikir Muslim itu sama-sama menempatkan masalah pendidikan Islam sebagai prioritas utama untuk mencerahkan dunia Islam yang sedang bingung pada era pascakolonial itu.

Apa boleh buat, bumi Pakistan yang menyatakan dirinya sebagai Republik Islam Pakistan itu terlalu gersang bagi persemian gagasan-gagasan baru yang segar, dipandang dari sisi manapun.

Sebagai sarjana pada era modern, Ismail al-Faruqi dan Fazlur Rahman berupaya merumuskan “apa itu autentisitas Islam” di tengah kecenderungan ideologi monarkisme, sekularisme, sosialisme Arab, dan sosialisme Islam, politik teologis negara Islam ala Ikhwan al-Muslimun dan Jemaat Islami.

Sebagaimana kita maklumi, pemikiran dua gerakan Islam ini pernah sangat berpengaruh di Indonesia, khususnya di kalangan tokoh-tokoh Partai Masyumi pertengahan abad yang lalu. Saya sendiri sebelum belajar ke Chicago juga turut dalam perahu yang pernah ditumpangi Masyumi ini.

“Inilah era persaingan,” tulis Imtiyaz Yusuf, “antara ulama, modernis Muslim, teknokrat, dan klaim-klaim sekularis dari militer, pelaku pasar kapitalis di dunia niaga, kaum sosialis, dan kaum komunis.” Ismail al-Faruqi dan Fazlur Rahman-mengikuti jejak para pembaru sebelumnya: Syed Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Muhammad Asad dan banyak yang lain-tidak membayangkan sebuah negara Islam non-demokratik yang dikuasai semata-mata oleh ulama.

Kedua pemikir ini kemudian mengembangkan hasil pemikiran keislamannya bukan di tanah Muslim, melainkan di tanah Barat. Inilah sebuah fakta keras yang harus diakui!

Menurut Imtiyaz Yusuf, Ismail al-Faruqi dan Fazlur Rahman sama-sama aktivis dalam tipe yang berbeda. Terusir dari Palestina telah membuat Ismail al-Faruqi menjadi sarjana keras kepala untuk kepentingan Palestina, sedangkan Fazlur Rahman tetaplah sebagai seorang sensitive activist (aktivis yang peka).

Pemikiran kedua sarjana ini, lanjut Imtiyaz Yusuf, masih belum dikaji secara dalam sampai hari ini. Memang beberapa seminar telah diadakan tentang keduanya di berbagai negara, tetapi belum cukup. Ismail al-Faruqi dan Fazlur menjadi pemikir Muslim diaspora karena bumi Muslim belum memahaminya.

Dalam suratnya dari Karachi tertanggal 20 Maret 1963 kepada Prof FV Winnett dari Universtas Toronto, Kanada, Ismail al-Faruqi menulis: Amat disayangkan, studi Islam di negeri ini [Pakistan] sama sekali tidak sungguh-sungguh. Institut ini diatur oleh pemerintah untuk menjadi "pakar" atas ketukan Dewan Penasehat Ideologi Islam (sebuah badan sebagai rujukan semua masalah Islamitas dalam legislasi dan aksi publik di bawah konstitusi baru) melakukan tugasnya dengan mengundang “beberapa” orang untuk menulis “beberapa” buku tentang Islam.

Tidak ada kemauan atau keinginan untuk meletakkan kerjanya atas pijakan akademik apa pun. Selama satu setengah tahun sekarang, semua upaya untuk memberikan institut sebuah program akademik tidak ada faedahnya.

Itulah sebabnya, saya merencanakan untuk tidak memperbarui masa jabatan saya saat habis musim panas ini dan berharap untuk kembali ke Kanada. Pernyataan frustrasi Ismail al-Faruqi ini akan dialami Fazlur Rahman kemudian.

Kedua pemikir ini pada akhirnya harus pergi ke Barat untuk mewujudkan elan akademik dan intelektualnya secara lebih bebas dalam iklim yang terbuka. []

REPUBLIKA, 14 Juni 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar