Kamis, 16 Juni 2016

(Ngaji of the Day) Tiga Jenis Puasa Menurut Imam Al-Ghazali



Tiga Jenis Puasa Menurut Imam Al-Ghazali

Ramadhan sudah mendatangi kita. Otomatis kewajiban puasa pun mesti dilakukan bagi orang yang memenuhi persyaratan. Puasa menjadi pembeda bulan Ramadhan dengan bulan lainnya. Bulan ini menjadi mulia dengan sendirinya karena terdapat kewajiban puasa di dalamnya.

Ibadah puasa tentu berbeda dengan ibadah lainnya. Ia sangat bersifat rahasia. Tidak ada yang mengetahui kelangsungan puasa seseorang, kecuali pelakunya dan Allah SWT. Meskipun ada orang yang terlihat makan sahur dan buka puasa bersama kita, itu bukan jaminan bahwa dia telah berpuasa seharian. Bisa saja di waktu siang dia makan tanpa sepengetahuan orang.

Karenanya, puasa dikatakan amanah. Sebuah amanah haruslah dilangsungkan dan dikerjakan. Terlebih lagi yang memberi amanah itu Allah SWT. Pemberian amanah puasa ini tentu bukan tanpa maksud. Ada banyak hikmah dan rahasia di dalamnya.

Tidak semua orang mengerti tujuan dari ibadah puasa. Makanya, tak heran bila ada yang puasa, tetapi dia tidak mengerti dan menerima dampak positif dari ibadah yang dilakukan. Oleh sebab itu, al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa:

إعلم أن الصوم ثلاث درجات صوم العموم وصوم الخصوص وصوم خصوص الخصوص: وأما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة كما سبق تفصيله، وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام، وأما صوم خصوص الخصوص فصوم القلب عن الهضم الدنية والأفكار الدنيوية وكفه عما سوى الله عز وجل بالكلية ويحصل الفطر في هذا الصوم بالفكر فيما سوى الله عز وجل واليوم الآخر

Artinya, “Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus. Yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintar dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.”

Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam. Pada umumnya, mereka mendefenisikan puasa sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara dzahir.

Hal ini berbeda dengan tingkatan kedua, yaitu puasanya orang-orang shaleh. Mereka lebih maju dibandingkan orang awam, sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa. Percuma berpuasa, bila masih terus melakukan maksiat. Karenanya, kelompok ini menilai maksiat menjadi pembatal puasa.

Selanjutnya puasa paling khusus. Puasa model ini hanya dikerjakan oleh orang-orang tertentu. Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini. Pasalnya, selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat, mereka juga  memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah SWT. Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa.

Dari tingkatan ini, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya. Semoga puasa kita tidak bersifat formalitas, tetapi juga bermanfaat dan berdampak positif. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar