Sejarah di Balik
Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945
Perjuangan
memerdekakan Indonesia dari kolonialiasme telah melalui tahapan dan usaha yang
panjang tetapi matang. Selain perjuangan fisik, bangsa Indonesia secara gigih
mampu membangun pondasi kemerdekaan dengan merumuskan dasar dan ideologi negara
melalui persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa dengan wadah
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada
Maret 1945 dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada Agustus
1945.
Sejarah mencatat,
ketika Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II, Pemerintah Pendudukan
Bala Tentara Jepang di Jawa melalui Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan
secara resmi berdirinya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945 yang berjumlah 69 anggota. KRT
Radjiman Wedyodiningrat (seorang tokoh Budi Utomo) ditunjuk sebagai Ketua.
Walaupun badan ini dibentuk oleh Jepang, bagi para pemimpin perjuangan yang
duduk di dalamnya, badan ini diarahkan untuk kepentingan kehidupan bangsa.
BPUPKI menggelar dua
kali sidang. Sidang pertama dibuka pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 di gedung
Cuo Sangi In dan 10-16 Juli 1945. Sidang pertama menetapkan Dasar Negara
Pancasila dan sidang kedua menetapkan rancangan UUD 1945. Dalam sidang pertama,
tepatnya pada tanggal 29 Mei 1945, Mohamad Yamin mengucapkan pidato yang berisi
tentang asas-asas yang diperlukan sebagai dasar negara. Pada sidang tanggal 31
Mei, Soepomo juga mengungkapkan uraian tentang dasar-dasar negara. Akhirnya
pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno secara gagah menyodorkan 5 poin yang
diusulkan menjadi dasar negara. Pada saat itu, ia jugalah yang pertama kali
menyebut “Pancasila” untuk 5 dasar yang diajukannya itu.
Persiapan yang
dilakukan oleh para tokoh bangsa termasuk salah satu perumus Pancasila KH Abdul
Wahid Hasyim dari kalangan tokoh agama tidak lantas membuat mereka optimis
dalam menyiapkan kemerdekaan. Hal ini diungkapkan oleh KH Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur dalam salah satu kolomnya berjudul Kemerdekaan: Suatu Refleksi
(Aula, 1991: 41).
Dalam tulisan
tersebut, Gus Dur menjelaskan dalam konteks usaha susah payah para tokoh bangsa
dalam menyiapkan kemerdekaan. Mantan Presiden ke-4 RI ini mengatakan bahwa pada
sidang lanjutan tanggal 1 Juni 1945 para pemimpin rakyat peserta sidang
kebanyakan masih menyangsikan kemampuan bangsa Indonesia untuk merdeka.
Meskipun demikian, dalam kesangsian sikap itu, justru dimanfaatkan oleh para
tokoh bangsa sebagai energi positif untuk dapat merumuskan dasar negara.
Artinya, kesangsian yang timbul bukan semata dari semangat perjuangan, tetapi
dari pergolakan politik yang masih berkecamuk saat itu.
Namun demikian, Gus
Dur menegaskan akhirnya para pemimpin rakyat itu melalui perjuangan jiwa, raga,
dan pikiran berhasil memerdekakan Indonesia dua bulan kemudian (17 Agustus
1945). Dalam konteks ini, Gus Dur ingin menyampaikan bahwa esensi kemerdekaan
bukan hanya lepas dari penjajahan, tetapi juga terbangun persamaan hak (equality)
di antara seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Secara tegas, Gus Dur
mengatakan bahwa musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan masyarakat dan
negara, melainkan kesewenang-wenangan dalam penggunaan kekuasaan itu.
Peran strategis KH
Wahid Hasyim dalam perumusan Pancasila
Jika balik lagi
memperhatikan proses penyusunan dasar negara berupa Pancasila dan UUD 1945, apa
yang dijelaskan oleh Gus Dur, itulah misi yang dibawa oleh para pemimpin rakyat
agar dasar negara merupakan pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh
anak bangsa, bukan hanya Islam yang merupakan umat mayoritas. Seperti diketahui
bahwa Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh.
Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno
Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan salah
satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan
Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Sebelum
Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945
Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang
mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah
esensinya. Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki
Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi
poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan
bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tokoh ulama yang
berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid
Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga tak lain ayah Gus Dur.
Menurut Gus Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam
Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut
dalam Pancasila. Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak
menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di
titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan Syariat Islam
dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap
intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.
Pancasila yang
akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan tatanan negara yang
unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam arti, negara Indonesia bukanlah
negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya
mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, 2010:
91). Jika saat ini ada sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa
dikatakan dengan tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya
pondasi dan dasar negara ini.
Peran Kiai Wahid
Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis
terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga
menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap
inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga
Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa
Indonesia.
Menurut salah satu Sejarawan
NU, Abdul Mun’im DZ (2016), tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjabarkan
Pancasila, Kiai Wahid berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren, sehingga
bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah (Aswaja). Di titik inilah menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa
Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan
Pancasila. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar