Ia Saudaraku. Tetap Saudaraku
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sesungguhnya saya pribadi tidak bisa terima bahwa semua orang
sekampung memberikan gelar yang tak bisa ditawar lagi kepada saudara saya itu:
brutal, radikal, fundamentalis, bahkan teroris, tidak berperikemanusiaan, dan
segala macam gelar yang terburuk.
Benar sekali ia brutal. Ia radikal. Ia fundamentalis. Pada
saat-saat tertentu ia melakukan sesuatu yang membuat ia disebut teroris.
Tetapi, itu semua, ada sebabnya.
Itu semua, adalah akibat, yang merupakan produk dari sebab.
Wahai saudara-saudara para penduduk dan pemerintah di
kampungku, serta wahai saudara-saudaraku seluruh ummat manusia, juga wahai para
Jin, Setan, Malaikat dan semua jenis makhluk ciptaan Tuhan di bumi maupun di
mana saja: itu semua, ada sebabnya. Itu semua, adalah akibat, yang merupakan
produk dari sebab.
***
Sebabnya adalah penjajahan, tipu daya dan pembodohan yang
dilakukan oleh sebagian penduduk dunia atas sebagian penduduk lainnya di dunia.
Demikian juga oleh sebagian penduduk kampung atas penduduk lainnya di kampung.
Penjajahan yang semua terang-terangan, kemudian penjajahan yang
disamarkan, dan sekarang penjajahan yang wujudnya sama sekali bukan penjajahan,
sehingga yang dijajah justru merasa dijunjung dan disantuni. Yang terakhir itu
bisa berlangsung karena cara utama penjajahan mutakhir adalah tipu daya melalui
pendidikan, hukum, kebudayaan dan kepalsuan-kepalsuan politik. Bisa sedemikian
mulus dan dominannya penjajahan dan tipu daya itu karena syarat strategis untuk
menjalankannya, yakni proses pembodohan global, melalui penguasan-penguasan
nasional, regional dan lokal – berjalan sangat mulus.
Metode dan strategi yang paling mendasar dari penjajahan yang
wujudnya adalah santunan dan kasih sayang, adalah pola berpikir yang
disembunyikan oleh para penjajah. Yakni pola Dajjalisme, yakni tipu daya atas
cara berpikir manusia sedunia: “Neraka diyakinkan sebagai sorga, dan sorga
diyakinkan sebagai neraka”.
***
Bahkan tahukah Anda bahwa pada waktu-waktu terakhir sekarang ini,
kecanggihan penjajahan, tipu daya dan pembodohan itu membuat saudara brutalku
itu sering mengutuk dan mengamuk kepada justru kami sekeluarganya sendiri.
Saudaraku itu seakan-akan pembenci para penjajah, tetapi sasaran
amukannya adalah keluarganya sendiri. Saudaraku itu tepat ketika menyatakan
bahwa “selama ketidakadilan ini tak berhenti menimpa penduduk kampung dan ummat
manusia di bumi, maka kemarahanku ini adalah kewajaran hidup”. Tetapi tetap
saja sasaran amukannya adalah keluarga kami sendiri.
Para penguasa tipudaya dan lingkaran-lingkaran rahasianya di
kampung kami sejak lama mengkawatirkan ketangguhan hidup keluarga kami.
Terutama karena ketangguhan itu, di samping berasal dari jenis karakter
kemanusiaan kami, juga diperkuat oleh kepercayaan yang dianut oleh keluarga
kami.
Maka satu-satunya jalan untuk melawan itu adalah dengan
mengadudomba kami sekeluarga. Dari soal-soal yang kecil-kecil hingga tema-tema
yang besar dan mendasar keluarga kami diprovokasi dan diadudomba. Hasilnya dua.
Pertama, keutuhan keluarga diretakkan. Kekuatan kepercayaan kami dilunturkan.
Demikianlah maka yang berlangsung kini adalah tuduhan terburuk
menimpa saudaraku, dan nama baik seluruh keluarga kami dicoreng-moreng
semena-mena semau-mau para penipu daya. Dengan situasi seperti itu, maka mereka
dengan mudah merampok kekayaan-kekayaan kami secara tersamar melalui berbagai
cara yang diterapkan oleh penguasa dunia, yang pelaksana lapangannya adalah
para penguasa di kampung kami.
***
Dengan ini aku menyatakan dua hal kepada siapa saja, terutama
kepada pelaku penjajahan, tipu daya dan pembodohan pada skala seberapapun dan
pada level apapun.
Bahwa saudaraku si brutal itu adalah saudaraku, dan tetap
saudaraku.
Aku dan keluargaku tidak sependapat dengannya dalam sangat banyak
hal yang mendasar maupun yang tidak mendasar. Tetapi ia tetap saudaraku.
Aku dan keluargaku sangat tersiksa oleh perilakunya dan ada
saat-saat kami kehabisan kesabaran atasnya, tetapi ia adalah saudaraku. Dan
tetap saudaraku.
Aku dan keluargaku sangat banyak bertentangan dalam hal nilai-nilai
kemanusiaan, kealamsemestaan dan ketuhanan. Dan situasi itu bisa saja membuat
kami akan berkelahi bahkan berperang sendiri di antara kami. Tetapi ia adalah
saudaraku. Dan tetap saudaraku.
Di antara aku dan keluargaku sendiri menjadi korban dari perilakunya,
sampai ke tingkat nyawa. Tetapi ia adalah saudaraku. Dan tetap saudaraku.
Kalau ia berlaku salah, kalau ia mengamuk, kami sekeluargalah yang
paling menderita. Dan biarlah kami sekeluarga yang menanganinya. Para tetangga
tidak usah mengejeknya, jangan mentertawakannya, jangan menghina dan
merendahkannya.
Aku memaafkan almarhum saudaraku yang suka bersama para tetangga
mentertawakan saudaraku itu. Aku memaafkan, melupakan dan menghapusnya.
Akan tetapi, ini hal kedua yang saya nyatakan: para tetangga yang
meneruskan tertawa terbahak-bahak, mengejek, melecehkan, merendahkan dan
menghina saudaraku dan kami sekeluarga, kunyatakan bahwa besok pagi ada
matahari, dan segala sesuatunya belum selesai. []
Dari CN kepada anak-cucu dan JM
6 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar