Berlalu
Lintas
Oleh: M. Quraish Shihab
“Hamba-hamba ar-Rahmân—Tuhan
Pencurah Kasih—adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan “salam”
(yakni mari berpisah dengan damai) (QS. al-Furqân [25]: 63).
Kandungan
pesan di atas sejalan dengan kandungan pesan QS. al-Isra’ [17]: 37 yang
maksudnya: “Janganlah engkau—siapa pun engkau—berjalan di persada bumi dengan
penuh keangkuhan/ugal-ugalan. Itu hanya dapat engkau lakukan kalau engkau
telah dapat meraih segala sesuatu, padahal meskipun engkau berusaha sekuat
tenaga tetap saja kakimu tidak dapat menembus bumi walau sekeras apa pun
entakanya, dan kendati engkau telah merasa tinggi, namun kepalamu tidak akan
dapat setinggi gunung.”
Dalam
konteks cara jalan, Nabi saw. mengingatkan agar tidak berjalan membusungkan
dada. Namun demikian, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena
perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh
cara jalan ini dibenci Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.”
Kini pada
masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam
cakupan pengertian ayat di atas penghormatan terhadap disiplin lalu
lintas.
Peraturan
lalu lintas jalan raya serupa dengan peraturan lalu lintas kehidupan. Jangan
pernah berkata bahwa lampu merah menghambat kelancaran lalu lintas, ia justru
memuluskannya.
Karena
itu, sebagaimana kewajiban menghindari yang haram, maka wajib pula mengindahkan
lampu merah, dan sebagaimana keharusan menaati pemimpin pemerintahan—suka
kepadanya atau tidak—maka demikian juga keharusan mengindahkan polisi lalu
lintas yang mengatur kelancaran jalan karena dengan membangkang akan
terjadi chaos, kekacauan, dan kesemerawutan. Para polisi itu adalah
bagian dari apa yang dinamai al-Qur’an Ulu al-Amr, yakni orang-orang yang
memiliki wewenang memerintah, yang oleh QS. an-Nisâ’ [4]: 59 dinyatakan harus
ditaati. Tentu saja bila tidak melanggar hukum.
Pesan
ayat-ayat di atas bukan berarti anjuran berjalan perlahan atau larangan
bergerak cepat. Nabi Muhammad saw. dilukiskan berjalan dengan gesit, penuh
semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.
Seorang
pemuda dilihat oleh Sayyidina Umar ra. berjalan melempem, tanpa semangat
bagaikan orang sakit. Beliau menghentikannya sambil bertanya: “Apakah engkau sakit?”
“Tidak,” jawabnya. Maka Sayyidina Umar ra. menghardik dan memerintahkannya
berjalan dengan penuh semangat.
Kalau
Anda ingin memperluas makna pesan ayat-ayat di atas, maka Anda dapat berkata
bahwa ia tidak sekadar menggambarkan cara jalan yang baik, tetapi juga tuntunan
kepada pengguna jalan agar berinteraksi dengan semua pihak sebaik
mungkin. Bukan saja memperhatikan Hak-hak Asasi Manusia, tetapi juga dalam
istilah Nabi Muhammad saw. Hak-hak Asasi Jalan.
Jika Anda belum pernah mendengar
istilah ini, maka ketahuilah bahwa Nabi saw. menggarisbawahi empat hal yang
menjadi hak asasi jalan (HR. Bukhari dan Muslim), yaitu: a) Membatasi
pandangan—termasuk tidak memperlambat kendaraan atau berkerumun sehingga
memacetkan lalu lintas sekadar untuk melihat satu peristiwa; b) Menghindarkan
gangguan, bukan saja dengan tidak membuang sampah di jalan, tetapi
juga—misalnya—tidak membunyikan klakson secara berlebihan; c)
Menyebarluaskan kedamaian, antara lain dengan bertoleransi memberi
peluang mendahului bagi siapa yang memintanya. Di sisi lain, berterima
kasih—walau dengan mengangguk atau mengangkat tangan—kepada yang melapangkan
buat Anda; d) Mengajak kepada kebaikan serta menghalangi kemungkaran. Butir
terakhir ini mencakup banyak hal karena memang berjalan atau
mengemudi membutuhkan bukan sekadar pengetahuan tentang jalan dan
berjalan, tetapi ia juga adalah seni dan di atas seni ada akhlak. Wa Allah
A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar