Selasa, 10 November 2015

Kang Komar: Kita dan Bahasa



Kita dan Bahasa
Oleh: Komaruddin Hidayat

Berbahasa itu tidak hanya berbicara. Tetapi berbahasa juga berpikir dan berperilaku. Ketika seseorang berbicara, otaknya ikut berpikir, hatinya ikut merasakan, lalu tindakan fisiknya mendukung.

Makanya ada istilah speech act. Jadi, berbahasa melibatkan pikiran, emosi, pengucapan, dan tindakan. Mereka yang menderita kelainan tidak bisa berbicara, misalnya, maka digunakan bahasa gerak isyarat. Ketika seseorang berdiam diri melamun, mulutnya memang tidak berbicara, tapi pikiran dan hatinya lagi sibuk bekerja. Dia berbicara dalam diam. Jadi, bahasa dan pikiran tak terpisahkan.

Dalam masyarakat yang sudah maju, pikiran dan ucapan dilengkapi dengan tulisan. Bahkan dilengkapi lagi dengan mesin percetakan. Tapi ada juga komunitas yang tidak punya tradisi menulis. Mereka tidak mengenal huruf. Di Indonesia ada beberapa suku yang memiliki bahasa lokal, namun tidak memiliki huruf. Suku Jawa yang terbesar saja semakin tidak mengenal huruf dan tulisan Jawa, sehingga bahasa lisan yang lebih dominan. Masyarakat Sunda pun demikian.

Majalah lokal dengan bahasa dan huruf lokal pelan-pelan mati. Sekian puluh bahasa lokal bahkan sudah lama hilang. Saya sering membayangkan dan membandingkan ketebalan kamus bahasa. Kamus bahasa Inggris dan Arab mungkin paling tebal. Masyarakat dan bangsa yang semakin maju peradabannya akan diikuti dengan ketebalan kamusnya. Ini menunjukkan progresivitas, keluasan, dan ketinggian garis batas bahasa dan pikiran mereka.

Sebaliknya, masyarakat yang khazanah kata dan bahasanya sempit dan sedikit, maka alam pikiran mereka juga terbatas karena aktivitas berpikir memerlukan instrumen bahasa. Anak kecil yang pengetahuan kata dan bahasanya terbatas juga terbatas olah pikirnya. Pada anak kecil pertumbuhan pikiran berbarengan dengan perkembangan khazanah bahasanya. Lalu, bagaimana halnya dengan bahasa Indonesia?

Bahasa ini mulanya merupakan bahasa orang-orang Melayu yang tinggal di daerah Riau yang jumlahnya tidak sebanyak orang Jawa dan Sunda. Dengan dipilihnya bahasa Melayu sebagai nasional, mengandung nilai pembelajaran yang sangat berharga bagi kita sekarang ini. Bahwa para pejuang kemerdekaan dan angkatan muda 1928 itu sangat bijak dan toleran.

Bayangkan, kalau saja bahasa Jawa yang dipilih, mungkin sekali masyarakat Sunda akan iri dan menolak karena mereka sama-sama penduduk pulau Jawa dengan jumlah yang besar. Kedua, karakter bahasa Melayu yang menjadi bahasa orang pantai dan juga pedagang, jauh lebih egaliter ketimbang karakter bahasa Jawa dan Sunda yang mengawetkan kasta sosial.

Sifat bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa nasional lebih cocok dengan semangat kemerdekaan dan modernisasi yang menekankan persatuan dan kesatuan Indonesia serta kesamaan derajat di depan hukum. Kalau kita amati, penyebaran bahasa Indonesia yang sedemikian cepat tidak luput dari aktivitas dan jaringan pada pedagang yang juga penyebar Islam yang berpusat di kotakota pantai.

Dulu, dan bekas peninggalannya masih terlihat sampai sekarang, kota-kota pantai adalah pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam, dengan penduduknya yang majemuk. Posisi kota pantai dengan jejaring kegiatan perdagangan dan penyebaran agama telah berperan sebagai tonggaktonggak pengikat simpul persatuan Nusantara. Karenanya, semangat dan perjuangan keindonesiaan tak bisa dipisahkan dari penyebaran bahasa nasionalnya.

Dalam hal ini Indonesia merupakan bangsa dan negara yang paling berhasil dalam perjuangan politik bahasa. Bangsa yang sedemikian besar dan majemuk dengan mulus dan sukses berhasil memperjuangkan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia yang menjadi pengikat, penghubung, atau jembatan komunikasi lintas etnis dan pulau. Bayangkan, betapa repot, lambat dan mahalnya ongkos dan proses pembangunan kalau saja warga Indonesia tidak bisa berbahasa Indonesia.

Jadi, kita pantas berterima kasih pada para pendahulu kita yang telah berhasil membangun rumah budaya yang sedemikian besar berupa bahasa Indonesia. Kita tinggal dan berpikir dengan dan dalam bahasa. Kita dan bahasa bagaikan ikan dan airnya. Tanpa bahasa dunia sekeliling tidak memiliki struktur dan nama. Tanpa bahasa tak ada bangunan ilmu pengetahuan.

Tanpa bahasa tak ada yang namanya peradaban. Yang ada tak ubahnya kerumunan hewan- hewan yang hanya mengejar kebutuhan fisik untuk bertahan hidup (survive). Karena bahasa adalah rumah budaya, mereka yang menguasai banyak bahasa pasti dunianya lebih luas. Dengan membaca buku, novel, atau menonton televisi yang menggunakan bahasa asing, serasa kita rekreasi dan masuk rumah budaya lain sehingga kehidupan lebih luas, kaya, dan warna-warni.

Perkembangan sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh jumlah pemakainya. Sekarang ini bahasa Inggris berkembang paling luas mendunia karena bahasa Inggris berhasil sebagai bahasa ilmu pengetahuan yang menyebar ke seluruh lembaga pendidikan di dunia. Ilmu pengetahuan modern yang dimotori ilmuwan Inggris maka konsekuensi logisnya bahasa Inggris menjadi alat penyebarannya.

Di samping faktor inovasi keilmuan, Inggris juga yang memiliki negara koloni terbanyak di dunia, maka praktis bahasa Inggris juga paling ekspansif penyebarannya. []

KORAN SINDO, 30 Oktober 2015
Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar