Kita dan
Bahasa
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Berbahasa
itu tidak hanya berbicara. Tetapi berbahasa juga berpikir dan berperilaku.
Ketika seseorang berbicara, otaknya ikut berpikir, hatinya ikut merasakan, lalu
tindakan fisiknya mendukung.
Makanya
ada istilah speech act. Jadi, berbahasa melibatkan pikiran, emosi, pengucapan,
dan tindakan. Mereka yang menderita kelainan tidak bisa berbicara, misalnya,
maka digunakan bahasa gerak isyarat. Ketika seseorang berdiam diri melamun,
mulutnya memang tidak berbicara, tapi pikiran dan hatinya lagi sibuk bekerja.
Dia berbicara dalam diam. Jadi, bahasa dan pikiran tak terpisahkan.
Dalam
masyarakat yang sudah maju, pikiran dan ucapan dilengkapi dengan tulisan.
Bahkan dilengkapi lagi dengan mesin percetakan. Tapi ada juga komunitas yang
tidak punya tradisi menulis. Mereka tidak mengenal huruf. Di Indonesia ada
beberapa suku yang memiliki bahasa lokal, namun tidak memiliki huruf. Suku Jawa
yang terbesar saja semakin tidak mengenal huruf dan tulisan Jawa, sehingga
bahasa lisan yang lebih dominan. Masyarakat Sunda pun demikian.
Majalah
lokal dengan bahasa dan huruf lokal pelan-pelan mati. Sekian puluh bahasa lokal
bahkan sudah lama hilang. Saya sering membayangkan dan membandingkan ketebalan
kamus bahasa. Kamus bahasa Inggris dan Arab mungkin paling tebal. Masyarakat
dan bangsa yang semakin maju peradabannya akan diikuti dengan ketebalan
kamusnya. Ini menunjukkan progresivitas, keluasan, dan ketinggian garis batas
bahasa dan pikiran mereka.
Sebaliknya,
masyarakat yang khazanah kata dan bahasanya sempit dan sedikit, maka alam pikiran
mereka juga terbatas karena aktivitas berpikir memerlukan instrumen bahasa.
Anak kecil yang pengetahuan kata dan bahasanya terbatas juga terbatas olah
pikirnya. Pada anak kecil pertumbuhan pikiran berbarengan dengan perkembangan
khazanah bahasanya. Lalu, bagaimana halnya dengan bahasa Indonesia?
Bahasa
ini mulanya merupakan bahasa orang-orang Melayu yang tinggal di daerah Riau
yang jumlahnya tidak sebanyak orang Jawa dan Sunda. Dengan dipilihnya bahasa
Melayu sebagai nasional, mengandung nilai pembelajaran yang sangat berharga
bagi kita sekarang ini. Bahwa para pejuang kemerdekaan dan angkatan muda 1928
itu sangat bijak dan toleran.
Bayangkan,
kalau saja bahasa Jawa yang dipilih, mungkin sekali masyarakat Sunda akan iri
dan menolak karena mereka sama-sama penduduk pulau Jawa dengan jumlah yang
besar. Kedua, karakter bahasa Melayu yang menjadi bahasa orang pantai dan juga
pedagang, jauh lebih egaliter ketimbang karakter bahasa Jawa dan Sunda yang
mengawetkan kasta sosial.
Sifat
bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa nasional lebih cocok dengan semangat
kemerdekaan dan modernisasi yang menekankan persatuan dan kesatuan Indonesia
serta kesamaan derajat di depan hukum. Kalau kita amati, penyebaran bahasa
Indonesia yang sedemikian cepat tidak luput dari aktivitas dan jaringan pada
pedagang yang juga penyebar Islam yang berpusat di kotakota pantai.
Dulu, dan
bekas peninggalannya masih terlihat sampai sekarang, kota-kota pantai adalah
pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam, dengan penduduknya yang majemuk.
Posisi kota pantai dengan jejaring kegiatan perdagangan dan penyebaran agama
telah berperan sebagai tonggaktonggak pengikat simpul persatuan Nusantara.
Karenanya, semangat dan perjuangan keindonesiaan tak bisa dipisahkan dari
penyebaran bahasa nasionalnya.
Dalam hal
ini Indonesia merupakan bangsa dan negara yang paling berhasil dalam perjuangan
politik bahasa. Bangsa yang sedemikian besar dan majemuk dengan mulus dan
sukses berhasil memperjuangkan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia yang
menjadi pengikat, penghubung, atau jembatan komunikasi lintas etnis dan pulau.
Bayangkan, betapa repot, lambat dan mahalnya ongkos dan proses pembangunan
kalau saja warga Indonesia tidak bisa berbahasa Indonesia.
Jadi,
kita pantas berterima kasih pada para pendahulu kita yang telah berhasil
membangun rumah budaya yang sedemikian besar berupa bahasa Indonesia. Kita
tinggal dan berpikir dengan dan dalam bahasa. Kita dan bahasa bagaikan ikan dan
airnya. Tanpa bahasa dunia sekeliling tidak memiliki struktur dan nama. Tanpa
bahasa tak ada bangunan ilmu pengetahuan.
Tanpa
bahasa tak ada yang namanya peradaban. Yang ada tak ubahnya kerumunan hewan-
hewan yang hanya mengejar kebutuhan fisik untuk bertahan hidup (survive).
Karena bahasa adalah rumah budaya, mereka yang menguasai banyak bahasa pasti
dunianya lebih luas. Dengan membaca buku, novel, atau menonton televisi yang
menggunakan bahasa asing, serasa kita rekreasi dan masuk rumah budaya lain
sehingga kehidupan lebih luas, kaya, dan warna-warni.
Perkembangan
sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh jumlah pemakainya. Sekarang ini bahasa
Inggris berkembang paling luas mendunia karena bahasa Inggris berhasil sebagai
bahasa ilmu pengetahuan yang menyebar ke seluruh lembaga pendidikan di dunia.
Ilmu pengetahuan modern yang dimotori ilmuwan Inggris maka konsekuensi logisnya
bahasa Inggris menjadi alat penyebarannya.
Di
samping faktor inovasi keilmuan, Inggris juga yang memiliki negara koloni
terbanyak di dunia, maka praktis bahasa Inggris juga paling ekspansif
penyebarannya. []
KORAN
SINDO, 30 Oktober 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar