Merasa Tertekan di Atas Panggung Mertua
Oleh:
Dahlan Iskan
Bagaimana
Tahir bisa menjadi menantu konglomerat sebesar Dr Mochtar Riyadi pada awalnya
dinilai ibarat perkawinan Cinderella. Tahir yang jadi Cinderellanya. Dalam
perjodohan itu Tahir memposisikan dirinya sebagai orang biasa yang bernasib
seperti Cinderella.
Tahir selalu ingat betapa miskin keluarganya saat dia dilahirkan
di rumah sakit Undaan Surabaya. Sampai bapaknya tidak punya uang untuk menebus
sang bayi. Cari utangan pun tidak berhasil. Sampai, secara tidak disangka,
seorang keluarga datang dari Jember dan ketika diceritakan soal penebusan bayi
itu bersedia memberi pinjaman.
Sang ayah waktu itu bekerja membuat becak dan menyewakan becaknya.
Sang ibu sebenarnya anak orang kaya dari Solo, namun harga diri tidak
memungkinkan sang ayah meminjam uang kepada mertua. Begitulah adat di keluarga
Tionghoa. Waktu itu keluarga ini tinggal di satu rumah kuno yang kusam
peninggalan Belanda di Jalan Bunguran No 19 Surabaya.
Ketika Belanda terusir dari Indonesia di tahun 1946-an memang
banyak bangunan yang ditinggalkan. Penduduk berebut menempatinya. Yang
bagus-bagus sudah lebih dulu diisi orang. Tinggal bangunan tua di Bunguran yang
memiliki banyak kamar itu yang tidak diminati. Bangunan ini cukup untuk
ditempati tiga keluarga. Yang satu adalah ayah Tahir yang saat itu bekerja
sebagai karyawan sebuah koran berbahasa Mandarin di Surabaya. Satunya lagi
keluarga Tan Bun Tjoe, wartawan di koran tersebut yang kelak menjadi pemimpin
redaksinya. Di tahun 1980-an, salah satu anak Tan Bun Tjoe, Ir Agus Mulyanto,
lulusan fakultas tehnik elektro ITS, mendirikan SCTV.
Setelah Tahir menjadi konglomerat, rumah di Jalan Bunguran No 19
itu dibeli untuk dilestarikan sebagai rumah kelahiran Tahir. Bangunannya
dibiarkan apa adanya seperti itu. Tetap seperti tidak terawat. Tahir
mengijinkan beberapa tukang becak menempati rumah tersebut sebagai kenangan
bahwa di rumah itulah bapaknya dulu berusaha membuat becak dan menyewakannya.
Dari karyawan koran dan menjadi juragan becak ayah Tahir kemudian
membuka toko sederhana. Ibunya tidak mau hanya menunggu pembeli. Wanita ini
memilih “menjemput” pembeli dengan jalan jualan keliling dari rumah ke rumah.
Anak-anaknyalah yang menjaga toko.
Sang ibu digambarkan lebih dominan dalam memperjuangkan kehidupan
ekonomi keluarga ini. Juga lebih keras dalam mendidik Tahir. Setiap membuat
kesalahan Tahir pasti dipukuli. Sampai-sampai suatu hari Tahir memilih sikap
ini: Mah, saya akan diam saja, pukulilah saya sampai saya gila.
Tahir merasa ibunyalah yang melatihnya dagang. Dengan cara
menyuruhnya kulakan barang yang akan dijual di tokonya. Kulakannya ke Jakarta.
Ke Pasar Baru dan ke Mangga Dua. Naik kereta api dan tidur di losmen murahan di
Jakarta. Setelah usaha itu berkembang Tahir bahkan disuruh kulakan ke
Singapura. Ketika masih SMA pun Tahir sudah biasa pulang-pergi ke Singapura
sebagai inang-inang.
Di samping keras dalam bersikap sang ibu juga keras dalam bidang
pendidikan. Tahir harus sekolah. Dan dipilihkan sekolah yang baik. Salah satu
sekolah swasta terbaik saat itu: Petra. Bahkan kemudian Tahir dipaksa sekolah
di Singapura, di Nanyang University. Agar kelak bisa mengangkat derajat
keluarga. Agar, menurut istilah ibunya, kalau bekerja nanti pakai dasi.
Menyadari ekonomi keluarga yang masih dalam perjuangan, Tahir
tidak pernah ikut pesta atau hura-hura. Dia hanya belajar dan belajar.
Permainan yang dia lakukan hanyalah ping-pong. Sejak SMA Tahir merasa menjadi
anak yang minder. Tidak berani mendekati teman wanita. Demikian juga saat sudah
kuliah di Singapura. Hanya belajar dan belajar.
Tapi sikapnya yang seperti itu yang rupanya menarik perhatian
orang. Suatu saat Tahir dipanggil menghadap Mu’min Gunawan, pemilik bank Panin
ke Jakarta. Untuk diperkenalkan dengan seorang konglomerat yang lagi mencari
menantu: Dr. Mochtar Riyadi. Konglomerat ini punya anak wanita bernama Rosy
yang juga sekolah di Singapura. Tahir yang dinilai tidak pernah foya-foya
dinilai pilihan yang tepat.
Tahir pun mampir ke Surabaya. Konsultasi dengan orang tuanya.
Ayah-ibunya langsung memberikan dukungan. Siapa tidak mau diambil menantu
konglomerat pemilik bank. Tahir pun lantas kembali ke Jakarta dan menyatakan
bersedia. Setelah itu barulah dipertemukan dengan Rosy. Tidak ada cinta, tapi
Tahir mengaku sangat terkesan dengan Rosy. Cantik dan sederhana. Tidak
mencerminkan anak seorang konglomerat.
Begitu lulus dari Nanyang University, pesta perkawinan dilakukan.
Sesuai dengan adat Tionghoa pesta dilakukan oleh keluarga pengantin laki-laki.
Berarti di Surabaya. Saat itulah Surabaya heboh. Perkawinan Cinderella.
Seminggu setelah perkawinan itu barulah Tahir dipanggil menghadap
sang mertua. Di sinilah Tahir didoktrin bagaimana memasuki keluarga Dr Mochtar
Riyadi sebagai menantu. Saya baru tahu dari buku ini bagaimana seorang menantu
dalam keluarga Tionghoa harus diperlakukan. Saya pun lantas menghubungi
beberapa teman Tionghoa untuk membandingkannya. Tidak semuanya seperti itu. Ada
yang seperti itu, ada pula yang tidak.
Meski Tahir merasa tertekan, tersisih dan terabaikan namun dari
buku ini saya memperoleh kesan bahwa banyak juga jasa Mochtar Riyadi pada
Tahir. Dalam istilah yang diakui Tahir, sang mertua memang tidak pernah memberi
modal tapi telah memberi panggung, stempel dan kop surat. Maksudnya, dengan
menjadi menantu Mochtar Riyadi dia mengalami kemudahan menemui siapa saja.
Bahkan sebenarnya lebih dari itu. Saat Tahir mengalami
kebangkrutan yang pertama, Mochtar Riyadi memberikan pinjaman. Memang harus
dikembalikan, tapi pinjaman itu tetaplah besar maknanya. Bahkan ketika Tahir
mengalami kebangkrutan yang kedua, yang lebih parah, sang mertua juga
memberikan pinjaman. Memang jumlahnya tidak bisa melunasi seluruh hutangnya
pada pihak Singapura, tapi tetaplah tidak ternilai maknanya.
Apalagi saat kebangkrutan yang kedua itu Mochtar juga memintanya
untuk menjadi top eksekuitp perusahaan garmen milik sang mertua. Lantaran
ditugasi mengurus garmen inilah Tahir memperoleh momentum luar biasa untuk
kebangkitan berikutnya. Hingga menjadi konglomerat sampai sekarang. Yakni
ketika Tahir bertemu dirjen perdagangan luar negeri yang memberinya kuota
ekspor garmen ke Amerika dalam jumlah yang luar biasa.
Tahir mengakui itu. Menceritakan itu. Dan menganggapnya itulah
bagian dari panggung yang diberikan oleh sang mertua. []
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar