Jembatan
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Setiap
jalan-jalan melihat kota-kota besar dunia yang memiliki sungai dan jembatan
yang indah dan kokoh, saya selalu terhenyak kagum dan iri.
Ketika
mengunjungi Kota Budapest pertengahan November 2015, misalnya, Sungai Danube
yang panjangnya 2.850 km dan melintasi 10 negara itu membuat Budapest
menyajikan kehidupan dan keindahan yang amat mengesankan. Begitu pula Sungai
Vitava yang menghiasi Kota Praha. Danube yang legendaris itu bak kalung mutiara
yang mempercantik Budapest.
Atau
bagaikan ibu yang selalu memberikan sumber kehidupan ekonomi bagi penduduk
setempat serta sumber inspirasi bagi para seniman dan perancang kota sehingga
bermunculan bangunan-bangunan indah menjulang, baik yang kuno maupun modern.
Hubungan antara sungai, kreasi arsitektur jembatan, dan bangunanbangunan megah
nan indah akan ditemukan diberbagai kota dunia semisal Paris, San Fransisco,
Sydney, Kairo.
Yang
fantastis tentu jembatan Selat Bosporus di Istanbul yang menghubungkan daratan
Eropa dan Asia. Atau jembatan dan bendungan raksasa Sungai Yangtze untuk
menjinakkan banjir yang merendam ribuan desa dan kini jadi sumber penggerak
tenaga listrik. Saya iri karena Indonesia memiliki banyak sungai tetapi itu
tidak dirawat dengan cerdas dan indah, padahal di berbagai negara sungai itu
menjadi sumber rezeki, tempat wisata warganya, dan ornamen kota dengan
arsitektur jembatannya yang ikonik.
Setiap
orang pasti senang melihat sungai dengan airnya yang jernih dengan ikanikannya
yang berseliweran. Sikap masyarakat terhadap sungai dan jembatan sangat mungkin
memiliki keterkaitan dengan budayanya. Mungkin karena kita penduduk kepulauan.
Juga di kampung-kampung sungai itu bagaikan WC umum. Ketika urbanisasi ke kota,
gaya hidup kampung terbawa.
Mereka
tidak memiliki visi bahwa sungai itu bisa difungsikan sebagai hiasan kota,
tempat rekreasi, dan pusat ekonomi. Di Jakarta sungai semakin sempit, dangkal,
dan kotor oleh tingkah warganya yang tidak bisa merawat fungsi sungai dengan
baik. Faktor lain karena masyarakat punya mental serobot dan selalu ingin jalan
pintas, enggan melewati jembatan yang tersedia.
Lebih
dari itu, desain jembatan yang ada kurang memperhitungkan aspek estetika dan
rekreatifnya. Di dekat kampus saya, UIN Syarif Hidayatullah yang berlokasi di
Ciputat, jembatan penyeberangan dibangun hanya melayani pemasang iklan, tak
pernah ada warga atau mahasiswa yang melintasinya karena letaknya yang sangat
tidak familier.
Untuk
meraih karier dan prestasi hidup yang otentik, setiap orang juga memerlukan
jembatan, terutama pendidikan dan pelatihan diri tahan banting menghadapi
ujian, apa pun bentuknya. Anak sekolah yang senang mencontek dan berburu
bocoran soal ujian adalah awal dari tindakan main serobot dan suap pada
perjalanan hidup selanjutnya, baik waktu melamar kerja maupun mengejar jabatan,
termasuk dalam kasus pilkada dan pemilu.
Miskin
estetika dan etika dalam membangun kehidupannya. Tidak indah dan mengundang respek
ketika catatan kariernya dibaca ulang. Kita sering lupa bahwa perjalanan hidup
tak pernah lepas dari jembatan yang mesti kita seberangi. Ungkapan Inggris
crossover atau abara dalam bahasa Arab berkembang menjadi i’tibar dan ibarat.
Untuk menggapai tujuan dan makna yang benar, kita mesti menyeberang mengatasi
rintangan.
Kalau
ingin menikmati daging kelapa, mesti memecahkan dulu batoknya yang keras. Jika
ingin berburu tambang emas atau minyak di perut bumi mesti melewati dulu
bebatuan yang menutupinya. Dalam komunikasi dan pergaulan sehari-hari kita juga
mesti mampu menangkap pesan dan makna sejati di balik ungkapan verbal yang
disusun dengankata-kata.
Inilah
yang dimaksud dengan kata ibarat dan isyarat. Hanya mereka yang cerdas dan
bijak yang mampu menangkap pesan yang tersembunyi di seberang jembatan kata dan
isyarat. Oleh karenanya dalam studi keagamaan ada disiplin ilmu tafsir untuk
menggali makna tersembunyi di dalam kitab suci.
Dalam
narasi kitab suci banyak ditemukan perumpamaan, misal, ibarat, isyarat, serta
kiasan sehingga hanya mereka yang bisa menyeberang, menggali, dan menangkap
makna di baliknya yang akan paham. Bukan berhenti dan terpenjara oleh jembatan
penyeberangan berupa katakata verbal dan literal. Kalau makna mesti selalu
melekat di permukaan kata, tak akan ada sastra.
Tak ada
puisi. Bahasa jadi datar, kering miskin imajinasi. Bukankah setiap saat kita
berdiri dan berjalan di atas jembatan? Bukankah kehidupan dunia ini juga
jembatan untuk meraih kehidupan lebih tinggi dan membahagiakan? Jangan pernah
berhenti menyeberang. []
KORAN
SINDO, 20 November 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar