Kamis, 12 November 2015

Kang Sobary: Pahlawan dan Makam Pahlawan



Pahlawan dan Makam Pahlawan
Oleh: Mohamad Sobary

KITA memahami pahlawan sebagai warga negara Indonesia, atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau yang meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Tokoh yang memenuhi kriteria seperti ini, yang kemudian dikukuhkan menjadi pahlawan nasional, memiliki hak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan sesudah sang tokoh wafat, meninggal dunia, atau gugur di dalam perjuangan. Sampai saat ini kelihatannya tidak ada penyimpangan di dalam aturan ini.

Sekali seorang dinyatakan sebagai pahlawan, sang tokoh mendapatkan haknya untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan tersebut. Belum pernah terjadi, seorang pahlawan dimakamkan di pemakaman biasa, dan jatahnya untuk dimakamkan Taman Makam Pahlawan diserobot orang. Di dalam bidang ini alhamdulillah belum ada, dan semoga tidak akan pernah ada korupsi. Pendek kata, yang bukan pahlawan, dilarang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tegasnya, hanya pahlawan yang dimakamkan di sana.

Jika kepahlawanan dihubungkan dengan zaman pergerakan melawan kaum penjajah angkara yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa kita, mungkin definisi di atas belum terlaksana dengan sebaik-baiknya. Cara kita memandang dunia pada dewasa ini, di zaman modern ini, kurang lebih masih sama dengan cara pandang ketika sejarah berarti sejarah raja-raja, dan keluarga raja-raja serta para bangsawan seluruhnya.

***

Dunia sastra pun menjadikan cara pandang seperti itu sebagai kiblat kehidupannya. Dengan demikian, tidak mengherankan bila para pujangga, hanya berbicara tentang para raja, kebijakan istana, kemurahan hati baginda raja, maupun segenap tingkah laku dan keluarga kaum bangsawan, para pangeran, para putri ”keraton”, dan kaum kerabat istana lainnya.

Dalam cara pandang sejarah seperti itu tak begitu mengherankan bila sejarah kesusastraan berarti sejarah raja-raja dan kaum kerabat istana pada umumnya. Tidak ada sastra yang berbicara tentang rakyat kecil dengan segenap prestasinya yang gilang-gemilang. Tradisi sastra pedalangan mungkin contoh yang paling nyata untuk menjelaskan bahasa sejarah sastra tak lebih dari sejarah kerabat istana seperti disebutkan di atas.

Kelihatannya definisi kita tentang pahlawan berkisar pada cara pemahaman itu. Sebutan warga negara, atau seseorang yang berjuang dan gugur ketika melawan penjajah, selalu merujuk pada pejuang bersenjata. Orientasi ini elitis, seperti cara kita memandang sejarah sastra sebagai sejarah raja dan keluarga istana pada umumnya tadi.

Ini ketidakadilan sejarah. Juga, pada akhirnya, menjadi ketidakadilan kemanusiaan. Taman Makam Pahlawan kita itu penuh topi baja, tanda bahwa kaum tentara yang mayoritas menghuni taman tersebut. Tidak ada topi lain misalnya ”caping gunung”, topi tukang ojek, topi tukang cendol, atau tukang sayur, atau topi petani. Padahal, setidaknya di kalangan kaum tani di desa-desa ada begitu banyak pribadi kita sebut tokoh yang dengan sukarela, serta gagah berani turut ambil bagian di dalam perjuangan kemerdekaan.

Mereka membantu tentara, atau mengambil inisiatif sendiri, melakukan perlawanan. Ada yang sengaja, dengan kalkulasi yang matang dan ikhlas, menyamar sebagai pedagang kecil, tetapi tugasnya menjadi mata-mata untuk membantu tentara. Orang-orang kecil seperti ini juga pahlawan. Tapi, mengapa tidak seorang pun di antara mereka dicatat sebagai pahlawan, dan tidak seorang pun yang kita luhurkan jasanya sebagai pahlawan nasional?

Kita ini bangsa yang tidak tahu malu, tidak tahu membalas jasa orang kecil. Jasa orang yang disebut orang besar, kita sanjung dan kita puja-puja setinggi langit. Dan, ini jelas sebuah ketidakadilan yang kita pelihara dengan mata terpejam agar kita tak melihat realitas yang lebih jujur, dengan otak yang kita bekukan agar kita tak pernah ingat bahwa sebenarnya banyak pahlawan di kalangan wong cilik yang tak pernah terhitung dalam sejarah.

Sampai saat ini belum ada tentara pemilik saham mayoritas di Taman Makam Pahlawan yang berani dengan jujur menolak sikap berlebihan dalam memandang pahlawan itu. Tidak ada seorang pun tentara yang menolak dimakamkan di taman tersebut, dan menyerahkan haknya kepada pahlawan dari kalangan rakyat kecil untuk dimakamkan di sana.

Tentara tidak terbiasa berpikir melawan kemapanan aturan, biarpun aturan itu salah. Kepentingan pribadi dilindungi mati-matian meskipun berhadapan dengan sesuatu yang jelas salah. Sikap kritis, berpikir lebih adil, tidak ada. Orang seperti itu sebenarnya bukan pahlawan sejati. Bung Hatta menolak dimakamkan di taman makam tersebut, dengan suatu sikap dan perhitungan moral politik yang jelas. Tokoh seperti ini yang layak disebut pahlawan, dengan tambahan sejati, biarpun tak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

***

Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan itu berhubungan satu sama lain secara hukum, politik, dan rumusan kebahasaan. Tapi, bagaimana pahlawan yang tak pernah diakui kepahlawanannya, artinya tak dianggap sebagai pahlawan dan tak dimakamkan di taman tersebut?

Bagi mereka, hal itu tak menjadi soal. Tidak juga bagi para keluarga, anak cucu, dan para cicit mereka. Dulu mereka berjuang semata untuk berjuang, dengan tulus melawan penjajah angkara. Mereka bukan berjuang untuk menjadi pahlawan dan tak pernah mengharapkan sekeping tanah di Taman Makam Pahlawan untuk menjadi rumah masa depannya. Tapi, apa yang tak menjadi soal bagi mereka itu seharusnya menjadi masalah ruwet bagi pemerintah.

Ketidakadilan sudah sampai saatnya untuk diakhiri. Sudah tiba saatnya, bahkan sudah lama, untuk menyadari bahwa pandangan kita tentang pahlawan dan kepahlawanan itu salah. Kita tidak pernah merasa malu bergurau dengan menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mengapa harus disebut begitu? Kalau benar guru dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Bukankah pemerintah, yang memiliki wewenang membagikan tanda jasa itu, tahu bahwa guru itu pahlawan? Mengapa kita membisu menyaksikan kesadaran sejarah dan pengetahuan tentang kebenaran dikhianati begitu saja? Mengapa egoisme dan kepentingan politik kita mendikte kesadaran kita?

Para sejarawan sosial, terutama yang dipelopori oleh sejarawan terkemuka, Sartono Kartodirdjo, dengan kritis melawan dominasi pemikiran sejarah elitis, yang disebutnya Eropa sentris dan kolonial sentris yang menganggap sejarah hanya sejarahnya orang-orang besar dan tak pernah adil terhadap realitas sejarah yang sebenarnya, sejarah di mana wong cilik berjasa besar dan selayaknya dijadikan pahlawan juga?

Para tokoh kajian yang disebut ”subaltern studies” dari India, juga mendobrak kemapanan sejarah yang tidak adil itu. Mereka tidak terima bila rakyat biasa, yang di sini kita sebut wong cilik, yang banyak jasanya di dalam perjuangan kemerdekaan, ditelantarkan begitu saja dan tak pernah diakui jasanya. Mereka mengguncang dunia pemikiran karena terobosannya yang otentik dan baru.

Tapi, mari kita selidiki lebih seksama: seotentik-otentik dan sebaru-baru pemikiran mereka, sejarawan Sartono Kartodirdjo lebih dahulu memelopori pemikiran itu. Sejarawan kita tidak kalah di dalam percaturan dunia ilmu dibandingkan dengan para sarjana dari belahan dunia yang lain. Dan, bila pemikiran sejarawan Sartono Kartodirdjo didengar dengan baik, bakal terjadilah perombakan pemikiran kita tentang pahlawan dan tentang Taman Makam Pahlawan. Suara keadilan sudah saatnya kita dengar. Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan tiba saatnya ditata kembali. []

Koran SINDO, 11 November 2015
Mohamad Sobary | Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar