Senin, 23 November 2015

BamSoet: Efek Persepsi Negatif terhadap Pemerintah



Efek Persepsi Negatif terhadap Pemerintah
Oleh: Bambang Soesatyo

PERGUNJINGAN publik tentang arus kas pemerintah yang bermasalah bisa mereduksi nilai tambah enam paket kebijakan deregulasi ekonomi yang sudah diterbitkan. Data BPS tentang meningkatnya pengangguran setahun terakhir ikut menambah buram potret kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla.

Pekan pertama November 2015, persepsi publik menjadi sangat negatif terhadap kapabilitas dan kompetensi tim ekonomi Kabinet Kerja. Ada dua indikator yang memberi gambaran buruk tentang situasi terkini. Pertama tentang arus kas (cashflow) pemerintah yang berpotensi menghadapi masalah serius. Kedua tentang kabar dari sektor ketenagakerjaan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, pengangguran meningkat. Menurut BPS, penganggur pada Agustus 2015 mencapai 7,56 juta atau 6,18% dari kelompok angkatan kerja. Angka ini menjelaskan telah terjadi penambahan 320 ribu penganggur baru atau 5,94% pada periode Agustus 2014- Agustus 2015.

BPS mencatat, peningkatan pengangguran disebabkan oleh melemahnya kemampuan sektor industri menyediakan lapangan kerja baru, terutama kelompok industri yang mengandalkan bahan baku impor. Konsekuensi logis dari setiap data yang menggambarkan peningkatan jumlah pengangguran adalah terbentuknya persepsi negatif tentang kinerja pemerintah dalam mengelola perekonomian negara.

Komunitas pengangguran terdidik akan menyalahkan pemerintah. Kendati sudah bekerja keras, pemerintahan Presiden Jokowi harus menerima anggapan seperti itu. Tidak hanya terkait isu pengangguran, pemerintah pun harus legawa mendengarkan pergunjingan negatif tentang ketidakseimbangan keuangan.

Pergunjingan berawal dari kantor presiden sendiri. Rabu (4/11) pekan lalu, Presiden Jokowi memanggil Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito. Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro ikut hadir. Kepada Menkeu dan Dirjen Pajak, Presiden menanyakan perkembangan penerimaan negara dari sektor pajak dan prospeknya hingga akhir tahun.

Pertemuan inilah yang menyulut isu tentang persoalan serius pada arus kas negara, sehingga melahirkan kesimpulan bahwa APBN 2015 bisa jebol. Pergunjingan tentang arus kas negara itu bermuara pada fakta penerimaan pajak. Realisasi penerimaan pajak hingga 29 Oktober 2015 baru Rp 758 triliun atau 58,6%. Padahal, APBN Perubahan 2015 mematok target Rp 1.295 triliun.

Karena hanya tersisa dua bulan kerja (November-Desember), publik ragu Ditjen Pajak bisa mengejar kekurangan target 41,4%. Dirjen Pajak memastikan realisasi penerimaan pajak hingga akhir 2015 hanya bisa 85% dari target. Artinya, ada kekurangan Rp 160 triliun.

Jumlah inilah yang direkomendasikan kepada Presiden dan Menkeu untuk mitigasi. Mitigasi sudah dilakukan dengan mencairkan standby loan sebesar 5 miliar dolar AS, setara Rp 68 triliun. Dengan mencairkan pinjaman siaga itu, Dirjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan yakin bahwa APBN- P 2015 aman hingga akhir tahun.

Harus Realistis

Namun, tidak mudah bagi pemerintah untuk membalik persepsi negatif. Kalau publik mempergunjingkan cashflow, itu menjadi penanda munculnya benih keraguan.

Kalau rekanan pemerintah ragu akan kemampuan pemerintah membayar, banyak proyek akan sulit direalisasikan. Dari keraguan-raguan akan beralih menjadi menurunnya kepercayaan. Kapabilitas dan kompetensi tim ekonomi pemerintah dalam mengelola perekonomian nasional masih menjadi pertanyaan.

Pemerintah, misalnya, dinilai belum punya strategi jitu untuk melindungi nilai tukar rupiah. Pemerintah juga belum bersungguhsungguh memperbaiki daya saing nasional ketika waktu untuk menjalani komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) hanya tinggal hitungan hari.

Karena itu, bagi komunitas industriawan dalam negeri, kewajiban Indonesia melaksanakan komitmen MEA menjadi sesuatu yang mengerikan. Sebab, mulai 2016, 10 negara anggota ASEAN termasuk Indonesia harus terintegrasi dalam satu kawasan perekonomian.

Pengintegrasian itu diawali dengan arus bebas barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Wajar jika MEAmenumbuhkan rasa takut, karena daya saing Indonesia sangat mengkhawatirkan. Kalau daya saing nasional tidak segera diperbaiki melalui pendekatan efisiensi biaya produksi, Indonesia bisa saja menghadapi risiko deindustrialisasi.

Kalau deindustrialisasi terjadi, kemampuan dunia usaha nasional menyediakan lapangan kerja akan menurun sangat dalam. Selain faktor rupiah dan daya saing, pemerintah juga belum efektif mengatasi penyerapan anggaran pembangunan. Kalau kementerian/ lembaga di tingkat pusat lamban menyerap anggaran, hampir semua pemerintah daerah malah tak berani menggunakan anggaran . Akibatnya, Rp 273 triliun dana pembangunan milik semua pemerintah daerah mengendap di perbankan.

Untuk merespons semua tekanan itu, pemerintahan Presiden Jokowi harus realistis dan fokus pada upaya mewujudkan biaya produksi yang efisien. Untuk menjaga arus kas, pemerintah sebaiknya mengacu pada potensi riil penerimaan pajak. Kalau target Rp 1.295 triliun tahun ini saja sudah sangat sulit dicapai, untuk apa memaksakan target Rp 1.546,7 triliun pada 2016.

Bukankah tahun 2016 diprediksi tidak akan lebih baik dari tahun ini? Kalau target pajak 2016 tidak tercapai lagi sehingga mengganggu arus kas pemerintah, akan muncul lagi pergunjingan dan persepsi negatif yang pastinya merugikan pemerintah sendiri. []

SUARA MERDEKA, 19 November 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR, anggota Komisi III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar