Efek Persepsi Negatif terhadap Pemerintah
Oleh: Bambang Soesatyo
PERGUNJINGAN publik tentang arus kas pemerintah yang bermasalah
bisa mereduksi nilai tambah enam paket kebijakan deregulasi ekonomi yang sudah
diterbitkan. Data BPS tentang meningkatnya pengangguran setahun terakhir ikut menambah
buram potret kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla.
Pekan pertama November 2015, persepsi publik menjadi sangat
negatif terhadap kapabilitas dan kompetensi tim ekonomi Kabinet Kerja. Ada dua
indikator yang memberi gambaran buruk tentang situasi terkini. Pertama tentang
arus kas (cashflow) pemerintah yang berpotensi menghadapi masalah serius. Kedua
tentang kabar dari sektor ketenagakerjaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, pengangguran meningkat.
Menurut BPS, penganggur pada Agustus 2015 mencapai 7,56 juta atau 6,18% dari
kelompok angkatan kerja. Angka ini menjelaskan telah terjadi penambahan 320
ribu penganggur baru atau 5,94% pada periode Agustus 2014- Agustus 2015.
BPS mencatat, peningkatan pengangguran disebabkan oleh melemahnya
kemampuan sektor industri menyediakan lapangan kerja baru, terutama kelompok
industri yang mengandalkan bahan baku impor. Konsekuensi logis dari setiap data
yang menggambarkan peningkatan jumlah pengangguran adalah terbentuknya persepsi
negatif tentang kinerja pemerintah dalam mengelola perekonomian negara.
Komunitas pengangguran terdidik akan menyalahkan pemerintah.
Kendati sudah bekerja keras, pemerintahan Presiden Jokowi harus menerima anggapan
seperti itu. Tidak hanya terkait isu pengangguran, pemerintah pun harus legawa
mendengarkan pergunjingan negatif tentang ketidakseimbangan keuangan.
Pergunjingan berawal dari kantor presiden sendiri. Rabu (4/11)
pekan lalu, Presiden Jokowi memanggil Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito.
Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro ikut hadir. Kepada Menkeu dan Dirjen
Pajak, Presiden menanyakan perkembangan penerimaan negara dari sektor pajak dan
prospeknya hingga akhir tahun.
Pertemuan inilah yang menyulut isu tentang persoalan serius pada
arus kas negara, sehingga melahirkan kesimpulan bahwa APBN 2015 bisa jebol.
Pergunjingan tentang arus kas negara itu bermuara pada fakta penerimaan pajak.
Realisasi penerimaan pajak hingga 29 Oktober 2015 baru Rp 758 triliun atau
58,6%. Padahal, APBN Perubahan 2015 mematok target Rp 1.295 triliun.
Karena hanya tersisa dua bulan kerja (November-Desember), publik
ragu Ditjen Pajak bisa mengejar kekurangan target 41,4%. Dirjen Pajak
memastikan realisasi penerimaan pajak hingga akhir 2015 hanya bisa 85% dari
target. Artinya, ada kekurangan Rp 160 triliun.
Jumlah inilah yang direkomendasikan kepada Presiden dan Menkeu
untuk mitigasi. Mitigasi sudah dilakukan dengan mencairkan standby loan sebesar
5 miliar dolar AS, setara Rp 68 triliun. Dengan mencairkan pinjaman siaga itu,
Dirjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan
yakin bahwa APBN- P 2015 aman hingga akhir tahun.
Harus Realistis
Namun, tidak mudah bagi pemerintah untuk membalik persepsi negatif.
Kalau publik mempergunjingkan cashflow, itu menjadi penanda munculnya benih
keraguan.
Kalau rekanan pemerintah ragu akan kemampuan pemerintah membayar,
banyak proyek akan sulit direalisasikan. Dari keraguan-raguan akan beralih
menjadi menurunnya kepercayaan. Kapabilitas dan kompetensi tim ekonomi
pemerintah dalam mengelola perekonomian nasional masih menjadi pertanyaan.
Pemerintah, misalnya, dinilai belum punya strategi jitu untuk
melindungi nilai tukar rupiah. Pemerintah juga belum bersungguhsungguh
memperbaiki daya saing nasional ketika waktu untuk menjalani komitmen
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) hanya tinggal hitungan hari.
Karena itu, bagi komunitas industriawan dalam negeri, kewajiban
Indonesia melaksanakan komitmen MEA menjadi sesuatu yang mengerikan. Sebab,
mulai 2016, 10 negara anggota ASEAN termasuk Indonesia harus terintegrasi dalam
satu kawasan perekonomian.
Pengintegrasian itu diawali dengan arus bebas barang, jasa,
investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Wajar jika MEAmenumbuhkan rasa
takut, karena daya saing Indonesia sangat mengkhawatirkan. Kalau daya saing
nasional tidak segera diperbaiki melalui pendekatan efisiensi biaya produksi,
Indonesia bisa saja menghadapi risiko deindustrialisasi.
Kalau deindustrialisasi terjadi, kemampuan dunia usaha nasional
menyediakan lapangan kerja akan menurun sangat dalam. Selain faktor rupiah dan
daya saing, pemerintah juga belum efektif mengatasi penyerapan anggaran
pembangunan. Kalau kementerian/ lembaga di tingkat pusat lamban menyerap
anggaran, hampir semua pemerintah daerah malah tak berani menggunakan anggaran
. Akibatnya, Rp 273 triliun dana pembangunan milik semua pemerintah daerah
mengendap di perbankan.
Untuk merespons semua tekanan itu, pemerintahan Presiden Jokowi
harus realistis dan fokus pada upaya mewujudkan biaya produksi yang efisien.
Untuk menjaga arus kas, pemerintah sebaiknya mengacu pada potensi riil
penerimaan pajak. Kalau target Rp 1.295 triliun tahun ini saja sudah sangat
sulit dicapai, untuk apa memaksakan target Rp 1.546,7 triliun pada 2016.
Bukankah tahun 2016 diprediksi tidak akan lebih baik dari tahun
ini? Kalau target pajak 2016 tidak tercapai lagi sehingga mengganggu arus kas
pemerintah, akan muncul lagi pergunjingan dan persepsi negatif yang pastinya
merugikan pemerintah sendiri. []
SUARA MERDEKA, 19 November 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR, anggota
Komisi III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar