Senin, 09 November 2015

(Buku of the Day) Penghulu Ulama di Negeri Hijaz



Syaikh Nawawi al-Bantani; Mutiara Nusantara yang Bersinar di Hijaz


Judul Buku        : Penghulu Ulama di Negeri Hijaz
Penulis             : Amirul Ulum
Penerbit            : Pustaka Ulama
Tahun               : 2015
Tebal                : 134 halaman
ISBN                 : 978-602-14834-8-0
Peresensi          : Alfan Maghfuri, mahasiswa Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang

Nama Syaikh Nawawi al-Bantani mungkin sudah tidak asing lagi, terutama di kalangan pesantren di Indonesia. Beliau merupakan ulama Nusantara yang multi talenta dan produktif dengan banyak karya tulis dari berbagai disiplin ilmu. Karya-karyanya tersebar keberbagai belahan dunia islam, terlebih di Timur Tengah dan Nuasantara. Bahkan sampai saat ini, karya-karya beliau masih eksis menjadi kajian utama di pesantren-pesantren salaf yang ada di Indonesia. Islam Nusantara yang dulunya masih terdengar tabu kini menjadi semakin dikenal dunia dengan tampilnya Syaikh Nawawi al-Bantani sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram. Kedalaman ilmu serta kerendahan sifatnya menjadi buah bibir banyak ulama di dunia terutama para ulama dari Haramain. Pengajiannya selalu ramai dipenuhi pelajar dari penjuru dunia yang ingin merasakan manisnya madu keilmuan Syaikh Nawawi al-Bantani.

Hal inilah yang membuat Amirul Ulum menulis buku yang mengupas sejarah Syaikh Nawawi al-Bantani. Melalui buku “Penghulu Ulama di Negeri Hijaz” ini, dikupas secara detail perjalanan hidup Syaikh Nawawi al-Bantani mulai dari sejarah leluhurnya yang gagah perkasa dengan kesulatanan Banten sampai lahir keturunan dari pendiri kesultanan itu Syaikh Nawawi al-Bantani, cahaya yang kelak akan  bersinar terang melanjutkan kegemilangan yang pernah diraih kesultanan Banten sebelum diporakporandakan oleh kelicikan para kompeni.

Saat kesultanan Banten dilenyapkan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1813, di tahun tahun itu pula lahir bayi dari pasangan Kiai Umar dan Nyai Zubaidah yang diberi nama Muhammad Nawawi. Nama Nawawi yang disematkan Kiai Umar kepada putra sulungnya ini terinspirasi dari seorang ulama yang kitabnya sering dikaji oleh Kiai Umar. Ulama itu berasal dari daerah Nawa, Damaskus, Suriah, yang terkenal dengan sebutan Imam an-Nawawi. Dengan menamai putra sulungnya Nawawi, Kiai Umar berharap putranya itu akan menjadi seorang ulama yang handal seperti halnya Imam an-Nawawi yang merupakan sosok ulama alim yang ahli dalam berbagai kajian keilmuan. (hal 50-52)

Syaikh Nawawi al-Bantani lahir dan dibesarkan di lingkungan yang mengedepankan sendi-sendi keislaman. Ayahnya, Kiai Umar adalah seorang ulama alim yang selalu memantau pendidikannya bersama keenam saudaranya. Bersama dengan Nyai Zubaidah, Kiai Umar meniupkan pelajaran-pelajaran keislaman seperti membaca Al-Qur’an, Fiqih, Teologi dan Gramatika Arab. (hal 54)

Sebelum mencari ilmu dan menetap di Hijaz, Syaikh Nawawi sempat melakukan pengembaraan dalam mencari ilmu ke tiga pesantren yang ada di tanah air.Yaitu ketika berusia 8 tahun, beliau beserta kedua adiknya diperintahkan Kiai Umar untuk belajar kepada Kiai Haji Sahal. Sebelum berangkat, Nyai Zubaidah menyampaikan sebuah pesan yang cukup unik kepada ketiga putranya itu, bahwa ia akan selalu mendoakan dan merestui dengan syarat tidak boleh pulang sebelum kelapa yang ditanam Nyai Zubaidah berbuah. (hal 56)

Setelah mendengar kabar bahwa kelapa yang ditanam ibunya telah berbuah, Syaikh Nawawi segera pulang. Baru setelah itu beliau melanjutkan belajar di tanah Haramain. Tiga tahun belajar di sana, Syaikh Nawawi akhirnya pulang ke tanah kelahirannya untuk menyebarkan ilmu yang diperolehnya dari Hijaz. Namun karena selalu diintimidasi oleh para kompeni akhirnya Syaikh Nawawi memutuskan kembali ke Hijaz untuk menetap dan memperdalam ilmunya sekaligus menyiapkan militan dari para penduduk pribumi yang belajar di Hijaz yang nantinya akan mengkader para pejuang-pejuang agar bisa mengusir para penjajah dari tanah mereka. (hal 77)

Pada bagian akhir dari buku ini dipaparkan kontribusi besar yang diberikan Syaikh Nawawi kepada umat Islam khususnya umat Islam Nusantara, seperti banyaknya ulama yang dilahirkan dari tangan beliau. Diantara ulama-ulama itu ada yang menetap dan menjadi pengajar atau imam di Masjidil Haram seperti Syaikh Mafudz at-Turmusi, dan ada juga yang kembali ke Tanah Air seperti Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. (hal 117)

Kehadiran buku ini akan menambah khazanah Islam Nusantara yang telah harum di kancah keilmuan internasional. Membaca kisah Syaikh Nawawi dalam buku ini dapat memberikan sebuah semangat untuk meneladani dan meniru prestasi yang telah ditorehkan beliau untuk Islam Nusantara. Buku ini cocok dibaca untuk semua kalangan, terutama bagi generasi muda agar bisa meniru perjuangan Syaikh Nawawi dalam menuntut ilmu sehingga nantinya bisa melahirkan sosok-sosok seperti Beliau yang mampu membawa Nusantara go internasional. Dengan bahasa yang ringan dan sederhana, menambah kenikmatan untuk menyelami lautan kisah yang ada dalam buku ini. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar