Selasa, 17 November 2015

Gus Sholah: Bersumpah dan Berjihad



Bersumpah dan Berjihad
Oleh: Salahuddin Wahid

Dari daftar peserta Kongres Pemuda II Oktober 1928, tidak banyak tokoh asal pesantren. Tidak berarti saat itu para santri dan ulama tidak merasakan semangat Sumpah Pemuda. Mereka tidak banyak hadir karena belum banyak bergaul dengan pemuda-pemudi lain yang mengambil pendidikan nonpesantren, yang memprakarsai kongres.

Kalangan pesantren mulai banyak terlibat dalam pergerakan kemerdekaan secara nasional saat pembentukan MIAI, Lasykar Hisbullah, BPUPKI, dan PPKI. Peran pesantren betul-betul berarti saat dicetuskannya Resolusi Jihad oleh para ulama Nahdlatul Ulama di bawah pimpinan KHA Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi itu memicu semangat pemuda Jawa Timur untuk membantu TNI melawan tentara Sekutu. Peran ini hampir terkubur akibat pengabaian para penulis buku sejarah, bahkan seorang guru besar ilmu sejarah di Surabaya, akhir 2011, mengatakan, bahwa Resolusi Jihad adalah legenda, bukan fakta sejarah.

Saya meminta guru-guru sejarah di sekolah/madrasah Pesantren Tebuireng untuk mencari arsip koran yang terbit akhir Oktober 1945, karena Resolusi Jihad difatwakan 22 Oktober 1945. Kalau di koran tersebut ada berita tentang Resolusi Jihad, maka Resolusi Jihad adalah fakta sejarah. Kalau berita itu tidak ada, maka itu adalah legenda.

Mereka mencari di Perpustakaan Nasional dan Universitas Leiden. Dalam waktu singkat sudah ada kepastian adanya berita tentang Resolusi Jihad di koran yang terbit akhir Oktober 1945. Kami lalu menulis buku tentang proses terwujudnya Resolusi Jihad, yang terbit 2013.

Film Sang Kyai (2013) menginformasikan pada masyarakat luas tentang peran para ulama dan santri dalam perjuangan kemerdekaan. Hari Santri adalah bentuk penghargaan pemerintah terhadap sumbangsih pesantren kepada bangsa dan negara, baik dalam perjuangan fisik maupun pendidikan. Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua yang mencerdaskan bangsa jauh sebelum berdirinya sekolah Belanda (1840-an). Akan lebih baik apabila penghargaan itu disertai upaya peningkatan mutu pesantren yang selama ini terabaikan.

Memang pada 1945 masih ada sedikit perbedaan antara konsep bangsa dan negara menurut kalangan pesantren dan kelompok Islam dengan konsep menurut kelompok Pancasila, tetapi itu tidak mengurangi makna kebangsaan. Kita bersyukur bahwa partai dan ormas Islam telah menerima Pancasila sekitar 30 tahun lalu, walau kini muncul kembali kelompok yang ingin mendirikan negara berdasar Islam.

Reaktualisasi

Jihad saat ini semangatnya sama dengan jihad tahun 1945, tetapi wujudnya berbeda. Kalau dulu berperang melawan penjajah, kini berperang melawan diri sendiri, berjuang memperbaiki akhlak kita, berjuang melawan penjajahan dalam bentuk lain, yaitu kebodohan, penjajahan ekonomi, dan ketidakadilan sosial, supaya bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam mereaktualisasi Sumpah Pemuda, perlu disadari bahwa mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, mengandung makna bahwa tanah yang satu itu harus dimanfaatkan untuk seluruh rakyat Indonesia bukan segelintir pengusaha yang menguasai tanah jutaan hektar. Juga mengandung makna bahwa tanah yang satu kita rawatsupaya jangan menyengsarakan rakyat, seperti kebakaran hutan.

Mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, mengandung makna bahwa bangsa Indonesia harus mempunyai nasib yang sama, harus terpenuhi kebutuhan dasar mereka, sesuai amanah UUD. Bebas dari diskriminasi dan bebas dari kemiskinan.

Dengan memegang teguh Sumpah Pemuda, terutama oleh para pemimpin di semua tingkatan, kita akan mampu mewujudkan Pancasila. Sehingga tidak ada lagi yang mengatakan negara Pancasila ternyata gagal.

Saat ini, Sumpah Pemuda yang ketiga adalah sumpah yang paling mampu kita jalani, walaupun ada sejumlah catatan. Bahasa Indonesia amat menentukan dalam pembentukan dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Membaca naskah Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya, kita menyaksikan bahwa bahasa Indonesia telah berhasil menjadi bahasa resmi kenegaraan dalam merumuskan cita-cita kemerdekaan dan aturan-aturan dasar kehidupan negara Indonesia.

Bahasa Indonesia telah berjasa membentuk jiwa kebangsaan rakyat Indonesia dan mencerdaskan anak bangsa. Bahasa Indonesia berhasil menjadi media bagi Bung Karno dankawan-kawan untuk menyampaikan pesan politik kepada rakyat.

Bahasa Indonesia telah berhasil menjadi bahasa komunikasi sehari-hari, menjadi bahasa kebudayaan, dan menjadi media bagi ribuan penyair dalam mengungkap perasaan mereka. Beberapa di antaranyamencapai tingkat internasional, seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah, Rendra, Taufik Ismail, Zawawi Imron, dan Sapardi Djoko Damono.

Juga berhasil menjadi sarana bagi sastrawandalam menulis karya-karya mereka termasuk mereka yang terkenal di dunia internasional,seperti Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Romo Mangun, Ahmad Tohari. Juga bagi generasi masa kini, seperti Laksmi Pamuntjak, Andrea Hirata, Habiburrahman, Dee Lestari, Eka Kurniawan.

Bahasa Indonesia juga menjadi media ekspresi WR Supratman, Ismail Marzuki, Alfred Simanjuntak, Koes Bersaudara, Ebiet G Ade, Gombloh, mengungkapkan kecintaannya pada Tanah Air.

Bahasa Indonesia telah dipelajari di 45 negara dan ada rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia untuk menjadikannya bahasa ASEAN. Cita-cita mulia itu membutuhkan banyak persyaratan, termasuk merawat bahasa Indonesia dengan baik. Itu perlu dilakukan dalam bentuk pengajaran yang baik di sekolah, teladan oleh para pemimpin di segala tingkatan, danjuga dalam penggunaan sehari-hari oleh masyarakat.

Banyak pemimpin yang suka menggunakan kata asing, padahal kata padanan dalam bahasa Indonesia mudah dicari. Kita juga menyaksikan fakta bahwa bahasa asing, terutama Inggris, sudah diajarkan sejak di sekolah dasar. Untuk itu, keluargaperlu membiasakan anak berbahasa Indonesia dengan baik di rumah. []

KOMPAS, 14 November 2015
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar