Bersumpah
dan Berjihad
Oleh:
Salahuddin Wahid
Dari
daftar peserta Kongres Pemuda II Oktober 1928, tidak banyak tokoh asal
pesantren. Tidak berarti saat itu para santri dan ulama tidak merasakan
semangat Sumpah Pemuda. Mereka tidak banyak hadir karena belum banyak bergaul
dengan pemuda-pemudi lain yang mengambil pendidikan nonpesantren, yang
memprakarsai kongres.
Kalangan
pesantren mulai banyak terlibat dalam pergerakan kemerdekaan secara nasional
saat pembentukan MIAI, Lasykar Hisbullah, BPUPKI, dan PPKI. Peran pesantren
betul-betul berarti saat dicetuskannya Resolusi Jihad oleh para ulama Nahdlatul
Ulama di bawah pimpinan KHA Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi itu
memicu semangat pemuda Jawa Timur untuk membantu TNI melawan tentara Sekutu.
Peran ini hampir terkubur akibat pengabaian para penulis buku sejarah, bahkan
seorang guru besar ilmu sejarah di Surabaya, akhir 2011, mengatakan, bahwa
Resolusi Jihad adalah legenda, bukan fakta sejarah.
Saya
meminta guru-guru sejarah di sekolah/madrasah Pesantren Tebuireng untuk mencari
arsip koran yang terbit akhir Oktober 1945, karena Resolusi Jihad difatwakan 22
Oktober 1945. Kalau di koran tersebut ada berita tentang Resolusi Jihad, maka
Resolusi Jihad adalah fakta sejarah. Kalau berita itu tidak ada, maka itu
adalah legenda.
Mereka
mencari di Perpustakaan Nasional dan Universitas Leiden. Dalam waktu singkat
sudah ada kepastian adanya berita tentang Resolusi Jihad di koran yang terbit
akhir Oktober 1945. Kami lalu menulis buku tentang proses terwujudnya Resolusi
Jihad, yang terbit 2013.
Film Sang
Kyai (2013) menginformasikan pada masyarakat luas tentang peran para ulama dan
santri dalam perjuangan kemerdekaan. Hari Santri adalah bentuk penghargaan
pemerintah terhadap sumbangsih pesantren kepada bangsa dan negara, baik dalam
perjuangan fisik maupun pendidikan. Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua
yang mencerdaskan bangsa jauh sebelum berdirinya sekolah Belanda (1840-an).
Akan lebih baik apabila penghargaan itu disertai upaya peningkatan mutu
pesantren yang selama ini terabaikan.
Memang
pada 1945 masih ada sedikit perbedaan antara konsep bangsa dan negara menurut
kalangan pesantren dan kelompok Islam dengan konsep menurut kelompok Pancasila,
tetapi itu tidak mengurangi makna kebangsaan. Kita bersyukur bahwa partai dan
ormas Islam telah menerima Pancasila sekitar 30 tahun lalu, walau kini muncul
kembali kelompok yang ingin mendirikan negara berdasar Islam.
Reaktualisasi
Jihad
saat ini semangatnya sama dengan jihad tahun 1945, tetapi wujudnya berbeda.
Kalau dulu berperang melawan penjajah, kini berperang melawan diri sendiri,
berjuang memperbaiki akhlak kita, berjuang melawan penjajahan dalam bentuk
lain, yaitu kebodohan, penjajahan ekonomi, dan ketidakadilan sosial, supaya
bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam
mereaktualisasi Sumpah Pemuda, perlu disadari bahwa mengaku bertumpah darah
yang satu, tanah Indonesia, mengandung makna bahwa tanah yang satu itu harus
dimanfaatkan untuk seluruh rakyat Indonesia bukan segelintir pengusaha yang
menguasai tanah jutaan hektar. Juga mengandung makna bahwa tanah yang satu kita
rawatsupaya jangan menyengsarakan rakyat, seperti kebakaran hutan.
Mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, mengandung makna bahwa bangsa Indonesia
harus mempunyai nasib yang sama, harus terpenuhi kebutuhan dasar mereka, sesuai
amanah UUD. Bebas dari diskriminasi dan bebas dari kemiskinan.
Dengan
memegang teguh Sumpah Pemuda, terutama oleh para pemimpin di semua tingkatan,
kita akan mampu mewujudkan Pancasila. Sehingga tidak ada lagi yang mengatakan
negara Pancasila ternyata gagal.
Saat ini,
Sumpah Pemuda yang ketiga adalah sumpah yang paling mampu kita jalani, walaupun
ada sejumlah catatan. Bahasa Indonesia amat menentukan dalam pembentukan dan
perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Membaca naskah Pembukaan UUD 1945 dan
batang tubuhnya, kita menyaksikan bahwa bahasa Indonesia telah berhasil menjadi
bahasa resmi kenegaraan dalam merumuskan cita-cita kemerdekaan dan
aturan-aturan dasar kehidupan negara Indonesia.
Bahasa
Indonesia telah berjasa membentuk jiwa kebangsaan rakyat Indonesia dan
mencerdaskan anak bangsa. Bahasa Indonesia berhasil menjadi media bagi Bung
Karno dankawan-kawan untuk menyampaikan pesan politik kepada rakyat.
Bahasa
Indonesia telah berhasil menjadi bahasa komunikasi sehari-hari, menjadi bahasa
kebudayaan, dan menjadi media bagi ribuan penyair dalam mengungkap perasaan
mereka. Beberapa di antaranyamencapai tingkat internasional, seperti Chairil
Anwar, Amir Hamzah, Rendra, Taufik Ismail, Zawawi Imron, dan Sapardi Djoko
Damono.
Juga
berhasil menjadi sarana bagi sastrawandalam menulis karya-karya mereka termasuk
mereka yang terkenal di dunia internasional,seperti Pramoedya Ananta Toer,
Mochtar Lubis, Romo Mangun, Ahmad Tohari. Juga bagi generasi masa kini, seperti
Laksmi Pamuntjak, Andrea Hirata, Habiburrahman, Dee Lestari, Eka Kurniawan.
Bahasa
Indonesia juga menjadi media ekspresi WR Supratman, Ismail Marzuki, Alfred
Simanjuntak, Koes Bersaudara, Ebiet G Ade, Gombloh, mengungkapkan kecintaannya
pada Tanah Air.
Bahasa
Indonesia telah dipelajari di 45 negara dan ada rekomendasi Kongres Bahasa
Indonesia untuk menjadikannya bahasa ASEAN. Cita-cita mulia itu membutuhkan
banyak persyaratan, termasuk merawat bahasa Indonesia dengan baik. Itu perlu
dilakukan dalam bentuk pengajaran yang baik di sekolah, teladan oleh para
pemimpin di segala tingkatan, danjuga dalam penggunaan sehari-hari oleh
masyarakat.
Banyak
pemimpin yang suka menggunakan kata asing, padahal kata padanan dalam bahasa
Indonesia mudah dicari. Kita juga menyaksikan fakta bahwa bahasa asing,
terutama Inggris, sudah diajarkan sejak di sekolah dasar. Untuk itu,
keluargaperlu membiasakan anak berbahasa Indonesia dengan baik di rumah. []
KOMPAS,
14 November 2015
Salahuddin
Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar