Pondok Pesantren Al –
Amien, Prenduan, Sumenep, Madura – Jawa Timur
Selayang Pandang
AL-AMIEN PRENDUAN
merupakan salah satu pondok pesantren di pulau madura. Berpusat di desa Prenduan,
kecamatan Pragaan kabupaten Sumenep. Desa Prenduan sendiri merupakan desa yang
terletak di pinggiran jalan poros propinsi yang menguhubungkan Kabupaten
Pamekasan dan Sumenep. Desa Prenduan merupakan desa di pesisir selatan pulau
madura, kurang lebih 30 km sebelah barat kota Sumenep dan 22 km sebelah timur
kota Pamekasan.
Saat ini Pondok
Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN menempati lahan seluas 25 ha yang menyebar di
beberapa lokasi di desa Pragaan Laok dan desa Prenduan. Di masa-masa yang akan
datang, besar harapan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN
akan berdiri cabang-cabang baru di daerah-daerah lain yang membutuhkan dan
memungkinkan.
AL-AMIEN PRENDUAN
sendiri merupakan lembaga yang berbentuk dan berjiwa pondok pesantren yang
bergerak dalam lapangan pendidikan, dakwa, kaderisasi dan ekonomi sekaligus
pula menjadi pusat studi islam. Dengan mengembangkan sistem-sistem yang
inovatif, tapi tetap berakar pada budaya as-Salaf as-Sholeh. Pondok pesantren
ini merupakan lembaga yang independen dan netral, tidak berafiliasi kepada
salah satu golongan atau partai politik apapun. Seluruh aset dan kekeyaan
Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN telah diwakafkan kepada ummat Islam dan
dikelola secara kolektif oleh sebuah Badan Wakaf yang disebut Majlis Kiyai.
Untuk melaksanakan tugas-tugas sehari, Majlis Kyai mendirikan sebuah yayasan
yang memiliki badan hukum dan telah terdaftar secara resmi di kantor Pengadilan
Negeri Sumenep.
Sejarah Singkat
Sejarah berdiirinya,
pondok pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tidak bisa dilepaskan dari sejarah
perkembangan agama Islam di Prenduan itu sendiri. Karena Kiai Chotib (kakek para
pengasuh sekarang) yang memulai usaha pembangunan lembaga pendidikan Islam di
Prenduan, juga merupakan Kiai mengembangkan Islam di Prenduan. Usaha
Pembangunan lemba ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari usaha adik ipar
beliau, Kiai Syarqowi yang hijrah ke Guluk-guluk setelah kurang lebih 14 tahun
membina masyrakat Prenduan dalam rangka memenuhi amanat sahabatnya, Kiai Gemma yang wafat di
Mekkah.
Sebelum meninggalkan
Prenduan untuk hijrah ke Guluk-guluk, Kiai Syarqowi meminta Kiai Chotib untuk
menggantikannya membimbing masyarakat Prenduan, setelah sebelumnya menikahkan
beliau dengan salah seorang putri asli Prenduan yang bernama Aisyah, atau yang
lebih dikenal kemudian dengan Nyai Robbani. Dengan senang hati Kiai Chotib
menerima amanah tersebut.
Beberapa tahun
kemudian, sekitar awal abad ke-20, Kiai Chotib mulai merintis pesantren dengan
mendirikan Langgar kecil yang dikenal dengan Congkop. Pesantren Congkop,
begitulah masyarakat mengenal lembaga pendidikan ini, karena bangunan yang
berdiri pertama kali di pesantren ini adalah bangunan berbentuk Congkop
(bangunan persegi semacam Joglo). Bangunan ini berdiri di lahan gersang nan
labil dan sempit yang dikelilingi oleh tanah pekuburan dan semak belukar,
kurang lebih 200 meter dari langgar yang didirikan oleh Kiai Syarqowi.
Sejak saat itu, nama
congkop sudah menjadi dendang lagu lama pemuda-pemuda prenduan dan sekitarnya
yang haus akan ilmu pengetahuan. Ngaji
di Congkop…mondok di Congkop…nyantri di Congkop… dan beberapa
istilah lainnya. Dari congkop inilah sebenarnya cikal bakal Pondok Pesantren
AL-AMIEN PRENDUAN yang ada sekarang ini dan kiai Chotib sendiri ditetapkan
sebagai perintisnya.
Tapi sayang sebelum
congkop menjadi besar seperti yang beliau idam-idamkan, kiai Chotib harus
meninggalkan pesantren dan para santri-santri yang beliau cintai untuk
selama-lamanya. Pada hari sabtu, tanggal 7 Jumadil Akhir 1349 / 2 Agustus 1930
beliau berpulang ke haribaan-Nya. Sementara putra-putri beliau yang berjumlah 8
orang sebagian besar telah meninggalkan Congkop untuk ikut suami atau membina
umat di desa lain. Dan sebagian lagi masih belajar di berbagai pesantren besar
maupun di Mekkah. Sejak itulah cahaya Congkop semakin redup karena regenerasi
yang terlambat. Walaupun begitu masih ada kegaitan pengajian yang dibina oleh
Nyai Ramna selama beberapa tahun kemudian.
Periode Pembangunan Ulang
Setelah meredup
dengan kepergian kiai Chotib, kegiatan pendidikan Islam di Prenduan kembali
menggeliat dengan kembalinya kiai Djauhari (putra ke tujuh kiai Chotib) dari
Mekkah setelah sekian tahun mengaji dan menuntut ilmu kepada Ulama-ulama
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Beliau kembali bersama istri tercinta Nyai Maryam
yang merupakan putri salah seorang Syekh di Makkah Al-Mukarromah.
Sekembali dari
Mekkah, KH. Djauhari tidak langsung membuka kembali pesantren untuk melanjutkan
rintisan almarhum ayah beliau. Beliau melihat masyarakat Prenduan yang pernah dibinanya
sebelum berangkat ke Mekkah perlu ditangani dan dibina lebih dahulu karena
terpecah belah akibat masalah-masalah khilafiyah yang timbul dan berkembang di
tengah-tengah mereka.
Setelah masyarakat
Prenduan bersatu kembali, barulah beliau membangun madrasah yang baru yang
lebih teratur dan terorganisir. Madrasah baru tersebut diberi nama Mathlabul Ulum atau Tempat Mencari Ilmu.
Madrasah ini terus berkembang dari waktu-waktu termasuk ketika harus berjuang
melawan penjajahan Jepang dan masa-masa mempertahankan kemerdekaan pada tahun
45-an. Bahkan ketika KH. Djuhari harus mendekam di dalam tahanan Belanda selama
hampir 7 bulan madrasah ini terus berjalan dengan normal dikelola oleh
teman-teman dan murid-murid beliau.
Hingga akhir tahun
1949 setelah peperangan kemerdekaan usai dan negeri tercinta telah kembali
aman, madrasah Mathlabul Ulum pun semakin pesat berkembang. Murid-muridnya
bertambah banyak, masyrakat semakin antusias sehingga dianggap perlu membuka
cabang di beberapa desa sekitar. Tercatat ada 5 madrasah cabang yang dipimpin
oleh tokoh masyarakat sekitar madrasah. Selain mendirikan Mathlabul Ulum beliau
juga mendirikan Tarbiyatul Banat yang dikhususkan untuk kaum wanita. Selain
membina madrasah, KH. Djauhari tak lupa mempersiapkan kader-kader penerus baik
dari kalangan keluarga maupun pemuda-pemuda Prenduan. Tidak kurang dari 20
orang pemuda-pemudi Prenduan yang dididik khusus oleh beliau.
Hingga akhir tahun
1950-an Mathlabul Ulum dan Tarbiyatul Banat telah mencapai masa keemasannya.
Dikenal hampir di seluruh Prenduan dan sekitarnya. Namun sayang kondisi umat
Islam yang pada masa itu diterpa oleh badai politik dan perpecahan memberi
dampak cukup besar di Prenduan dan Mathlabul Ulum. Memecah persatuan dan
persaudaraan yang baru saja terbangun setelah melewati masa-masa penjajahan.
Pimpinan, guru dan murid-murid Mathlabul Ulum terpecah belah.
Periode Pengembangan
Periode Pendirian Pesantren (1952 - 1971)
Menjelang akhir tahun
1951, di tengah keprihatinan memikirkan nasib Mathlabul Ulum yang terpecah KH.
Djauhari teringat pada Pesantren Congkop dan almarhum ayahanda tercinta,
teringat pada harapan masyrakat Prenduan saat pertama kali beliau tiba dari
Mekkah. Beliaupun bertekad untuk membangkitkan kembali harapan yang terpendam,
membangun Congkop Baru.
Langkah pertama yang
beliau lakukan adalah membangun sebuah langgar atau mushalla yang menjadi pusat
kegiatan santri dan para ikhwan Tidjaniyyin. Akhirnya setelah kurang lebih 1
tahun, walaupun dengan sangat sederhana Majlis Tidjani pun berdiri tegak. Maka
tepat pada tanggal 10 November 1952 yang bertepatan dengan 09 Dzul Hijjah 1371
dengan upacara yang sengat sederhana disaksikan oleh beberapa santri dan Ikhwan
Tidjaniyyin, KH. Djauhari meresmikan berdirinya sebuah Pesantren dengan nama
Pondok Tegal. Pondok Tegal inilah yang kemudian berkembang tanpa putus hingga
saat ini dan menjadi Pondok Pesantren Al-Amien seperti yang kita kenal sekarang
ini. Karena itulah tanggal peresmian yang dipilih oleh KH. Djauhari disepakati
oleh para penerus beliau sebagai tanggal berdirinya Pondok Pesantren AL-AMIEN
PRENDUAN.
Di Majlis Tidjani
yang baru berdiri inilah, KH. Djauhari mulai mengasuh dan membimbing
santri-santrinya. Semula hanya sebatas Ikhwan Tidjaniyyin yang datang dan
pergi, kemudian datanglah santri-santri yang berhasrat untuk bermukim. Pada
awal-awal tersebut pendidikan dan pengajaran lebih ditekankan pada penanaman
akidah, akhlak dan tasawuf, selain juga diajarkan kitab-kitab dasar Nahwu dan
Shorrof.
Pada tahun 1958
Departemen Agama membuka Madrasah Wajib Belajar (MWB) secara resmi dengan masa
belajar 8 tahun. KH. Djauhari sangat tertarik dengan sistem madrasah ini,
karena selain pelajaran agama dan umum juga diajarkan pelajaran keterampilan
dan kerajinan tangan. Maka pada pertengahan tahun 1959 beliau membuka MWB di
Pondok Tegal, sementara Mathlabul Ulum beliau jadikan Madrasah Diniyah dengan
nama Mathlabul Ulum Diniyah (MUD) yang diselenggarakan pada sore hari hingga
kini.
Selain mendirikan MWB
beliau juga mendirikan TMI Majalis, diilhami oleh sistem pendidikan Kulliyatul
Mu’allimien Al-Islamiyah Pondok Modern Gontor. Terutama setelah putra beliau
Moh. Tidjani mondok di sana. Didorong oleh obsesinya untuk mendirikan sebuah
pesantren besar yang representatif beliau merintis madrasah tingkat menengah di
Pondok Tegal. Untuk madrasah yang baru ini beliau secara sengaja memilih nama
Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah atau TMI, tafa’ulan terhadap KMI Gontor
yang sangat beliau kagumi. Apalagi setelah melihat hasil yang dicapai oleh
putranya, Moh. Tidjani setelah setahun mondok di sana.
Selain mendirikan TMI
Majalis KH. Djauhari juga pernah mendirikan Sekolah Lanjutan Pertama Islam yang
diprakarsai oleh beberapa orang pemuda Prenduan. Namun lembaga ini hanya
bertahan selama 2 tahun karena kesalahan manajemen dan kesibukan para
pengelolanya. Lalu muncul pula ide serupa beberapa tahun kemudian beliau
mendirikan kembali Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) yang pada akhirnya
kemudian disatukan dengan TMI Majalis dengan sistem terpadi yang kemudian
menempati lokasi baru di desa Pragaan Laok.
Pada akhir era 70-an
KH. Djauhari begitu kecewa dengan perkembangan umat Islam yang semakin terpecah
belah oleh politik dan partai. Sementara, hasratnya yang begitu besar untuk
mendirikan pesantren besar yang representatif bagi pengkaderan generasi muda
muslim. Untuk itulah putra beliau, Muhammad Idris Jauhari yang baru
menyelesaikan pendidikan di KMI Gontor tidak beliau perkenankan untuk
melanjutkan studi keluar daerah. Bahkan beliau minta untuk membantu beliau
dalam banyak kegiatan, mengajar santri, mengimami sholat, mengisi pengajian,
mengurusi pondok dan lain-lainnya. Saat itu, seolah-olah beliau hendak
berpamitan sekaligus meninggalkan amanat besar yang harus dilanjutkan oleh
putra-putri beliau. Dan memang tidak lama kemudian, pada hari jumat 18 Rabiuts
Tsani 1371 / 11 Juni 1971 beliau berpulang ke rahmatullah dengan tenang di
dampingi oleh istri, anak dan keluarga beliau.
Periode Pengembangan Pertama (1971 - 1989)
Sepuluh hari sepeninggal KH. Djauhari, masyrakat Prenduan bermufakat untuk menjariyahkan sebidang tanah seluas 6 ha kepada putra almarhum, Moh. Tidjani Djauhari yang baru pulang dari Makkah untuk didirikan di atasnya pesantren yang representatif sesuai dengan cita-cinta almarhum semasa hayatnya. Tanah tersebut 2,5 ha berasal dari hasil pembelian yang harganya ditanggung oleh dermawan Prenduan, Kapedi dan Pekandangan sedangkan sisanya yang 3,5 ha berasal dari jariyah ahli waris almarhum Haji Syarbini yang disponsori oleh putranya Haji Fathurrahman Syarbini.
Di lokasi baru inilah
kemudian yang dikembangkan ke arah selatan, barat dan utara sehingga saat ini
luasnya kurang lebih 12 ha, yang kemudian dikenal dengan Pondok Al-Amien
Komplek II yang sekarang menjadi pusat seluruh kegiatan AL-AMIEN PRENDUAN.
Sebelum memulai pembangunan komplek II ini, kiai Moh. Tidjani Djauhari bersama
kiai Muhammad Idris Juhari melakukan safari panjang ke beberapa pesantren
terkenal di Jawa Timur dalam rangka mohon izin dan doa restu untuk mendirikan
sebuah pesantren baru sekaligus melakukan studi banding dalam rangka mencari
format yang paling cocok untuk masyrakat madura yang memang berciri khusus
pula.
Namun, kiai Moh.
Tidjani sementara tidak bisa meneruskan proses pendirian pesantren baru ini
karena beliau harus segera kembali ke Mekkah untuk menyelesaikan Magisternya
yang hampir tuntas. Maka walau awalnya keberatan, beban tanggung jawab untuk
melanjutkan cita-cita almarhum diterima oleh Kiyai Muhammad Idris Jauhari.
Apalagi ada jaminan kebebasan untuk berkreasi dan berbuat. Lagi pula ini hanya
sementara dan di belakang beliau ada banyak pihak yang siap mendukung seluruh
kegiatan pondok.
Berdasarkan hasil
safari panjang yang dilakukan sebelumnya itulah, konsep tentang Pondok
Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN yang baru, yang mencerminkan cita-cita almarhum KH.
Djauhari Mendirikan
Pesantren Ala Gontor tapi tidak melupakan nilai-nilai tradisi ke
maduraan yang khas dirumuskan. Maka pada tanggal 10 Syawal 1371 atau 03
Desember 1971 dalam sebuah upacara yang sangat sederhana tapi khidmat, bertempat
di serambi Bu Jemmar dan dihadiri oleh beberapa anggota panitia dan guru-guru,
Kiyai Muhammad Idris Jauhari meresmikan berdirinya pesantren baru, dan beliau
sebagai direkturnya.
Tarbiyatul
Mu’allimien Al-Islamiyah atau lebih dikenal dengan TMI, begitulah lembaga
pendidikan di lingkungan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tersebut dinamakan.
Pemilihan nama ini sesuai dengan harapan dari almarhum yang menginginkan
beridirinya sebuah lembaga pendidikan serupa dengan KMI Gontor. Di awal
perjalanannya lembaga baru ini banyak mendapatkan tentangan dari beberapa pihak
yang belum mengerti tentang dasar, acuan dan prinsip sistem pendidikannya yang
menjadi acuannya.
Walaupun mendapatkan
tantangan dari luar dan dalam, namun proses pendidikan tetap berjalan dengan
baik. Wisuda pertama dilaksanakan pada tahun 1978 bersamaan dengan kedatangan
KH. Moh. Tidjani Djauhari yang sedang pulang kampung. Bersamaan dengan wisuda
tersebut dihelat pula peringatan tujuh tahun TMI yang dihadiri oleh tokoh
masyarakat, pejabat pemerintahan dan wali santri.
Untuk membantu tugas
sehari-hari kiai dan guru-guru juga sebagai media latihan berorganisasi maka
pada tahun 1975 dibentuklah Organisasi Santri yang bernama OP TMI dan Gudep
Pramuka. Yang kemudian bermetamorfosa menjadi ISMI hingga saat ini.
Walaupun
mengembangkan pesantren di lokasi baru, Pondok Tegal sebagai sebuah warisan
dari almarhum tetap dipertahankan bahkan dikembangkan. Untuk itulah pengelolaan
kegiatan pendidikan sehari-hari diserahkan kepada kiai Musyhab yang merupakan
keponakan KH. Djauhari sekaligus menantu beliau. Sedangkan KH. Muhammad Idris
Jauhari fokus mengelola TMI di lokasi baru.
Selain mengembangkan
Pondok Tegal pada tahun 1973 juga dibuka Pondok Putri I di atas tanah milik
kiai Abdul Kafi dan istrinya Nyai Siddiqoh keponakan KH. Djauhari yang memang
dikaderkan secara khusus oleh beliau. Pendirian Pondok Putri I ini sendiri
diawali oleh datangnya beberapa remaja putri Prenduan kepada Nyai Siddiqoh
untuk mondok dan belajar secara khusus kepada beliau. Kedatangan remaja putri
lainnyapun berulang di beberapa waktu setelahnya. Hal inilah yang mendorong
beliau untuk membangun lokasi khusus untuk penginapan dan pemondokan mereka.
Sehingga sejak tahun 1986 secara resmi Pondok Putri I berdiri dan sejak itu
dikenal dengan Pondok Putri Al-Amien I atau Mitri I. Beberapa pengembanganpun
dilakukan untuk memajukan Pondok Putri I sebagaimana halnya Pondok Tegal.
Pengembangan yang
dilakukan tidak hanya di Pondok Putri I saja, sejak awal didirikannya telah ada
hasrat yang besar untuk membangun Pondok Pesantren khusus putri yang
bersistemkan TMI. Maka pada awal tahun 1975 dibangunlah SP Mu’allimat namun
terpaksa diganti dengan MTs. Putri karena beberapa faktor. Namun pada tahun
ajaran 1983/1984 beberapa wali santri datang untuk mengantarkan putrinya di
lembaga pendidikan yang bersistem TMI bukan MTs. maupun MA. Obsesi lama
tersebutpun muncul kembali ke permukaan. Maka setelah dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya, tepat pada tanggal 10 Syawal 1405 / 29 Juni 1985 dalam sebuah
upacara yang sederhana di salah satu ruang belajar MTs. Pondok Putri I. Dra.
Ny. Anisah Fatimah Zarkasyi yang saat itu sedang mudik dari Mekkah meresmikan
berdirinya Tarbiyatul Mu’allimat Al-Islamiyah (TMaI) dan KH. Mahmad Aini
ditunjuk sebagai direkturnya.
Hingga tahun 1983
TMaI masih menempati lokal MTs Pondok Putri I sampai akhirnya pindah ke lokasi
baru, menempati tanah yang dijariyahkan oleh Hajjah Maryam. Di atas tanah
seluas 1000 m2 yang terletak di sebelah barat rumah beliau tersebutlah kemudian
dibangun lokal pertama milik TMaI. Dari lokal berbentuk L inilah TMaI mulai
berkembang setapak demi setapak hingga seperti saat ini.
Alhamdulillah setelah
enam tahun menjalankan program pendidikannya, pada tanggal 15 Ramadan 1411 / 31
Maret 1991 TMaI berhasil mewisuda alumni pertamanya sebanyak 11 orang.
Kesebalas orang tersebut adalah mereka yang bertahan dari 25 orang saat
pendaftaran awal pada tahun 1985.
Di lain sisi, sejak
awal pembangunan TMI telah disadari pentingnya mendirikan Lembaga Pendidikan
Tinggi di lingkungan AL-AMIEN PRENDUAN. Utamanya adalah untuk menampung alumni
TMI yang berhasrat untuk melanjutkan pendidikannya namun masih di dalam pondok.
Maka disepakatilah untuk mendidikan pesantren tinggi dengan nama Pesantren
Tinggi Al-Amien (PTA) Fakultas Dakwah dengan KH. Shidqi Mudzhar sebagai
dekannya dan KH. Jamaluddin Kafie sebagai pembantu dekan sekaligus pelaksana
harian.
Selanjutnya ketika
Menteri Agama, Bapak Munawwir Syadzali, MA berkunjung ke Al-Amien pada tanggal
04 Dzulhijjah 1403 / 11 September 1983 beliau diminta untuk meresmikan
Pesantren Tinggi Al-Amien. Dan sesuai dengan peraturan pada masa itu Pesantren
Tinggi diubah namanya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Amien (STIDA) yang
pada 24 Rajab 1402 / 29 Januari 1992 melepas wisudawannya sebanyak 43 orang.
Periode Pengembangan Kedua (1989-sekarang)
Tanggal 27 Januari
1989, KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA kembali dari Mekkah Al-Mukarromah. Kemudian
disusul oleh KH. Maktum Jauhari, MA pada tahun 1990 yang baru saja
menyelesaikan Magisternya di Al-Azhar Cairo. Sejak saat itulah Pondok Pesantren
AL-AMIEN PRENDUAN memasuki masa pengembangan baru. Pengembangan-pengembangan
semakin cepat berjalan karena sinergi yang semakin solid.
Pengembangan pertama
yang dilakukan adalah Pendirian Ma’had Tahfidh Al-Qur’an (MTA). Pendirian MTA
ini didasari pada obsesi lama untuk mencetak generasi Hafadzah Al-Qur’an yang
mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat. Maka pada tahun 1990
pendirian MTA dimulai dengan membuka kembali program Jamaah Tahfidz di kalangan
santri senior TMI. Lalu kemudian pada pertengahan bulan Sya’ban 1411 / Februari
1991 KH. Muhammad Idris Jauhari bersama KH. Ainul Had dan KH. Zainullah Rais
berkeliling ke beberapa Ma’had Tahfidzil Qur’an di Jawa Timur, Jogjakarta
hingga ke Jawa Tengah untuk studi banding dan mencari pola serta sistem yang
paling representatif bagi Ma’had Tahfidzil Qur’an Al-Amien.
Dengan perantara
Syekh Bakr Khumais, seorang dermawan Arab Saudi Syekh Ahmad Hasan Fatihy
bersedia menyediakan dana yang cukup untuk membuka lembaga khusus bagi MTA yang
terpisah dengan TMI. Maka pada dengan segala persiapan yang matang pada tanggal
12 Rb. Awal 1412 / 21 September 1991 KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA meresmikan
berdirinya MTA dengan jumlah murid pertama sebanyak 28 orang.
Pengembangan kedua
adalah pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Hal ini telah terobsesi
sejak lama, sejak beliau masih berada di Mekkah Al-Mukarromah. Beliau
menginginkan di tengah-tengah kampus Al-Amien nantinya dibangun sebuah masjid
yang besar, megah, indah dan multifungsi. Maka sepulang dari Mekkah beliau pun
membentuk Panitia Pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Segera setelah
panitia dibentuk pembangunan masjid tersebut dimulai. Segala daya dan upaya
dilakukan untuk mensukseskan pembanguan masjid besar ini. Untuk teknis
pembangunan PT. Adhi Karya dan Pondok Modern Gontor pun di gandeng.
Pembangunan masjid
besar seluas 48 x 40 meter ini berjalan secara bertahap dari tahun ke tahun.
Proses pembangunannya kadang berlari, merangkak bahkan merayap sesuai dengan
kebutuhan dan dana yang ada. Hingga akhirnya seluruh bagian utama masjid
tersebut selesai tepat bersamaan dengan perayaan kesyukuran 45 tahun berdirinya
AL-AMIEN PRENDUAN. Pada perhelatan akbar itu pula Menteri Agama meresmikan
Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Total keseluruhan pembiayan yang dihabiskan
hingga saat itu mencapai Rp. 1.293.005.000.
Pengembangan
selanjutnya adalah peningkatan status Sekolah Tinggi Dakwah Al-Amien (STIDA)
menjadi Sekolah Tinggai Agama Islam Al-Amien (STAI) dengan dibukanya Jurusan
Pendidikan Agama (Tarbiyah) pada tahun 1995. Lalu pada tahun 2001 status STAI
ditingkat kembali menjadi Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) dengan
dibukanya 3 jurusan baru, Pendidikan Bahasa Arab (Tarbiyah), Jurusan Tafsir
Hadis (Ushuluddin) dan Jurusan Akidah Filsafat (Ushuluddin).
Memasuki tahun 2002,
AL-AMIEN PRENDUAN memasuki usianya yang ke 50. Untuk menyambut usia emas ini
digelar peringatan Kesyukuran Setengah Abad Al-Amien dengan aneka kegiatan yang
berlangsung selama 20 hari lamanya. Pada peringatan ini pula diresmikan MI
Ponteg sebagai MI percontohan oleh Mendiknas RI. Beberapa pengembangan terus
dilakukan, diantaranya adalah pendirian MTA Putri pada tahun 2006.
Setelah 18 tahun
berjuang mengembangkan AL-AMIEN PRENDUAN, pada tanggal 15 Ramadhan 1428 KH.
Moh. Tidjani Djauhari, MA wafat dan meninggalkan amanah pengembangan AL-AMIEN
PRENDUAN kepada KH. Muhammad Idris Jauhari dan kiai-kiai dan guru-guru yang
lain. Patah tumbuh, hilang berganti. Demikian pepatah menggambarkan bagaimana
perkembangan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN sejak didirikannya hingga saat
ini.
Struktur Organisasi
Pondok Pesantren
AL-AMIEN PRENDUAN diurus dan dikelola secara kolektif oleh beberapa Badan
Pengurus yang terstruktur, sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Badan-badan pengurus tersebut bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen
yang modern, efektif dan efisien tapi tetap berpijak pada bingkai visi dan misi
dan landasan-landasan AL-AMIEN PRENDUAN. Secara hirarki organisatoris,
kepengurusan tersebut bisa diuraikan sebagai berikut :
1. Badan Wakaf /
Majlis Kiai (Majlis Riasah al-Ma’had)
Majlis Kiai adalah
badan tertinggi di lingkungan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN, yang
menentukan arah kebijakan pondok pesantren AL-AMIEN PRENDUAN baik ke dalam
maupun keluar. Anggotanya dari 7 sampai 11 kiyai sepuh, dengan struktur
organisasinya terdiri dari ketua, wakil dan anggota. Ketua dan wakil sekligus
berfungsi sebagai pengasuh (Rais) dan wakil pengasuh (naib rais) pondok
pesantren AL-AMIEN PRENDUAN, sedangkan anggota-anggota Majlis Kyai berfungsi
sebagai Direktur (mudir) di sentra-sentra pendidikan yang ada. Khusus untuk
menangani pengasuhan santriwati sehari-hari, Majlis Kyai membentuk Dewan
Pengasuh Putri yang terdiri dari nyai-nyai sepuh, istri anggota Majlis Kyai.
2. Badan Pendamping
Kiai (Majlis
A’wan ar-Riasah)
Majlis A’wan adalah
sebuah badan pengurus yang berfungsi sebagai pendamping Majlis Kiai dalam
melaksanakan program pondok sehari-hari. Anggotanya terdiri dari 11 sampai 16
kiai-kiai muda atau ustadz-ustadz senior. Struktur organisasinya terdiri dari
Ketua, wakil, sekretaris, bendahara, koordinator bidang (korbid) pendidikan,
korbid dakwah, korbid kaderisasi sertakorbid dana dan sarana. Sekretaris dan
Bendahara Majlis A’wa sekaligus berfungsi sebagai Sekretaris dan Bendahara
Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN.
3. Yayasan AL-AMIEN
PRENDUAN (Mu’assasah Ma’had al-Amien al-Islami Prenduan)
Yayasan ini berfungsi
sebagai Pelaksana Harian seluruh program pondok yang telah digariskan.
Pengurusnya terdiri dari 17 sampai 25 guru senior dan tokoh masyarakat dengan
struktur organisasi sebagai berikut : Ketua, wakil ketua, sekretaris,
bendahara, Kepala Biro (Karo) pendidikan, karo dakwah, karo kaderisasi dan karo
dana sarana, karo pusat studi islam. Yayasan dibentuk oleh dan bertanggung
jawab langsung kepada Majlis Kiai pondok pesantren AL-AMIEN PRENDUAN.
4. Lembaga-lembaga
dan unit-unit usaha (Al-Ma’had wa Ulihdatul Amal)
Lembaga-lembaga dan
unit-unit usaha ini sengaja didirikan untuk menunjang terlaksananya
program-program pondok secara maksimal. Terdiri dari lembaga-lembaga
pendidikan, lembaga-lembaga dakwah, lembaga-lembaga kaderisasi, lembaga-lembaga
ekonomi (dana dan sarana) serta lembaga-lembaga penelitian. Seluruh lembaga dan
unit usaha ini memiliki struktur sebagaimana lazimnya organisasi yang terdiri
dari Ketua, wakil, sekretaris dan bendahara serta bagian-bagian tertentu yang
sesuai dengan spesifikasi bidangnya. Pengurus lembaga-lembaga serta unit usaha
terdiri dari guru-guru, santri senior dan profesional lainnya yang diperlukan.
Dewan Riasah
Majlis Kiai adalah
badan tertinggi di lingkungan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN, yang
menentukan arah kebijakan pondok pesantren AL-AMIEN PRENDUAN baik ke dalam
maupun keluar. Anggotanya dari 7 sampai 11 kiyai sepuh, dengan struktur
organisasinya terdiri dari ketua, wakil dan anggota. Ketua dan wakil sekligus
berfungsi sebagai pengasuh (Rais) dan wakil pengasuh (naib rais) pondok
pesantren AL-AMIEN PRENDUAN, sedangkan anggota-anggota Majlis Kyai berfungsi
sebagai Direktur (mudir) di sentra-sentra pendidikan yang ada. Khusus untuk
menangani pengasuhan santriwati sehari-hari, Majlis Kyai membentuk Dewan
Pengasuh Putri yang terdiri dari nyai-nyai sepuh, istri anggota Majlis Kyai.
Saat ini struktur
organisasi Dewan Riasah sebagai berikut :
1. KH. Muhammad Idris
Jauhari (Ketua/pengasuh)
2. KH. Maktum Jauhari
(Wakil ketua/wakil pengasuh)
3. KH. Moh. Khoiri Husni,
S.Pd.I (Sekretaris)
4. KH. Zainullah Rais,
Lc (Bendahara)
5. KH. Fauzi Rasul, Lc
(Anggota)
6. KH. Bahri As’ad,
S.Pd.I (Anggota)
7. KH. A. Fauzi Tidjani,
MA (Anggota)
Sedangkan struktur
dewan pengasuh putri sebagai berikut :
1. Ny. Dra. Hj. Anisah
Fatimah Z (Ketua)
2. Ny. Hj. Zahratul
Wardah, BA (Wakil)
3. Ny. Hj. Kinanah
Syubli (Anggota)
4. Ny. Hj. Nur Jalilah
Dimyati, Lc (Anggota)
5. Ny. Hj. Mamnunah
Abdul Rahim (Anggota)
6. Ny. Hj. Halimatus Sa’diyah
(Anggota)
Struktur Majlis A’wan
Riasah :
1. KH. Moh. Fikri
Husein, MA
2. KH. Moh. Marzuqi
Ma’ruf, Dip.Lal
3. KH. Fadli Fatrah,
S.Pd.I
4. KH. Drs. Abu Shiri
Shalehuddin
5. KH. Drs. Saifurrahman
Nawawi
6. KH. Abdullah Zaini,
Lc
7. KH. Ridlo Sudiarto,
M.Si
8. KH. Mujammi A.
Musyfi, Lc
9. KH. Ach. Shobri
Shiddiq, S.Pd.I
10. KH. Drs. Abdurrahman As’ad
11. KH. Ghozi Mubarok, M.Th.I
12. KH. Muhajiri Musybah
13. H. A. Taufiq Abd. Rahman
14. H. Muhtadi, Lc. MA
15. K. Bastomi Tibyan
Sumber: http://al-amien.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar