Setiap Kesulitan Punya Jalan Keluar
Oleh: Dahlan Iskan
Sudah satu bulan lamanya ahli ekonomi dunia menunggu dengan
harap-harap cemas. Permainan kungfu apa yang akan diperlihatkan Tiongkok untuk
mengalahkan musuh ekonominya yang sangat sulit diatasi saat ini: jebakan utang.
Sebagian ahli sudah meramal, kinilah saatnya Tiongkok
benar-benar akan hancur. Tidak mampu keluar dari kesulitan yang begitu sulit
dan menjebak.
Rupanya, devaluasi mata uang yuan hampir 2 persen yang
diumumkan dua hari lalu itulah jurus kungfu yang dimainkan. Untuk keluar dari
puncak kesulitannya saat ini. Cerdas sekali.
Tiongkok selama ini memang dikenal selalu punya jurus
baru. Selalu bisa mementahkan keraguan para analis ekonomi dunia. Dari negara
yang begitu miskin dengan beban penduduk yang begitu besar, mestinya tidak
mungkin Tiongkok bisa keluar dari kemiskinan. Apalagi dalam waktu yang begitu
cepat. Bahkan berhasil menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia
dalam waktu singkat.
Tapi, belakangan ini persoalan ekonomi yang dihadapi
Tiongkok begitu berat. Bahkan sudah terlihat melingkar-lingkar, membelit dan
membelenggu. Sampai mencapai tahap yang disebut “jebakan utang”.
Utang Tiongkok yang semula dipakai untuk membiayai
kemajuannya itu kini sudah sampai pada tingkat menjebaknya. Pelaku ekonomi,
pelaku keuangan, juga pelaku pasar modal menanti-nanti dengan saksama jurus apa
yang disiapkan Tiongkok untuk keluar dari jebakan itu.
Begitu beratnya persoalan itu, sampai ada yang bertanya
begini: Mungkinkah kali ini Tiongkok juga berhasil melakukan chi kung untuk
melompati jebakan itu? Atau kali ini akan gagal?
Rupanya, inilah yang dilakukan Tiongkok: devaluasi.
Memang kurang dari 2 persen, tapi cukup mengguncangkan dunia. Bisa-bisa memicu
perang mata uang dunia. Bisa-bisa kita yang berada di Indonesia tiba-tiba saja
jadi korban perang. Kita tidak boleh diam.
Kita di Indonesia saat ini juga sedang menghadapi satu
jenis jebakan yang kelasnya lebih rendah daripada itu: jebakan kelas menengah.
Tiongkok sudah berhasil mengatasi jebakan itu 15 tahun yang lalu. Sehingga
pembangunan ekonominya tidak terhenti di tengah jalan. Berhasil terus tumbuh
tinggi. Hingga mencapai prestasinya sekarang ini.
Kita masih harus mencari jurus untuk mengatasi jebakan
kelas menengah kita itu. Kalau berhasil, kita akan bisa terus meraih kemajuan.
Kalau gagal, langkah kita akan terhenti. Dan kita akan terbelit dengan
persoalan yang muter-muter. Bisa berpuluh tahun lamanya.
Kalau dengan devaluasi itu berhasil mengatasi jebakan
utangnya, Tiongkok akan terus berkembang menjadi kekuatan ekonomi nomor satu
dunia. Mengalahkan Amerika Serikat. Dalam waktu hanya 15 tahun.
Kalau kali ini gagal mengulang sukses melewati
jebakan-jebakannya, Tiongkok terpaksa akan mengalami apa yang pernah dialami
Jepang. Pertumbuhan ekonominya berhenti. Selama 20 tahun.
Sejak tahun 1990-an sampai menjelang 2010 lalu, ekonomi
Jepang hanya tumbuh nol persen (kadang sedikit di atas nol, kadang minus
sedikit di bawah nol). Waktu itu, kalau orang Jepang menempatkan uang di bank,
bukannya mendapat bunga, bahkan harus membayar uang administrasi.
Tapi, jangan dibayangkan hal itu menjadi sebuah
bencana. Berhentinya ekonomi Jepang adalah berhentinya ekonomi sebuah negara
yang telanjur menjadi kaya raya. Ia tidak menjadi miskin. Hanya berhenti untuk
menjadi lebih kaya lagi.
Demikian juga Tiongkok nanti. Kalaupun Tiongkok kali
ini gagal keluar dari jebakan utang, itu akan mirip dengan apa yang dialami
Jepang. Jangan-jangan memang begitulah hukum alam untuk menjadi negara kaya.
Harus melewati satu masa konsolidasi yang sulit, menyakitkan dan panjang.
Bedanya, saat Jepang mengalami itu, demokrasinya sudah
sangat matang. Tiongkok belum menjadi negara demokrasi. Entah itu kekuatan atau
kelemahan. Mungkin saja itu justru menjadi kekuatan daripada, misalnya, masih
dalam status negara demokrasi setengah matang.
Jebakan utang Tiongkok itu terlihat dari angka ini:
1.
Utang negara
dan utang perusahaan di Tiongkok sudah mencapai USD 26 triliun. Tertinggi di
dunia.
2.
Utang
itu sudah mencapai rasio 250 persen dari GDB Tiongkok yang sekitar USD 10
triliun.
3.
Rasio
sebesar itu dalam doktrin negara-negara Eropa sudah memasuki tahap yang
perlu di-bailout. Artinya, kalau tidak di-bailout, memasuki tahap kebangkrutan.
4.
Untuk
menurunkan rasio itu, utangnya tidak boleh tambah, tapi ekonominya harus tumbuh
tinggi. Atau, utangnya boleh tambah sedikit, tapi pertumbuhan ekonominya harus
tumbuh besar.
5.
Secara
teori, tanpa tambah utang, ekonomi tidak mungkin tumbuh. Di sinilah jebakannya
itu.
6.
Suku
bunga harus rendah. Tapi, tanpa utang baru, likuiditas akan ketat. Itu berarti
suku bunga pinjaman atau obligasi akan terpaksa tinggi. Di sini terlihat juga
jebakannya.
Kenyataan di atas sudah mirip persoalan ayam dan telur.
Bahkan sudah masuk ke persoalan buah simalakama. Hanya, berbeda dengan negara
lain, masih banyak faktor positif yang dimiliki Tiongkok:
1.
Cadangan
devisanya USD 4 triliun. Tertinggi di dunia. Negara lain akan berada dalam
bahaya kalau cadangan devisanya hanya cukup untuk membiayai impor selama dua
minggu. Cadangan devisa Tiongkok itu bisa digunakan untuk membiayai impornya
selama, wooww, beberapa tahun.
2.
Hitungan
GDB Tiongkok tadi belum termasuk kekayaan CIC, perusahaan investasi negara yang
melakukan investasi di luar negeri.
3.
Pengendalian
jumlah penduduknya berhasil. Karena itu, pemberian izin untuk memiliki lebih
dari satu anak dilakukan dengan sangat selektif.
4.
Utang-utang
luar negeri tersebut umumnya berbentuk mata uang renminbi/yuan. Bukan dolar.
Itu tidak akan menggerus cadangan devisa.
Saya sudah menduga Tiongkok akan memainkan yuan untuk
mengatasi jebakan utangnya itu. Tapi, saya tidak menduga kalau devaluasi yang
akhirnya dilakukan.
Semua kesulitan ternyata ada jalan keluarnya. Setinggi
apa pun kesulitan itu. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar