Kamis, 12 November 2015

Kang Komar: Dari Penjara ke Penjara



Dari Penjara ke Penjara
Oleh: Komaruddin Hidayat

Penjara itu membatasi dan merampas seseorang untuk bergerak secara leluasa dan bebas. Jika yang dimaksudkan gerak adalah gerak fisik, yang namanya penjara tentu saja berupa bangunan fisik dengan tembok tebal dan tinggi, disertai kawat berduri.

Tidak cukup itu saja, melainkan ada penjaganya lengkap dengan senjata mengawasi selama 24 jam. Bahkan banyak penjara yang dibangun di wilayah yang lokasinya sulit dijangkau karena terletak di pulau terpencil agar pengamanannya lebih mudah andaikan ada tahanan yang berusaha melarikan diri. Sebut saja Penjara Nusakambangan.

Tapi di sana juga ada penjara nonfisik yang menghalangi seseorang bergerak bebas, baik secara fisik maupun intelektual. Ketika salah memilih sekolah dan lingkungan pergaulan, bisa jadi seorang remaja tanpa sadar sudah melangkah terseret ke penjara sosial. Masih beruntung kalau dia mampu mengubahnya menjadi tempat menempa diri agar tumbuh kuat, lalu suatu saat keluar dari penjara yang mengungkungnya. Tapi, jika tidak, dirinya terkurung sehingga sulit tumbuh mengembangkan potensinya untuk mewujudkan cita-citanya yang tinggi. Sebagian besar umurnya tak ubahnya bagaikan penjara.

Begitu pun mereka yang pindah-pindah partai politik, jangan-jangan hanya pindah dari penjara ke penjara ketika suasana dan budaya politik yang dimasuki malah menjerat tak bisa melangkah dan berkiprah untuk membangun bangsa. Niat dan tujuan didirikannya parpol itu untuk mengemban tugas sangat mulia, yaitu melakukan pendidikan politik untuk rakyat, terutama konstituennya, dan memberikan pikiran serta kader terbaiknya untuk memperkuat kinerja pemerintahan.

Tapi ketika para kadernya malah terlibat korupsi yang kemudian menjadi penghuni penjara, sementara partainya hanya ribut melulu dari kongres ke kongres, jika kondisi ini berkelanjutan, bukankah akan menjadikan keberadaan parpol kehilangan justifikasi moralnya? Dulu, di berbagai kelompok masyarakat, menjadi pegawai negeri merupakan posisi yang sangat didambakan. Jika seseorang kuliah di perguruan tinggi, tujuan akhir setelah jadi sarjana adalah melamar menjadi pegawai negeri sipil (PNS) agar nantinya memperoleh gaji pensiunan sekalipun tidak lagi bekerja.

Padahal, jumlah kursi PNS sangat terbatas, gaji pun tidak berlebihan. Alhamdulillah, nasib PNS sekarang semakin baik. Kesejahteraan meningkat. Namun sangat disayangkan, korupsi di kalangan PNS masih juga besar karena terjebak gaya hidup yang melampaui batas kemampuannya. Lagi-lagi, kadang kita terpenjara oleh angan-angan, citacita, dan gaya hidup yang sering kali tidak lagi sesuai dengan kenyataan dan kemampuan.

Statemen ini tidak berarti saya anti-PNS, melainkan ingin memberikan peringatan, kalau ingin kaya-raya janganlah menjadi PNS. Jadilah pengusaha, tapi pengusaha yang pintar dan benar. Fanatisme dan kesetiaan eksklusif terhadap asal etnis juga bisa memenjarakan seseorang, menutupi dan menghalangi untuk berbaur memperluas wawasan dan pergaulan lintas budaya dan agama. Kita tahu, dunia semakin plural.

Bagi masyarakat Indonesia yang sejak awal mula sudah majemuk, mestinya tidak lagi kaget berjumpa dan bekerja sama dengan komunitas yang berbeda budaya dan agama. Mestinya justru menjadi model dan percontohan ideal bagi dunia bagaimana menjaga taman sari keragaman budaya dan agama. Cukup menggembirakan, sekarang ini eksklusivisme etnis semakin mencair. Mobilitas dan partisipasi masif anak-anak bangsa dalam pendidikan semakin memperluas jalan bagi terciptanya integrasi nasional yang kokoh.

Lembaga universitas menjadi tempat bertemunya putra-putri terbaik bangsa. Mereka berbicara dengan bahasa yang sama, tumbuh berkembang dalam budaya akademis yang sama, yang pada urutannya perkenalan dan perkawinan silang budaya juga semakin berkembang. Ini terlihat dengan semakin banyaknya pasangan suami-isteri lintas etnis yang pada urutan selanjutnya melahirkan generasi hibrida, generasi yang kian mengindonesia.

Dengan perkembangan ini, identitas etnis bukan jadi rumah sempit bagaikan penjara, tetapi menjadi kamar-kamar yang nyaman dihuni, bagian dari rumah besar Indonesia. Rasulullah Muhammad pernah bersabda, dunia itu bagaikan penjara bagi orang beriman, tetapi tak ubahnya surga bagi orang kafir. Artinya, banyak batasan, hambatan, dan larangan bagi orang beriman agar tidak ditabrak dan dilanggar.

Di sana banyak rambu-rambu yang mesti dipahami dan ditaati demi kebaikan dan keselamatan hidupnya. Larangan untuk kebaikan dan keselamatan bukan belenggu yang menyengsarakan. Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman, dunia ini panggung kebebasan, tetapi ujungnya bisa membawa mereka pada kerugian dan kesengsaraan. Jika tidak di dunia, kesengsaraan itu akan dirasakan di akhirat kelak. []

KORAN SINDO, 06 November 2015
Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar