Dipercaya
untuk Tidak Mendekati Bisnis
Oleh: Dahlan Iskan
Inilah buku baru yang begitu
diluncurkan minggu lalu langsung menjadi bahan bisik-bisik di kalangan
konglomerat Indonesia. Sebagian isinya memang “sexy”. Bagus untuk jadi bahan
gosip: curhat habis-habisan seorang menantu tentang mertuanya. Menariknya, sang
mertua adalah konglomerat yang begitu besar: Dr. Mochar Riyadi. Dan sang
menantu adalah juga konglomerat yang merasa tertekan: Dr. Tahir.
Maka
kalau membaca buku ini sebaiknya jangan hanya di bagian yang sexy itu saja.
Bisa salah paham. Bisa mendapat kesan yang mengganggu pikiran: begitu burukkah
hubungan mertua dan menantu ini? Begitu negatifkah seorang menantu menilai
mertuanya?
Buku ini
berjudul “Dato’ Sri Prof. Dr. Tahir, Living Sacrifice”, diterbitkan Gramedia.
Ini memang buku biografi Dr. Tahair, pengusaha kelahiran Surabaya itu.
Penulisnya seorang wartawati dan novelis yang sangat produktif: Alberthein
Endah. Alberthein inilah yang juga banyak menulis buku biografi tokoh
Indonesia, termasuk Ibu Ani Yudhoyono.
Mungkin,
pada intinya, Dr. Tahir hanya ingin sekedar klarifikasi: bahwa kejayaannya saat
ini bukanlah karena uang dari mertua. Tahir rupanya sangat risih dengan omongan
seperti ini: enak ya jadi menantu konglomerat, pasti diberi banyak modal dari
mertua. Tahir, menurut buku itu, perlu klarifikasi demi kehormatan dan martabat
dirinya, keluarganya dan terutama anak-anaknya.
Tahir
merasa tidak sepeserpun diberi modal oleh mertua.
“Dari
segi materi nol,” katanya.
Bahkan
sang mertualah yang masih punya hutang padanya. Sebesar 2,5 juta dolar. Dalam
buku ini tersurat betapa Tahir merasa begitu tertekan di tengah keluarga
mertuanya. Tidak ada kehangatan berada dalam keluarga konglomerat itu. Yang ada
adalah jarak. Tahir pun merumuskan kalimat yang menarik yang menggambarkan
keluarga Mochtar Riyadi: seorang konglomerat yang telah mempercayai saya
menjadi menantunya, sekaligus tidak mengijinkan saya merapat pada bisnisnya.
Padahal
Tahir merasa telah menempatkan diri sebagai menantu yang baik. Bahkan Tahir
merasa telah mempertaruhkan nyawanya untuk menjadi benteng keluarga Mochtar
Riyadi. Yakni ketika Tahir harus menghadapi mafia internasional yang mengancam
keselamatan keluarga mertua. Tahir secara khusus menguraikan episode ini di
dalam bukunya itu.
Berpuluh-puluh
halaman dari buku ini dipergunakan Tahir untuk menguraikan perasaannya:
tertekan, tersisih, terabaikan dan bahkan merasa sengaja disisihkan. Banyak
contoh dia kemukakan di buku ini. Terlalu panjang dan terlalu terbuka kalau
saya uraikan di sini. Saya, sebagai pengusaha yang akrab dengan lingkungan
Tahir maupun Mochtar Riyadi memang pernah mendengar gosip hubungan yang kurang
mesra di antara keduanya, tapi saya tidak mengira kalau hubungan itu sedramatik
ini. Lebih tidak mengira lagi hal itu diungkapkan secara terbuka, blak-blakan,
dalam sebuah buku tebal yang dijual secara bebas ini. Merinding membaca
bagian-bagian tertentu di buku itu.
Rasanya
belum pernah ada seorang menantu menilai mertuanya seterbuka ini. Termasuk
bagaimana seorang menantu memberikan nasehat kepada mertuanya secara terbuka
mengenai apa sebaiknya yang harus dilakukan Mochtar Riyadi di hari tuanya
sekarang ini.
Saya pun
yang semula hanya membaca bagian-bagian yang sexy itu tidak mau terpengaruh.
Saya menyisihkan waktu untuk membaca buku ini sejak dari permulaan. Saya tidak
ingin terjebak pada penilaian dari satu segi. Dan ternyata benar. Pada
bagian-bagian lain buku ini, Tahir begitu banyak memuji sang mertua. Mulai dari
kecerdasan, kecerdikan, kepandaian, kewibawaan, kebijaksanaan, keberhasilan
sampai ke kemampuan filsafat sang mertua. Hanya saja di tengah pujian itu masih
juga dia selipkan curhat-curhatnya.
Tahir
juga mengakui bahwa suasana tertekan itulah yang justru mendorong dirinya untuk
menjadi orang sukses. Harga diri, terpojok, tertekan, terhina dan sakit hati
telah meneguhkan tekadnya untuk harus berhasil. Dalam berusaha maupun dalam
membina keluarga. Dan Tahir telah membuktikan dirinya berhasil.
“Bahkan
saya bisa melebihi mertua saya,” katanya.
“Di usia
62 tahun ini, saya telah mencapai lebih dari yang dicapai mertua saya saat
beliau berumur 62 tahun.”
Rasanya,
setelah saya renung-renungkan, Tahir tidak memiliki sentiment negatip pada
pribadi sang mertua. Tersirat di buku itu bahwa Tahir lebih curhat mengenai
ipar-ipar lelakinya, James dan Stephen Riyadi. Bahkan sakit hati pertamanya
sebagai menantu Mochtar Riyadi dia rasakan datang dari menantu Mochtar yang
lain. Ia ceritakan secara detil peristiwa di Bali itu di dalam buku ini.
Sampai-sampai Tahir menuntut diadakan pertemuan keluarga besar Mochtar Riyadi
untuk mengklarifikasi peristiwa itu. Pertemuan keluarga besar itu akhirnya
benar-benar dilakukan. Dua kali: di Singapura dan di atas kapal pesiar di
lautan Pacific menuju Korea. ***
Catatan Dahlan
Iskan
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar