Berhentilah Bersandar pada Orang Lain
Oleh: Dahlan Iskan
Selama
seminggu kemarin, tiga kali saya diminta berceramah oleh perusahaan besar yang
sedang mengumpulkan manajer mereka.
Tema besarnya: Apa yang harus dilakukan di saat yang sulit seperti ini?
Saya bilang, saya bukanlah ahli di bidang itu. Tapi, tiga kali
berhasil melewati krisis (1988, 1998, dan 2008) membuat saya belajar banyak.
Pada 1988, kebijakan uang ketat sangat memukul ekonomi. Pada 1998, krisis
moneter menghancurkan banyak hal, termasuk kekuasaan negara. Pada 2008, ekonomi
negara sebesar AS kelimpungan.
Yang sudah pasti: Semua itu tidak bisa diatasi dengan hanya
ngomong doang. Karena itu, jangan mengeluh terus, jangan marah-marah, jangan
menyalahkan siapa pun, dan jangan pula punya mental denial. Cukuplah itu
diwakilkan kepada politisi.
Misalnya, ada manajer perusahaan yang mengajukan persoalan begini:
Kok harga BBM nonsubsidi kita 50 persen lebih mahal daripada Singapura?
Rupanya, perusahaan itu memerlukan bahan bakar minyak (BBM) yang sangat besar.
Tiap hari. Itu, katanya, memberatkan perusahaannya.
Apalagi dalam situasi sulit seperti ini. Kok pemerintah membiarkan
hal itu terjadi. Kebijakan tersebut membuat dia tidak bisa bersaing. Terutama
dengan perusahaan luar negeri.
Karena itu, saya sarankan tidak perlu memperpanjang keluhan.
Berjuang ke pemerintah pun belum tentu bisa berhasil. Tiwas kehabisan tenaga
dan waktu. Saya lebih menyarankan begini: cari beberapa teman yang juga
memerlukan banyak BBM.
Imporlah sendiri! Kalau selisih harganya benar-benar 50 persen,
untuk apa tidak memberontak? Saya lihat, perusahaan itu mempunyai kemampuan
untuk melaksanakannya. Bahkan, keluhan tersebut mungkin justru bisa jadi bisnis
barunya.
Mungkin memang harus membangun tangki atau menyewanya. Tapi,
bukankah saat ini lagi rendah-rendahnya harga baja? Bagi perusahaan yang masih
punya uang, membangun bisnis baru saat ini adalah yang terbaik. Mumpung
semuanya lagi tertekan. Dua tahun lagi, ketika ekonomi mulai baik, perusahaan
barunya mulai berjalan.
Yang sulit adalah mereka yang membangun bisnis baru dua tahun
lalu. Saat investasi dulu, semuanya lagi mahal. Ketika pabriknya selesai dibangun
sekarang ini, ekonomi lagi susah.
Kesulitannya berlipat-lipat: harus menjalankan perusahaan baru,
harus mengembalikan modal, dan harus membayar utang. Sedang perusahaan baru itu
belum mendapat pasar.
Pada saat sulit seperti ini, orang-orang di lapangan biasanya
lebih tepat untuk diajak bicara: untuk menemukan jalan keluar, mencari
terobosan, melahirkan ide, dan mencari cara menghemat.
Inilah waktunya direksi sebuah perusahaan harus lebih banyak
mendengar para manajer mereka di garis depan. Inilah saatnya direksi sebuah
perusahaan berhenti berpidato.
Tidak ada gunanya berpidato. Hasilnya nol. Juga harus berhenti
memberikan petunjuk. Berhenti marah. Berhenti mengandalkan gengsi dan tinggi
hati. Inilah waktunya untuk lebih banyak mendengarkan.
Dengan sikap rendah hati dan pikiran terbuka. Untuk menerima
usulan-usulan cerdas dari ujung tombak. Terutama ujung tombak yang muda-muda.
Yang umurnya 27-35 tahun.
Inilah saatnya semua perusahaan hanya memikirkan nasibnya
sendiri-sendiri. Tidak ada gunanya memikirkan orang lain. Ini kelihatannya
egois. Tapi, hanya sikap egois yang bisa menyelamatkan perusahaan
masing-masing. Berhentilah bersandar pada orang lain. Termasuk bersandar pada
pemerintah.
Saya membayangkan, kalau sebagian besar perusahaan di Indonesia
ngotot menyelamatkan perusahaan masing-masing, akan banyak perusahaan yang
selamat. Bahkan maju. Kalau sebagian besar perusahaan selamat, berarti ekonomi
kita selamat.
Jangan ada pikiran kalau A bersaing dengan B, maka salah satunya
akan kalah. Tidak begitu. Bisa-bisa dua-duanya menang. Yang kalah mungkin C.
Kalau C pun melawan, yang kalah mungkin D.
Kalau semua perusahaan di dalam negeri mulai A sampai Z saling
melawan, bisa jadi ekonomi nasional yang menang.
Kita menghadapi setidaknya dua tahun yang sangat berat. Tapi,
percayalah, mendung tebal tidak akan menggelayut di satu tempat terus-menerus.
(*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar