Tikus
Sekarang Tak Takut Kucing
Oleh: Moh
Mahfud MD
Pekan
lalu istri saya mengajak mampir ke toko obat-obatan yang terletak di kawasan
Jalan Solo, Yogyakarta. Katanya membeli lem tikus. Entah dari mana asalnya dan
di mana dilahirkan, belakangan ini di rumah saya mulai berkeliaran tikus yang
kalau malam kadang naik ke meja makan, bahkan sering melintas, seakan
menantang, jika saya sedang berdua dengan komputer. Lem tikus adalah semacam
kertas lem plastik yang bisa diletakkan di tempat tersembunyi sehingga kalau
ada tikus lewat dan menginjak kertas itu maka tikus itu takkan bisa lari,
tinggal ditangkap.
Karena
agak malas untuk masuk toko saya bilang pada istri agar tidak usah membeli lem
tikus. Saya bilang, biar saja kucing yang berpatroli mengawasi dan menangkap
tikus-tikus itu. Mendengar usul itu istri saya tertawa. ”Kucing apa? Sekarang
ini kucing takut pada tikus. Tikus sekarang besar-besar, berani menthelelengi
(memelototi) kucing,” kata istri saya. ”Hah, ngaco saja kamu,” bantah saya.
Istri
saya malah semakin konkret bercerita. Katanya, malam Jumat kemarin ada tikus
besar dan gemuk menyelinap, kemudian kucing mengejar untuk menangkapnya. Eh,
tiba-tiba tikus berbalik dan memelototi kucing itu. ”Tahu tidak? Kucingnya
berhenti mengejar, tak berani kepada tikus itu. Kucing itu hanya menoleh ke
kanan dan ke kiri kemudian membiarkan tikus itu pergi,” tambah istri saya. Saya
tak perlu tahu, apakah cerita itu benar atau tidak.
Yang
jelas saya tertawa geli karena ceritanya ada kucing dipelototi oleh tikus dan
kucing itu takut sehingga tak mau menerkamnya. Seperti itukah hubungan antara
kucing dan tikus sekarang? Pada hal dulu, waktu saya masih remaja, kucing
dikenal sebagai pemburu tikus yang sangat ditakuti. Dalam gambaran saya kucing
itu ibarat tentara terlatih sedangkan tikus ibarat gali atau preman terminal.
Dalam
gambaran saya dulu, kucing ibarat tentara yang bisa melakukan penembakan
misterius (petrus) kepada preman tanpa babibu, sedangkan tikus-tikus ibarat
para preman yang selalu ketakutan karena takut ditembak secara misterius oleh
tentara. ”Itu sih tikus dan kucing zaman dulu, ketika hukum-hukum di kalangan
binatang masih tegak. Sekarang ini kucing sudah pada takut kepada tikus karena
tikusnya sekelas tikus wirog, sangat besar,” kata istri saya.
Malamnya
saya merenung, mencoba membayangkan lebih jauh tentang perubahan hubungan
diplomatik antara kucing dan tikus. Tikus berani pada kucing? Kucing ketakutan
karena dipelototi tikus? Apa sebabnya? Mungkin karena tikusnya besar dan
mempunyai kawan-kawan yang besar besar juga. Mungkin tikus-tikus itu sudah
mengirim atau selalu menyediakan makanan lain yang enak kepada para kucing.
Mungkin
juga ada tikus warok yang berdandan menyerupai kucing dan berbaur di kalangan
masyarakat kucing dengan tugas menghalangi para kucing yang akan memburu tikus.
Faktanya, tikus memelototi kucing dan kucing takut atau tersipu malu pada tikus
yang mengejarnya. Tebersit di benak saya tentang tikus sebagai lambang korupsi
dan koruptornya.
Wih ,
benar juga. Sekarang ini banyak masyarakat yang kecewa karena melihat banyak
koruptor yang tak takut lagi kepada penegak hukum. Sering kali aparat penegak
hukum diancam oleh koruptor, pejabat berkongkalikong dengan koruptor. Keadaan
inilah yang menyebabkan perang melawan korupsi di Indonesia tidak efektif. Para
koruptor sekarang ini bukan hanya tak terlihat takut, tetapi malah seperti
menantang aparat penegak hukum dan masyarakat.
Lihat
saja, orang yang sudah berompi oranye karena dijadikan tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) masih bisa tampil arogan. Ada yang mencacipetugas,
ada yang menjitak kepala wartawan, ada yang senyum-senyum sambil melambaikan
tangan. Sungguh menjijikkan. Masyarakat sudah begitu muak terhadap para
koruptor sehingga kerap muncul celotehan spontan yang menyamakan koruptor
dengan binatang.
Dalam
percakapan seharihari di dunia penegakan hukum koruptor memang dilambangkan
dengan tikus. Selain suka mencuri makan, tikus suka menggigit dan mencuil
kayu-kayu seperti kayu lemari dan kayu meja. Lemari atau meja yang tadinya
bagus menjadi cuil dan rusak karena digeregeti tikus. Jadi, koruptor itu memang
sama dengan tikus, binatang pencuri, penyebar penyakit, dan perusak lemari,
meja, baju, kertas.
Maka,
lucu juga, ketika beberapa waktu yang lalu, melalui Twitter, saya bercuit,
”Belum hilang kekagetan atas dijadikannya seorang anggota DPR sebagai tersangka
oleh KPK kini ada lagi seorang anggota DPR yang ditangkap tangan dalam kasus
korupsi.” Cuitan saya itu langsung ada yang membalas. ”Bukan seorang anggota
DPR, Pak. Tapi seekor...”, bunyi cuitan itu. Jadi, koruptor tidak layak disebut
seorang karena seorang itu artinya manusia.
Koruptor
itu layak disebut ”seekor” karena secara sosial memang disamakan dengan
binatang tikus. Ada yang bilang, kalau koruptor disamakan dengan binatang
(tikus), maka kita patut khawatir, jangan-jangan parpol-parpol kita sekarang
telah menjadi semacam tempat peternakan (binatang) koruptor. Buktinya, semua
parpol yang punya wakil di DPR sekarang ini, mempunyai atau pernah mempunyai
wakilwakilnya pula di KPK dalam kasus korupsi. []
KORAN
SINDO, 14 November 2015
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar