Selokan
Mataram (Riwayatmu Dulu, Riwayatmu Kini)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Demi
menghindari perintah penguasa Jepang atas rakyat Yogyakarta untuk kerja paksa
(romusha) yang harus dikirim ke luar Jawa, Sultan HB IX membelokkan paksaan itu
untuk membangun Selokan Mataram yang fenomenal.
Airnya
diambil dari Sungai Progo di bagian barat, dialirkan ke arah timur sepanjang
sekitar 30 kilometer sampai ke Sungai Opak di Klasan. Manfaat selokan ini
sungguh luar biasa buat para petani dan rakyat banyak sampai hari ini.
Luar
biasa, saya katakan, karena air selokan ini tak pernah berhenti mengalir di
musim panas panjang sekalipun. Air sebagai sumber kehidupan dibuktikan oleh
karya besar HB IX ini. Entah berapa ratus ribu rakyat yang menggantungkan
kehidupannya kepada selokan ini, termasuk saya yang tinggal di kawasan Desa
Nogotirto, Sleman, Yogyakarta.
Adapun
berapa puluh ribu tenaga yang harus dikerahkan untuk merampungkan selokan ini,
tentu ada pula yang binasa dalam tugas rodi ini, dan berapa tahun waktu yang
dipakai, saya belum pelajari. Seandainya saya tahu karena itu jelas penting,
tidak akan direkamkan di ruang ini.
Jika pada
beberapa kawasan sudah menderita kekurangan air, rakyat yang tinggal di sebelah
selatan selokan patut benar bersyukur. Air itu selalu ada, termasuk yang
disimpan dalam tanah untuk kepentingan sumur buatan. Sudah berjalan lebih dari
70 tahun Selokan Mataram terus saja mengalir dan mengalir, tanpa henti, tanpa
bosan.
Selokan
ini dalam posisi landai sehingga arus air yang warnanya tidak pernah jernih itu
berjalan santai, penaka santainya kultur Jawa Mataram yang serbahalus. Tetapi,
saluran-salurannya ke arah selatan yang jumlahnya mungkin ratusan ada yang
cukup deras karena posisinya miring, bahkan pada bagian-bagian tertentu seperti
air terjun.
Amat
disesalkan ikan-ikan alit yang semestinya dibiarkan hidup bebas sepanjang
selokan dan cabang-cabangnya sering pula disetrum dengan listrik sehingga
bayi-bayinya pun menjadi korban. Sekiranya sekadar dipancing, dapatlah
dipahami, tetapi mengapa anak-anak ikan sebesar ujung lidi daun kelapa itu juga
harus binasa akibat kelakuan jahil manusia.
Saya yang
biasa naik sepeda di lingkungan persawahan sering benar merenung tentang betapa
vitalnya fungsi selokan ini bagi kehidupan rakyat. Memang amat disayangkan,
sebagian persawahan telah berubah menjadi area bangunan: perumahan, toko,
gudang, dan jalan raya.
Kabarnya
proses alih fungsi lahan yang terparah berlaku di lingkungan Kabupaten Sleman.
Dalam kabupaten ini pulalah, di samping di kota, hotel-hotel megah telah
bermunculan yang semuanya pasti menyedot secara besar-besaran air tanah.
Akibatnya, penduduk miskin yang telah bermukim di sekitarnya secara
berketurunan akan menjerit kelangkaan air.
Nasib si
miskin yang tak berdaya ini secara lahap dimanfaatkan oleh pemilik hotel dengan
membeli lahannya untuk perluasan bangunan. Si miskin tak punya pilihan lain,
kecuali melepaskan haknya atas tanah untuk kemudian pergi entah ke mana.
Pengusaha
hotel mana pula yang mau bersusah payah menelusuri ke mana menghilangnya mantan
pemilik tanah yang baru saja dibelinya itu. Inilah Indonesia yang katanya punya
sila kedua: kemanusiaan yang adil dan beradab. Sudah sejak era kolonial, kawula
alit belum banyak nasibnya beringsut ke arah perbaikan. Perkara nenek-moyang
mereka dulu telah membantu pasukan gerilya di masa revolusi untuk
mempertahankan kemerdekaan tidak perlu dipertimbangkan lagi dalam logika sistem
ekonomi neoliberal yang serakah.
Tetapi,
di atas itu semua, Selokan Mataram masih akan terus mengalir untuk puluhan,
bahkan ratusan tahun ke depan. Begitulah riwayatnya dulu, riwayatnya kini, dan
diharapkan demikian pula riwayatnya di masa depan untuk menjalankan pengabdian
tunggal: berkhidmat! Terima kasih HB IX.
Akhirnya
sebuah catatan penting perlu diturunkan di sini: kebiasaan penduduk membuang
sampah rumah tangga sepanjang selokan yang legendaris ini perlu dihentikan
sekarang dan untuk selama-lamanya! []
REPUBLIKA,
10 November 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar