Rabu, 11 November 2015

Mahfud MD: Kejaksaan Harus Kuat



Kejaksaan Harus Kuat
Oleh: Moh Mahfud MD

Belakangan ini semangat teman-teman di kejaksaan untuk menguatkan posisi dirinya dalam dunia penegakan hukum mulai menggelora. Berbarengan dengan Hari Bhakti Adhyaksa ke-55, sejak Juli 2015 diselenggarakan serangkaian diskusi di beberapa kejati yang mengusung tema penguatan kejaksaan.

Rabu pekan ini fokus diskusi tentang itu diselenggarakan juga oleh Kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan. Arahnya, bagaimana memperkuat posisi kejaksaan agar kinerjanya optimal dan efektif. Ada beberapa pernyataan dan pertanyaan pokok dalam diskusi-diskusi tersebut.

Pertama, agar posisi konstitusionalnya mantap maka nomenklatur jaksa dan atau Kejaksaan Agung harus disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi seperti lembaga negara yang vital lainnya. Mungkinkah itu dilakukan? Kedua, harus ada kejelasan satu posisi kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan, tidak seperti sekarang yang tugas pokoknya di bidang yudikatif tetapi struktur organisasinya di eksekutif.

Bisakah itu? Ketiga, bagaimana mengejawantahkan prinsip een en ondeelbaar (kesatuan dan ketidakterpisahan) wewenang penuntutan di tangan jaksa agung atau Kejaksaan Agung, padahal sampai sekarang wewenang penuntutan masih terbagi pula kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Oditorat Militer?

Kalau ditelusuri sebenarnya pada masa lalu, sejak zaman penjajahan Belanda sampai 1960, organisasi kejaksaan berdampingan dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yang mandiri meskipun secara administratif sama-sama berada di bawah Departemen Kehakiman.

Presiden Soekarno-lah yang pada 22 Juli 1960 mengeluarkan Keppres No 204/1960 yang memisahkan kejaksaan dari Mahkamah Agung dan menjadikannya sebagai bagian dari eksekutif. Posisi ini tak berubah sampai sekarang. Untuk upaya penguatan kejaksaan dan proporsionalitas pembagian kekuasaan, ide untuk melepaskan kejaksaan dari lembaga eksekutif perlu diseriusi.

Keberlanjutan ide ini tidak bisa dipertentangkan dengan Keputusan MK No. 49/PUUVII/ 2010 yang menyatakan bahwa sebagai anggota kabinet, jaksa agung harus diangkat dan diberhentikan oleh presiden pada periode yang bersangkutan. MK tidak mengharuskan jaksa agung menjadi anggota kabinet,

tetapi menurut putusan MK itu, jika jaksa agung menjadi anggota kabinet seperti yang berlaku saat ini maka pengangkatan dan pemberhentiannya harus dilakukan oleh presiden pada periode yang bersangkutan dan masa jabatannya berakhir bersama dengan berakhirnya jabatan presiden pada periode yang bersangkutan, seperti halnya menterimenteri atau anggota kabinet lainnya.

Seandainya jaksa agung tidak diletakkan sebagai anggota kabinet, tentu MK tak mungkin memutus bahwa jabatan jaksa agung berakhir bersamaan dengan habisnya masa jabatan presiden yang mengangkatnya. Jadi sangat mungkin kalau pembentuk UUD maupun UU memosisikan kembali jaksa agung sebagai lembaga di luar eksekutif dan menjadikannya sebagai lembaga independen dalam tugas bidang yudikatif.

Adapun tentang kemungkinan memasukkan nomenklatur jaksa agung dan atau kejaksaan di dalam konstitusi itu sangat mungkin pula dilakukan. Tetapi harus dipahami dulu secara jelas bahwa sekarang ini jaksa agung dan kejaksaan agung sudah sangat kuat secara konstitusional. Dalam arti luas, konstitusi itu mencakup semua peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Konstitusi mencakup UUD, UU, PP, perda, bahkan perdes. UUD sebagai bagian dari konstitusi bisa disebut sebagai konstitusi dalam dokumen khusus, sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya bisa disebut konstitusi dalam dokumen tersebar.

Dalam pengertian seperti itu, sebenarnya kedudukan konstitusional jaksa agung dan kejaksaan sudah sangat kuat karena sudah diatur dengan UU tersendiri dan sudah disebutkan di dalam banyak UU lainnya. Tetapi dalam kekuatannya yang seperti itu, kedudukan konstitusional kejaksaan akan menjadi lebih kuat lagi jika nomenklaturnya disebutkan secara eksplisit di dalam UUD sebagai konstitusi dalam arti dokumen khusus.

Oleh sebab itu, ide untuk memasukkan nomenklatur jaksa agung dan kejaksaan di dalam UUD NRI 1945 patut didukung dalam rangka pembenahan struktur ketatanegaraan kita. Di dunia ini terdapat tidak kurang dari 113 negara yang konstitusinya menyebut kejaksaan secara eksplisit.

Tentu agenda seperti ini hanya bisa dilakukan jika ada perubahan kembali atas UUD NRI 1945. Tanpa harus menunggu momentum ada amendemen lagi atas UUD NRI 1945 upaya menerapkan prinsip een en ondeelbaar (kesatuan dan ketidakterpisahan) wewenang penuntutan pada jaksa agung dan atau kejaksaan agung perlu juga dilakukan sejak sekarang.

Dalam kaitan ini diperlukan pengaturan yang lebih tegas bahwa semua tugas penuntutan baik yang dilakukan oleh KPK di pengadilan khusus tindak pidana korupsi maupun yang dilakukan oleh Oditorat Militer di Peradilan Militer hanya bisa dilakukan oleh jaksa fungsional yang dikendalikan oleh Kejaksaan Agung.

Dalam rangka een en ondeelbaar itu maka rekrutmen calon jaksa, pemberian jabatan fungsional jaksa, penempatan jaksa, dan pembinaan karier teknis yudisial jaksa harus terpusat di Kejaksaan Agung. Persyaratan administratif yang sifatnya khusus untuk oditur pada Peradilan Militer dapat diatur bersama oleh Mabes TNI dan Kejaksaan Agung.

Selanjutnya terlepas dari soal apakah KPK itu lembaga ad hoc atau bukan, penuntutan yang dilakukan oleh KPK di pengadilan tipikor haruslah dilakukan oleh jaksa-jaksa fungsional yang dibina oleh Kejaksaan Agung. Intinya, kalau kita ingin konstitusionalisme dan tujuan-tujuan bernegara bisa berjalan bagus, kejaksaan sebagai institusi penegak hukum harus independen dan kuat. []

KORAN SINDO, 07 November 2015
Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar