Kejaksaan
Harus Kuat
Oleh: Moh
Mahfud MD
Belakangan
ini semangat teman-teman di kejaksaan untuk menguatkan posisi dirinya dalam
dunia penegakan hukum mulai menggelora. Berbarengan dengan Hari Bhakti Adhyaksa
ke-55, sejak Juli 2015 diselenggarakan serangkaian diskusi di beberapa kejati
yang mengusung tema penguatan kejaksaan.
Rabu
pekan ini fokus diskusi tentang itu diselenggarakan juga oleh Kantor
Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan. Arahnya, bagaimana memperkuat posisi
kejaksaan agar kinerjanya optimal dan efektif. Ada beberapa pernyataan dan
pertanyaan pokok dalam diskusi-diskusi tersebut.
Pertama,
agar posisi konstitusionalnya mantap maka nomenklatur jaksa dan atau Kejaksaan
Agung harus disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi seperti lembaga negara
yang vital lainnya. Mungkinkah itu dilakukan? Kedua, harus ada kejelasan satu
posisi kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan, tidak seperti sekarang yang
tugas pokoknya di bidang yudikatif tetapi struktur organisasinya di eksekutif.
Bisakah
itu? Ketiga, bagaimana mengejawantahkan prinsip een en ondeelbaar (kesatuan dan
ketidakterpisahan) wewenang penuntutan di tangan jaksa agung atau Kejaksaan
Agung, padahal sampai sekarang wewenang penuntutan masih terbagi pula kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Oditorat Militer?
Kalau
ditelusuri sebenarnya pada masa lalu, sejak zaman penjajahan Belanda sampai
1960, organisasi kejaksaan berdampingan dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga
yudikatif yang mandiri meskipun secara administratif sama-sama berada di bawah
Departemen Kehakiman.
Presiden
Soekarno-lah yang pada 22 Juli 1960 mengeluarkan Keppres No 204/1960 yang
memisahkan kejaksaan dari Mahkamah Agung dan menjadikannya sebagai bagian dari
eksekutif. Posisi ini tak berubah sampai sekarang. Untuk upaya penguatan
kejaksaan dan proporsionalitas pembagian kekuasaan, ide untuk melepaskan
kejaksaan dari lembaga eksekutif perlu diseriusi.
Keberlanjutan
ide ini tidak bisa dipertentangkan dengan Keputusan MK No. 49/PUUVII/ 2010 yang
menyatakan bahwa sebagai anggota kabinet, jaksa agung harus diangkat dan
diberhentikan oleh presiden pada periode yang bersangkutan. MK tidak
mengharuskan jaksa agung menjadi anggota kabinet,
tetapi
menurut putusan MK itu, jika jaksa agung menjadi anggota kabinet seperti yang
berlaku saat ini maka pengangkatan dan pemberhentiannya harus dilakukan oleh
presiden pada periode yang bersangkutan dan masa jabatannya berakhir bersama
dengan berakhirnya jabatan presiden pada periode yang bersangkutan, seperti
halnya menterimenteri atau anggota kabinet lainnya.
Seandainya
jaksa agung tidak diletakkan sebagai anggota kabinet, tentu MK tak mungkin
memutus bahwa jabatan jaksa agung berakhir bersamaan dengan habisnya masa
jabatan presiden yang mengangkatnya. Jadi sangat mungkin kalau pembentuk UUD
maupun UU memosisikan kembali jaksa agung sebagai lembaga di luar eksekutif dan
menjadikannya sebagai lembaga independen dalam tugas bidang yudikatif.
Adapun
tentang kemungkinan memasukkan nomenklatur jaksa agung dan atau kejaksaan di
dalam konstitusi itu sangat mungkin pula dilakukan. Tetapi harus dipahami dulu
secara jelas bahwa sekarang ini jaksa agung dan kejaksaan agung sudah sangat
kuat secara konstitusional. Dalam arti luas, konstitusi itu mencakup semua
peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Konstitusi
mencakup UUD, UU, PP, perda, bahkan perdes. UUD sebagai bagian dari konstitusi
bisa disebut sebagai konstitusi dalam dokumen khusus, sedangkan peraturan
perundang-undangan lainnya bisa disebut konstitusi dalam dokumen tersebar.
Dalam
pengertian seperti itu, sebenarnya kedudukan konstitusional jaksa agung dan
kejaksaan sudah sangat kuat karena sudah diatur dengan UU tersendiri dan sudah
disebutkan di dalam banyak UU lainnya. Tetapi dalam kekuatannya yang seperti
itu, kedudukan konstitusional kejaksaan akan menjadi lebih kuat lagi jika
nomenklaturnya disebutkan secara eksplisit di dalam UUD sebagai konstitusi
dalam arti dokumen khusus.
Oleh
sebab itu, ide untuk memasukkan nomenklatur jaksa agung dan kejaksaan di dalam
UUD NRI 1945 patut didukung dalam rangka pembenahan struktur ketatanegaraan
kita. Di dunia ini terdapat tidak kurang dari 113 negara yang konstitusinya
menyebut kejaksaan secara eksplisit.
Tentu
agenda seperti ini hanya bisa dilakukan jika ada perubahan kembali atas UUD NRI
1945. Tanpa harus menunggu momentum ada amendemen lagi atas UUD NRI 1945 upaya
menerapkan prinsip een en ondeelbaar (kesatuan dan ketidakterpisahan) wewenang
penuntutan pada jaksa agung dan atau kejaksaan agung perlu juga dilakukan sejak
sekarang.
Dalam
kaitan ini diperlukan pengaturan yang lebih tegas bahwa semua tugas penuntutan
baik yang dilakukan oleh KPK di pengadilan khusus tindak pidana korupsi maupun
yang dilakukan oleh Oditorat Militer di Peradilan Militer hanya bisa dilakukan
oleh jaksa fungsional yang dikendalikan oleh Kejaksaan Agung.
Dalam
rangka een en ondeelbaar itu maka rekrutmen calon jaksa, pemberian jabatan
fungsional jaksa, penempatan jaksa, dan pembinaan karier teknis yudisial jaksa
harus terpusat di Kejaksaan Agung. Persyaratan administratif yang sifatnya
khusus untuk oditur pada Peradilan Militer dapat diatur bersama oleh Mabes TNI
dan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya
terlepas dari soal apakah KPK itu lembaga ad hoc atau bukan, penuntutan yang
dilakukan oleh KPK di pengadilan tipikor haruslah dilakukan oleh jaksa-jaksa
fungsional yang dibina oleh Kejaksaan Agung. Intinya, kalau kita ingin
konstitusionalisme dan tujuan-tujuan bernegara bisa berjalan bagus, kejaksaan
sebagai institusi penegak hukum harus independen dan kuat. []
KORAN
SINDO, 07 November 2015
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar