Jumat, 06 November 2015

Gus Sholah: Menilai Kebijakan Masa Lalu



Menilai Kebijakan Masa Lalu
Oleh: Salahuddin Wahid

Dalam NU Online ada berita bahwa Yahya Staquf dalam sebuah acara menyampaikan, NU keluar dari Partai Masyumi dan menjadi Partai NU untuk mencegah Partai Masyumi menjadi pemenang lebih dari separuh suara pada Pemilu 1955. Alasan lain karena NU tidak setuju tujuan Masyumi menjadikan Indonesia negara berdasarkan Islam.

Saya tidak tahu Yahya Staquf mendapat informasi itu dari mana. Setahu saya saat NU keluar dari Masyumi pada 1952, NU masih memperjuangkan negara RI berdasarkan Islam. Perjuangan itu bisa kita lihat ketika NU bersama Masyumi, PSII, Perti, dan lainnya memperjuangkan negara berdasarkan Islam di persidangan Konstituante 1956-1959.

Perjuangan itu tidak berhasil setelah pada pemungutan suara pendukung negara berdasarkan Islam hanya memperoleh 43 persen suara. Kira-kira, suara Partai Masyumi kalau NU masih bergabung di dalamnya tidak akan jauh dari angka itu.

Kalau NU tidak mendukung negara berdasarkan Islam dalam pemungutan suara di Konstituante, tentu UUD yang sedang disusun Konstituante akan bisa disahkan karena jumlah suara pendukung dasar negara Pancasila akan melampaui 2/3 jumlah suara. Kalau itu terjadi, UUD kita saat ini bukan UUD 1945, tapi UUD 1959.

Perjuangan itu dilanjutkan saat Bung Karno meminta dukungan NU ketika akan mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Ketua Umum PBNU Idham Chalid dan Sekjen Saifuddin Zuhri meminta supaya Piagam Jakarta diberi posisi menentukan.

Bung Karno menempatkan masalah Piagam Jakarta sebagai salah satu butir pertimbangan: Piagam Jakarta menjiwai dan menjadi bagian tak terpisahkan dari UUD 1945. Tafsiran kalimat dari butir pertimbangan itu masih menjadi perdebatan dalam waktu yang lama setelah keluarnya dekrit itu.

Karena Partai NU masih berjuang untuk negara berdasarkan Islam, pada Pemilu 1971 pemerintahan Orde Baru dan TNI menekan supaya perolehan suara NU tidak tinggi. Saya masih ingat pada masa kampanye Pemilu 1971, saya bertanya kepada mertua saya, Saifuddin Zuhri, mengapa NU tidak menerima negara berdasarkan Pancasila.

Menurut saya, negara berdasarkan Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Sejak kampanye Pemilu 1955 saya sudah setuju negara berdasarkan Pancasila. Beliau menjawab, hampir semua kiai masih menginginkan negara berdasarkan Islam. Saat NU bergabung ke PPP pada awal 1973, partai ini juga masih berjuang untuk negara RI berdasarkan Islam.

NU menerima sepenuhnya negara berdasarkan Pancasila pada Munas Ulama 1983 dan kemudian disetujui pada Muktamar NU 1984. Dalam Munas dan Muktamar itu pun masih terjadi debat tajam mengenai setuju atau tidaknya muktamar menerima Pancasila. Bersyukur, KH Ahmad Siddiq yang menyusun naskah Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila didukung sejumlah kiai sepuh bisa meyakinkan para muktamirin untuk menerima Pancasila. KH Ahmad Siddiq sudah sejak lama mengusulkan supaya NU menerima, secara penuh dan sukarela, Pancasila sebagai dasar negara.

Sekitar saat era reformasi mulai bergulir, banyak anak muda NU yang berbicara "deformalisasi syariat Islam". Menurut saya "deformalisasi syariat Islam" itu tak sesuai fakta. Saya menafsirkan semboyan itu bermakna menggugat syariat Islam yang masuk UU.

Semua ketentuan syariat Islam yang khusus Islam (partikular) bukan yang universal harus dibongkar dari UU. Saat itu sudah ada UU Perkawinan (1974) dan UU Peradilan Agama (1989). Apakah itu makna dan tujuan "deformalisasi syariat Islam", yaitu membatalkan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama?

Kalau betul itu tujuan "deformalisasi syariat Islam" maka itu mengabaikan perjuangan para ulama era masa lalu yang berjuang untuk memasukkan ketentuan syariat Islam ke UU khususnya dalam hukum keluarga. Kalau yang dimaksud "deformalisasi syariat Islam" itu dengan tetap mempertahankan sebagian syariat Islam yang sudah masuk UU, istilah yang dipakai adalah menerima secara terbatas masuknya syariat Islam ke UU.

Kalau kita perhatikan proses pembentukan UU Perkawinan, sungguh luar biasa. Pemuda-pemuda Islam dari berbagai organisasi menyerbu gedung DPR dan menduduki gedung itu sehingga sidang terpaksa dihentikan. KH Bisri Syansuri, Rais Aam Syuriyah PBNU bersama para ulama dari berbagai organisasi Islam menyampaikan pandangan para ulama tentang RUU Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam.

Usul itu akhirnya disetujui Pak Harto dan dimasukkan di Pasal 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang mengatur perkawinan harus dilakukan sesuai hukum agama masing-masing. Saat kedua UU itu disahkan, Golkar, PPP, dan Fraksi ABRI menerima, hanya PDI yang menolak. Kini UU itu sudah berusia 41 tahun.

Belum lama ada sejumlah warga yang menggugat UU itu ke MK, tetapi ditolak. Memang masih ada sejumlah hal yang dipermasalahkan. Pertama, pernikahan antara Muslim dan warga beda agama, ada yang mengusulkan supaya dibolehkan.

Masalah lain ialah ekses pernikahan kedua dan berikutnya yang secara siri. Ada yang mengusulkan supaya poligami dilarang, tetapi ada juga yang menolak. Pernikahan sesama jenis belum menjadi masalah di sini walau sudah ada yang melakukannya, di Bali dan Jawa Tengah.

Pelajaran agama

Prof Dr Musdah Mulia meng-copy-paste pendapat kawannya dan menyiarkannya melalui Facebook, yang mengusulkan pelajaran agama dihapus dari sekolah. Menurutnya, Australia dan Singapura menghapus pelajaran agama dan menjadi negara maju.

PM Lee Kuan Yew menetapkan agama adalah urusan pribadi. Lee melihat pengajaran agama justru menimbulkan perpecahan dan konflik, bukan perdamaian.

Ada kritik bahwa Kementerian Agama yang memiliki jutaan pegawai di bidang agama, puluhan ribu sekolah agama dan ratusan ribu rumah ibadah, triliunan rupiah untuk pembangunan bidang agama, tapi hasilnya? Indonesia masuk negara terkorup di dunia, bahkan korupsi pun marak di Kementerian Agama.

Indonesia berbeda dengan Australia dan Singapura, punya sejarah berbeda. Sejak zaman penjajahan Belanda, sudah ada kantor yang mengurus masalah agama. Jepang melanjutkan kebijakan Belanda itu. Ketika RI merdeka, ada usul membentuk Kementerian Agama di kabinet pertama, tetapi ditolak. Baru pada kabinet kedua (Januari 1946) dibentuk kementerian agama.

Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua belum banyak perhatian dan kebijakan pemerintah. Baru pada 1950, ada kesepakatan antara Menteri PPK Bahder Johan dan Menteri Agama Wahid Hasyim yang intinya memberi pelajaran agama di sekolah dan mendirikan madrasah sederajat dengan sekolah, yaitu madrasah ibtidaiyah (MI) setingkat SD, madrasah tsanawiyah (MTs) setingkat SMP, dan madrasah aliyah (MA) setingkat SMA.

Saat ini ada sekitar 74 ribu madrasah, lebih dari 90 persen milik swasta. Bayangkan kalau tidak ada madrasah swasta itu, jutaan warga akan kehilangan hak memperoleh pendidikan dasar dan menengah, yang sebetulnya menjadi tanggung jawab negara. Kalau madrasah tidak ada pengajaran agama tentu aneh.

Pada era Menteri Agama Wahid Hasyim, Kementerian Agama juga mendirikan PTAIN yang berkembang menjadi IAIN, STAIN, dan UIN. Bayangkan kalau tidak ada IAIN, ribuan anak muda berbakat dari pesantren tak mengalami mobilitas vertikal, berkesempatan belajar ke universitas di luar negeri, termasuk Musdah Mulia.

Tidak bisa dibantah, di Kementerian Agama terjadi banyak tindak pidana korupsi, bahkan ada dua menteri yang sudah diajukan ke pengadilan. Perlu dipahami, Kementerian Agama itu adalah sebuah kementerian yang berlaku kaidah dan tradisi kementerian. Di Kementerian Pendidikan juga banyak korupsi, baik yang sudah ditangkap maupun belum. Apa karena itu lalu Kementerian Pendidikan juga harus dibubarkan?

Salah satu pertanyaan besar saya yang hampir 10 tahun memimpin pesantren ialah metode apa yang harus dipakai untuk bisa menanamkan nilai-nilai agama yang baik ke dalam diri santri? Ada lima nilai yang ingin kami tanamkan ke dalam diri santri Tebuireng yang berasal dari ajaran Mbah Hasyim Asy'ari, yaitu ikhlas, jujur, kerja keras, tanggung jawab, dan tasamuh (toleran). Selain itu kami menolak semua bentuk tindak kekerasan di lingkungan pesantren.

Bagaimana cara untuk mengukur kemajuan menanamkan nilai itu, seperti mengukur kemajuan mentransfer pelajaran di sekolah? Seandainya berhasil dalam menanamkan nilai-nilai itu, bagaimana upaya untuk bisa mempertahankan nilai-nilai itu di dalam diri santri setelah mereka lulus dan masuk universitas?

Ketiga masalah di atas muncul akibat ketidakcocokan penilaian terhadap peristiwa di masa lalu yang dilakukan dengan pranata sosial saat ini. Suatu peristiwa atau kebijakan terjadi akibat interaksi antarberbagai pihak yang terkait dan dipengaruhi suasana yang terbentuk saat itu. Tidak bisa kita menilai apa yang terjadi sekian puluh tahun lalu berikut dinamikanya pada saat itu dengan kondisi sosial dan ukuran yang berlaku pada saat ini. []

REPUBLIKA, 04 November 2015
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar