Malapetaka
di Dunia Arab (I)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Ada tiga
bentuk malapetaka yang pernah dan sedang menimpa dunia Arab: perang saudara,
serbuan pasukan luar, dan gabungan antara keduanya. Kita lihat dulu Perang Onta
dan Perang Shiffin.
Perang
saudara era awal bisa dicatat sebagai Perang Onta antara pasukan Ali bin Abi
Thalib dan pasukan 'Aisyah dengan kekalahan di pihak 'Aisyah. Ironisnya, yang
terlibat dalam perang ini adalah orang yang sangat dekat dengan Nabi SAW.
'Aisyah adalah janda Nabi SAW, sedangkan Ali adalah sepupu dan menantunya,
suami Fatimah Zahra, putri Nabi SAW dengan Khadijah binti Khuwailid.
Perang
Onta ini adalah fitnah (malapetaka) pertama yang mengguncangkan komunitas
Muslim yang baru sekitar 24 tahun sepeninggal Nabi SAW. Kita tak perlu terjebak
dalam teori yang ruwet tentang penyebab meledaknya peperangan ini karena jelas
berkaitan dengan masalah politik kekuasaan.
Ketidaksenangan
'Aisyah terhadap Ali adalah di antara faktor utama mengapa dia berpihak kepada
Thalhah bin Ubaidillah al-Taimi dan Abdullah bin Zubair al-Awwan yang menjadi
pesaing Ali untuk posisi kekhalifahan.
Ali naik
takhta pada 656, tahun terbunuhnya Usman bin 'Affan sebagai khalifah ketiga
dalam urutan al-khulafa' al-rasyidun. 'Aisyah dan Ali adalah kader Nabi SAW
yang mengerti agama dengan mendalam.
Ternyata,
dimensi manusiawi dari dua tokoh ini telah mengalahkan pertimbangan agama saat
digumulkan dengan masalah politik kekuasaan. Tetapi Perang Onta belum
memunculkan sekte-sekte dalam komunitas Muslim Arab, seperti yang kemudian
berlaku akibat Perang Shiffin, setahun sesudah Perang Onta.
Jika
Perang Onta dengan skala yang masih terbatas, Perang Shiffin (657) antara Ali
dan gubernur Suriah Mu'awiyah bin Abi Sofyan yang berlangsung selama tiga
bulan, skalanya sudah menjadi luas dan sangat berakibat jauh, menembus bilangan
sampai hari ini. Ali dari pihak Bani Hasyim kini berhadapan dengan Mu'awiyah
yang licik dan cerdik dari Bani Umayyah, dua bani dalam lingkungan suku Quraisy
yang masih bersaudara.
Nenek moyangnya
bertemu pada nama Qushai bin Kilab, penguasa Makkah pada abad ke-5 masehi.
Dalam perjalanan sejarah politik kekuasaan, jangankan perang antara dua puak,
konflik berdarah antara dua saudara kandung bukanlah perkara yang mustahil,
seperti yang pernah berlaku dalam dinasti Mughal di India.
Aurangzeb,
misalnya, tega memenjarakan ayahnya sendiri Shah Jehan, demi kekuasaan. Sultan
Iskandar di Aceh kabarnya sampai hati membunuh anak laki-lakinya sendiri untuk
memuluskan peluang bagi putrinya menjadi sultanah.
Pendek
kata, dalam kenyataan sejarah, nafsu kekuasaan tanpa didampingi kekuatan moral
yang tangguh pasti merusak. Agama sering benar tidak berdaya. Oleh sebab itu,
tuan dan puan harus siap membaca sejarah politik umat Islam menurut apa adanya.
Jangan dibumbui seolah-olah kelakuan para penguasa Muslim itu pasti mengacu
kepada wahyu yang memerintahkan agar orang selalu bertindak adil, nafsu jangan
sekali diperturutkan.
Perang
saudara yang lebih dahsyat berlalu pada saat pasukan 'Abbasiyah yang bergerak
dari Khurasan (Iran) dengan bendera hitam menggulung habis daulah Umayyah
(661-749). Sisa yang berhasil menyelamatkan diri lari ke Sepanyol serta berjaya
mendirikan kerajaan di sana yang bertahan selama berabad-abad dengan peradaban duniawi
yang megah.
Karena
letaknya yang jauh di belahan Eropa, pihak 'Abbasiyah tidak mampu mengejarnya.
Maka berkibarlah dua imperium Muslim Arab, satu di timur dan satu di barat
dengan karya peradaban duniawi yang spektakuler.
Mengapa
saya bersikap kritikal terhadap apa yang disebut dengan penuh haru oleh
sebagian kita tentang \"the golden ages of Islam?\" Jawabannya tidak
sulit karena peradaban yang semisal itu dapat saja diciptakan manusia tanpa
bantuan wahyu. Padahal, yang hendak kita bangun adalah sebuah peradaban yang
mampu mengawinkan kekuatan zikir dan pikir, kekuatan langit dan bumi, sehingga
fenomena modernitas Barat yang sedang kehilangan jangkar spiritual tidak ditiru
dan diwarisi.
Bagi saya
apa yang berlaku pada masa "kejayaan" peradaban Islam itu tidak jauh
berbeda dengan peradaban sekuler Barat sejak 400 tahun yang lalu. Dimensi
duniawinya mengalahkan sisi kerohanian manusia. Akibatnya, sebuah keseimbangan
peradaban umat manusia tidak pernah terwujud. Wahyu diturunkan adalah untuk
menjaga dan menciptakan keseimbangan itu. []
REPUBLIKA,
24 November 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar