Pembangunan dan Peradaban
Oleh: Azyumardi Azra
Keputusan pemerintah untuk membangun kereta api cepat (medium,
bukan supercepat seperti Shinkansen atau TGV) Jakarta-Bandung lewat kerja sa-
ma dengan Tiongkok menjadi pertanyaan banyak ahli ekonomi dan masyarakat.
Ekonom senior terkemuka sekelas Emil Salim menyatakan, pembangunan jalur kereta
cepat itu tidak ada urgensinya. Proyek itu hanya akan mengalirkan devisa ke
luar negeri dan—lebih buruk lagi—memperbesar kepincangan sosial (Kompas, 9/11).
Kalangan ekonom lain menyatakan, proyek itu bukan investasi murni
Tiongkok. Negara itu hanya memberi semacam talangan karena kemudian harus
dibayar konsorsium empat BUMN yang dananya berasal dari rakyat. Kenyataan ini
bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa proyek itu tidak
boleh menggunakan anggaran negara alias dana rakyat.
Orang yang sering bolak-balik ke kedua kota juga melihat proyek
ini tidak bakal mendatangkan banyak manfaat karena warga umumnya cenderung
tetap lebih memilih Jalan Tol Cipularang atau kereta api Argo Parahyangan.
Pilihan ini masing-masing jauh lebih murah. Argo Parahyangan bertarif Rp
75.000-Rp 120.000, sedangkan harga tiket travel sekitar Rp 120.000. Proyeksi
ongkos kereta cepat medium hampir dua kali lipat, sekitar Rp 225.000.
Karena itu, menjadi tanda tanya besar apakah cukup banyak
penumpang tertarik menaiki kereta api cepat medium Jakarta-Bandung yang
direncanakan mulai beroperasi pada kuartal I-2019. Jika terjadi, proyek itu
merupakan pemborosan belaka.
Proyek ini tidak konsisten dengan butir ketiga Nawacita yang
selalu didengungkan Presiden Jokowi tentang membangun dari pinggiran. Memang
untuk tahun 2016 anggaran transfer ke daerah dan dana desa meningkat signifikan
menjadi Rp 782,2 triliun (dari Rp 664,4 triliun pada 2015).
Namun, walau ada peningkatan anggaran untuk daerah dan desa,
proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung memperlihatkan
inkonsistensi kebijakan pemerintah Jokowi-Kalla. Sebenarnya, tanpa perlu
penelitian dan kajian mendalam, infrastruktur dan sarana transportasi antara
kedua kota itu sudah sangat memadai.
Justru lebih mendesak adalah pembangunan infrastruktur jalan dan
kereta api di luar Jawa. Dengan infrastruktur cukup baik—meski terbatas seperti
jalan raya—menjadi mungkin, misalnya, membawa warga terasing, seperti Suku Anak
Dalam di Jambi yang belum lama ini dikunjungi Presiden, ke kebudayaan lebih
tinggi dan peradaban.
Pasti masih banyak suku terasing semacam Suku Anak Dalam atau suku
Kubu lain di banyak wilayah. Bahkan, banyak warga bukan suku terasing yang
tidak atau belum menikmati pembangunan karena infrastruktur jalan tak memadai
sehingga sulit dilayani alat transportasi apa pun.
Mempertimbangkan berbagai poin itu, sudah saatnya perlu refleksi
lebih jauh tentang makna pembangunan—termasuk dalam hal sarana transportasi,
seperti kereta api cepat Jakarta-Bandung. Kasus ini secara jelas memperlihatkan
bukan hanya inkonsistensi dalam kebijakan dan praksis pembangunan, melainkan
juga dalam kaitan dengan peningkatan kebudayaan dan peradaban.
Sejak pembangunan masa Orde Baru sampai era Presiden Jokowi,
banyak kritik dikemukakan ahli. Boleh jadi setiap masa kepresidenan ada
kerangka dasar kebijakan pembangunan, tetapi realisasi dan praksisnya lebih
sering didasarkan pada pertimbangan politis dan pragmatis.
Karena itu, pembangunan sering disebut kalangan akademisi dan
budayawan sebagai tidak memiliki strategi kebudayaan yang jelas dan
konsisten—atau bahkan strategi peradaban untuk memajukan seluruh bangsa
Indonesia. Hasilnya, pembangunan bukan hanya kian menciptakan disparitas
ekonomi, tetapi juga kesenjangan sosial-budaya dan peradaban di antara
suku-suku dan warga.
Dengan demikian, pembangunan belum berhasil melakukan transformasi
ekonomi dan transformasi sosial menyeluruh seperti dianjurkan Sri-Edi Swasono.
Menurut Guru Besar UI ini, UUD 1945 tegas menggariskan kebijakan nasional untuk
melakukan transformasi dalam kedua bidang kehidupan ini dalam rangka membangun
peradaban Indonesia yang berharkat dan bermartabat tinggi (Keindonesiaan:
Demokrasi Ekonomi, Keberdaulatan dan Kemandirian, 2015).
Sejauh ini, pembangunan dalam batas tertentu memang telah
menghasilkan transformasi ekonomi. Namun, arahnya belum sesuai dengan pesan UUD
1945 yang mene- kankan ekonomi kebersamaan dan ekonomi kerakyatan. Sebaliknya,
ekonomi Indonesia, aset dan sumber daya alam Indonesia kian terjerumus ke dalam
penguasaan kapitalisme, pasar bebas, dan neoliberalisme global—semakin menjauh
dari kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa.
Gejala sama terlihat dalam transformasi sosial. Pertumbuhan
ekonomi memang telah memunculkan kelas menengah dalam jumlah signifikan. Namun,
saat yang sama terjadi pula penguatan gaya hidup konsumeristis dan hedonistis
berbarengan dengan merosotnya budaya kewargaan (civic culture) dan keadaban
publik (public civility).
Kecenderungan ini terlihat jelas dari kian padatnya kendaraan di
jalan raya. Namun, kepatuhan pada ketentuan hukum dan ketertiban kian turun
hampir ke tingkat nadir.
Walhasil, jika Indonesia sebagai negara besar ingin membangun
peradaban lebih baik, mulai dari sekarang perlu mengoreksi konsep, strategi,
arah, dan praksis pembangunan. []
KOMPAS, 10 November 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar