NU: Jami’iyah dan Jama’ah
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kini tantangan melakukan modernisasi dalam NU mengambil bentuk modernisasi sistem pengelolaannya. Warga NU telah banyak yang menggunakan computer untuk urusan sehari-hari, hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga harus melaksanakannya. Di kantor PBNU yang baru, bertingkat Sembilan, terdapat sebuah lift sampai ke basement/lantai dasar. Seiring dengan itu, anak-anak dari pimpinan NU, dari tingkat pusat sampai tingkat dusun banyak yang menguasai berbagai bidang profesi, mengikuti berbagai jenjang pendidikan formal. Pada waktu penulis berbicara di muka pertemuan Ikatan sarjana NU (ISNU)- yang para pesertanya berjumlah sekitar 200 orang lulusan S2 dan peserta S3 di berbagai Universitas. Lebih banyak lagi yang tidak mengikuti pertemuan tersebut, karena kesibukan pekerjaan maupun letak kediaman mereka yang jauh dari Jakarta.
Ini tentu, menimbulkan berbagai kesulitan bagi pimpinan NU di
berbagai tingkatan. Adakah ukuran yang digunakan menjadi berbeda-beda? Bukankah
perbedaan pendidikan juga bisa mengakibatkan perbedaan profesi yang selanjutnya
menjadi perbedaan dalam menggunakan nilai-nilai yang dianut seorang kiai dengan
nilai-nilai yang dimiliki generasi muda. Ketika ayah penulis, KH. A. Wahid
Hasyim, melakukan pembaruan pendidikan formal dengan membuat kurikulum
campuran, jelas ia berbeda dari ayahnya yang masih mengajarkan kitab-kitab lama
dengan menggunakan terjemahan bahasa Jawa di masjid Tebuireng, Jombang. Cara
ayah beliau, sekarang diikuti oleh berbagai pesantren besar yang menggunakan
kurikulum dan teks-teks pengajaran yang dinamai madrasah salafiyah (pesantren
di Sukorejo/Asembagus di Situbondo, Ploso dan Lirboyo di Kediri adalah contoh
dari model ini)
Sebaliknya, Pondok Pesantern Tebuireng, Jombang, menggunakan
kurikulum campuran dan bahkan menyelenggarakan bidang pendidikan formal berupa
Sekolah Menengah Umum (SMU) tingkat pertama dan tingkat lanjutan. Begitu banyak
variasi pendidikan formal yang dikembangkan di lingkungan NU, hingga payah kita
menelusurinya. Yang semua itu, berpegang pada modernisasi harus bertumpu pada
tradisionalisme. Karenanya, tuntutan perbaikan sistem merupakan dua buah
perkembangan yang harus mencerminkan perjalanan NU sendiri. Para lulusan S2 dan
penuntut S3 harus memperhitungkan tradisionalisme orang tua mereka, jika ingin
meraih gelar kesarjanaan berbagai tingkatan tanpa gangguan.
Dalam pada itu, peranan kiai melalui pengajian umum dan wahana
lain sejenis, juga tidak surut. Mereka melakukan modernisasi dengan cara mereka
sendiri, termasuk dengan memperkenankan anak-anak mereka menjadi sarjana penuh
bahkan S2/S3, setelah melalui pendidikan model lama yang sama sekali tidak
memperhitungkan pendidikan formal non-agama di bawah tingkatan perguruan
tinggi. Dengan sendirinya, ini berarti setahun dua tahun jenjang pendidikan
lebih lama dari pada kalau mengikuti jenjang pendidikan campuran, tetapi itu
pun sudah banyak dilakukan. Belum lagi kalau kita ingat variasi, yaitu
anak-anak Kiai yang mengalami pendidikan cara lama, kemudian mengikuti jenjang
pendidikan di fakultas-fakultas agama, seperti institut agama Islam negeri
(IAIN) dan sekolah-sekolah tinggi agama Islam (STAI).
Dengan demikian, telah terbukti, penguasaan mata pengetahuan agama
tetap dipandang sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai. Dengan mengetahui
hal ini, kita lalu memahami mengapa ada berbagai jenis pendidikan yang ditempuh
anak-anak NU, dari yang sepenuhnya pendidikan perguruan tinggi formal tanpa
mengenal pengetahuan agama (perguruan tinggi umum, hingga tingkatan pendidikann
ilmu-ilmu keagamaan Islam belaka). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kaum
muslimin menempuh jalan pendidikan formal yang tidak sama, dan dengan
sendirinya ini berarti jama’ah (kumpulan orang banyak) yang dihasilkan juga
berbeda-beda.
Dari uraian di atas, tampak jelas persepsi warga NU yang sangat
bervariasi itu tidak memungkinkan adanya penanganan kultural/budaya yang satu,
berlaku untuk semua warga NU. Dari yang paling kuno dan hanya mencari
pengetahuan intuitif (menggunakan, petunjuk-petunjuk batin yang tidak diketahui
rasionalistiknya), hingga pada sikap hidup yang sangat rasionalistik dan sama
sekali tidak mementingkan hal-hal spiritual. Dalam hal, haruslah diterima
kenyataan bahwa sikap hidup intuitif yang tidak rasional, berhadapan dengan
sikap hidup rasional, yang tidak memperhitungkan factor-faktor intuitif.
Jika demikian, jelas bahwa pembedaan antara yang organisatoris dan
yang bersifat kultural, haruslah ditampung di lingkungan NU. Kita memang harus
melakukan perbaikan-perbaikan organisatoris yang diperlukan, tetapi tanpa
mengabaikan aspek-aspek intuitif (al-jawanib adz-dzauqiyyah) dalam kehidupan
warga NU sekarang ini. Aspek-aspek intuitif ini, yang jelas sekali terlihat
dalam karya al-Ghazali, Ihya ‘Ulûmid Dîn, benar-benar masih hidup dalam
kenyataan yang diperlihatkan para kiai dan murid-murid mereka, masih berkembang
sangat pesat di lingkungan NU. Hal ini disebut oleh penulis sebagai aspek-aspek
kultural/budaya yang dimiliki organisasi Islam yang besar, seperti NU.
Dengan demikian, perbaikan sistem yang menyangkut NU sebagai
organisasi, haruslah dapat menampung aspek-aspek intuitif tersebut. Hal inilah
yang dengan sadar dibangun oleh tokoh-tokoh NU masa lampau, seperti KH. Mahfudz
Siddieq, KH. Abdullah Ubaid, KH.A. Wahid Hasyim, dan KH. Ahmad Siddieq. Dengan
sadar para pemimpin tersebut mencoba memasukkan aspek-aspek rasional dan
aspek-aspek intuitif tersebut dalam pengambilan keputusan yang mereka lakukan.
Karena itulah, mereka dapat diterima oleh “kaum kiai kolot/tradisional” maupun
oleh kaum rasional di lingkungan NU sendiri. Nah, kedua kecenderungan tersebut
sepenuhnya didukung oleh keluhuran moralitas (al-akhlaq al-karimah) yang
kemudian dihancurkan oleh sistem politik korup yang berdasarkan KKN seperti
kita kenal beberapa dasa warsa terakhir ini.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aspek
organisatoris/institusional harus menggunakan peralatan baru dan dibuat agar
sesuai dengan ketentuan zaman. Tetapi, aspek-aspek intuitif juga tidak dapat
ditinggalkan begitu saja, karena hal ini menyebabkan NU ditinggalkan oleh para
kiai dan para pengikut-pengikutnya. Aspek-aspek organisatoris (jam’iyah) harus
dapat menampung aspek-aspek intuitif (jama’ah) yang semakin dipersubur oleh
hilangnya etika /moralitas/al-akhlaq al-karimah dari kehidupan kita dalam
beberapa dasa warsa terakhir ini. Dalam lingkungan agama Khatolik-Roma, hal ini
ditampung dalam dua organisasi yang saling berbeda: sistem kependetaan di satu
sisi dan gerakan (kerasulan) awam, di sisi lain. Di samping hierarki Vatikan,
ada perkumpulan masyarakat St. E’gidio di kota Roma. Dapatkah kedua jenis
gerakan dengan kebutuhan yang berbeda ini dijadikan sebuah sistem, seperti
terjadi di lingkungan NU sekarang? []
*) Tulisan ini pernah dimuat di Proaksi, 22 Februari 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar