Senin, 30 November 2015

Azyumardi: Milan



Milan
Oleh: Azyumardi Azra

“Do you know Mister Thohir?”. Massimo, pelayan Ristoranti Pizzeria Marruzella Milan bertanya kepada penulis Resonansi ini ketika 8 November 2015 sedang menikmati pizza asli Italia—bukan pizza Amerika semacam Pizza Hut atau Domino Pizza yang lazim ditemukan di beberapa kota besar Indonesia. Belum sempat saya menjawab pertanyaan, dia langsung menambahkan: “You know, Mr Thohir is now the owner of Internazionale Milan. We are very happy that Inter play better now and at the top of the table”.

Massimo, sang waiter cukup fasih berbahasa Inggris—di atas rata-rata orang Italia yang kalau ditanya dalam bahasa Inggris dijawab dengan bahasa Inggris patah-patah atau bahasa Italia atau bahkan bahasa isyarat. Saya sering mengalami keadaan ini ketika kesasar di jalanan Milan dan bertanya pada seorang perempuan yang sedang mengajak anjingnya jalan-jalan. Perempuan ramah dan bersahabat ini menjawab dengan bahasa Italia tambah ‘bahasa Tarzan’. Tapi saya cukup mengerti dan bisa menemukan jalan.

Kembali kepada pertanyaan Massimo, saya tentu saja tahu yang dia maksudkan dengan ‘Mister Thohir’ adalah Erick Thohir, pengusaha muda yang sangat aktif dalam dunia olahraga—khususnya sepakbola—dan juga media massa. Saya jawab pertanyaan itu dengan menyatakan; tentu saja saya mengenal baik Mister Thohir dalam waktu yang cukup lama.

Saya bercerita lebih lanjut, saya ketemu Mister Thohir di Milan pada 30 Januari 2015, persisnya di atas pesawat Singapore Airlines yang terbang dari Bandara Milan menuju Singapura dan terus ke Jakarta. Dalam pertemuan yang tidak terduga itu kami sempat mengobrol tentang Inter, dunia sepak bola dan juga media massa.

Saya sering mendapat pertanyaan serupa dalam beberapa kali kesempatan ke Italia—Milan dan Roma—sepanjang 2014 dan 2015. Di lingkungan ibukota Roma dan kawasan Vatikan yang merupakan pusat hirarki Katolik, selalu saja ada orang yang mengaku pendukung fanatik Inter yang mengajukan pertanyaan sama. Sebagai warga Indonesia yang juga hobbi nonton sepakbola—termasuk Lega Calcio—saya merasa senang dan bangga Indonesia juga kian dikenal di Italia dan Vatikan melalui tim sepakbola Inter-Milan yang selama di tangan Erick Thohir meningkat kembali prestasinya.

Inter-Milan sedang berubah ke arah lebih baik. Tapi berbeda dengan perkembangan Inter, Kota Milan justru tengah berubah ke arah yang tidak menyenangkan. Meninggalkan Milan kembali ke Jakarta pada hari yang kemudian ternyata menjadi tragedi pemboman Paris (13/11/15), penulis Resonansi ini belakangan mengetahui kota fesyen ini juga menjadi salah satu target teroris.

Sejauh ini ancaman terorisme terhadap Milan belum terbukti. Setiap manusia berperikemanusiaan wajib berharap atau berdoa agar terorisme—yang  sudah mengorbankan begitu banyak orang tidak tahu apa tentang agenda kelompok teroris—tidak lagi terjadi; apakah di Milan, di tempat lain di Eropa atau juga di Indonesia yang juga mendapat ancaman ISIS pekan lalu.

Milan tengah berubah. Ketika menjelang akhir Januari 2015 datang ke Milan, saya tidak melihat sesuatu agak ganjil di kota ini. Tetapi dalam kedatangan kedua tahun ini, November lalu, saya menyaksikan banyak pengemis—laki-laki dan perempuan—mengemis di pinggir jalan, di depan supermarket, di gerbang pintu masuk Metro (kereta bawah tanah) dan di lingkungan kampus. Banyak juga pengasong yang menjajakan dagangan seadanya.

Para pengemis dan penjual asongan ini umumnya berwajah Afrika dan Timur Tengah. Mereka pengungsi atau migran yang meningkat jumlahnya di berbagai negara Eropa sejak Musim Panas 2015. Mereka datang dari Libya, Tunisia, Syria, dan Iraq untuk menyelamatkan diri dari kecamuk kekerasan dan terorisme akibat konflik dan perang saudara di tanahair mereka. Menyeberangi Laut Tengah mereka menuju pulau atau pantai Italia dan Yunani. Tidak sedikit di antara mereka tak pernah sampai ke tempat tujuan—tenggelam di tengah laut.

Membanjirnya pengungsi atau migran kian tidak selalu welcoming—alias disenangi masyarakat lokal. Meski orang Italia umumnya bersikap bersahabat—seperti dikatakan Mr Thohir kepada saya—tapi kian banyak kalangan masyarakat menggerutu. Ada kalangan mahasiswa dan dosen di lingkungan Universitas Katolik Hati Suci Milan yang menyesalkan banjir migran—membuat kekumuhan baru di kota mereka. Selain itu mereka juga menambah beban ekonomi bagi Italia yang mengalami kesulitan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.

Banjir migran juga menyebabkan memburuknya citra Islam dan Muslim. Dalam percakapan dengan sejumlah kalangan, banjir migran adalah akibat kegagalan kaum Muslim di kawasan Afrika Utara dan Dunia Arab menyelesaikan masalah secara damai. Konflik, kekerasan, dan terorisme yang terus terjadi di berbagai tempat kawasan ini menjadi faktor pendorong bagi warga untuk meninggalkan tanah air mereka.

Karena itu, sudah saatnya para penguasa, politisi dan aktivis di kawasan-kawasan tersebut melakukan muhasabah untuk kemudian mengoreksi kekeliruan yang menyebabkan terjadinya berbagai bencana kemanusiaan. Jika tidak, bukan hanya Milan, tetapi juga kota-kota lain di Eropa menjadi lokus peningkatan sikap anti Islam dan anti-Muslim. []

REPUBLIKA, 26 November 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar