Senin, 30 November 2015

(Buku of the Day) Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah



Pengembangan Maqasid Syariah untuk Kemaslahatan Manusia


Judul                : Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah
Penulis             : Jasser Auda
Penerbit            : Mizan
Terbitan            : Agustus, 2015
Jumlah              : 356 halaman
Peresensi          : Irawan Fuadi, santri Al-Iman Purworejo dan Nurul Ummah Yogyakarta. Lulusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga

Bagi Muslim, keberadaan Al-Qur’an adalah shalih likulli zaman, relevan di setiap zaman. Namun pertanyaannya, sejauh mana sumber utama umat Islam itu mampu menjawab setiap permasalahan umat manusia? Di sinilah fungsi kerja manusia yang dikaruniai akal dan nurani tidak hanya sebagai objek, tetapi juga menjadi subjek atas lahirnya hukum Islam. Dari sini kemudian lahirlah apa yang digagas oleh Abu al-Ma’ali al-Juwaini yaitu Maqasid Syariah (tujuan-tujuan syariah). Dia menyarankan lima tingkatan maqasid, yaitu darurat (keniscayaan), al-hajjah al-‘ammah (kebutuhan publik), al-makrumat (perilaku moral), al-mandubat (anjuran-anjuran), dan apa yang tidak dicantumkan dalam nash. Pemikiran al-Juwaini ini kemudian dikembangkan oleh muridnya al-Ghazali dengan menggagas lima perlindungan (al-hifz). Yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Maqasid syariah adalah prinsip-prinsip yang menyediakan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan disyariatkannya hukum, seperti alasan zakat menjadi salah satu rukun Islam, manfaat fisik dan spiritual dari puasa Ramadhan, dosa besar minum minuman keras, hubungan antara gagasan hak-hak asasi manusia dengan hukum Islam, dan lain-lain. Najm al-Din al-Tufi mengaitkan kemaslahatan dan Maqasid dengan kaidah Usul Fikih, “Suatu maqsud tidak sah kecuali jika mengantarkan pada pemenuhan kemaslahatan atau menghindari kemudaratan.” (hlm. 33). 

Era kemunduran dalam peradaban Islam secara umum dalam teori fikih secara khusus mulai terjadi sejak pertengahan abad ke-7H/13M dengan runtuhnya Bagdad oleh bangsa Mongol pada 656 H. Setelah itu, para ulama mulai mengembangkan praktik penyebutan pendapat para imam dan muridnya sebagai ‘nash dalam mazhab (nass fi al-mazhab)’. Para fakih pada era kemunduran ini tidak diperkenankan melakukan ijtihad, kecuali apabila mereka tidak menemukan suatu pendapat dari imam mereka maupun murid-muridnya. (hlm. 120).

Buku ini berisi tujuh bab. Bab I menjelaskan tentang maqasid syariah dan peran fundamentalnya dalam kontemporerisasi hukum Islam yang sangat dibutuhkan umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya. Bab ini mengenalkan definisi dan klasifikasi tradisional maupun terkini tentang maqasid syariah. Juga fase yang dilalui maqasid syariah, yaitu era sahabat Nabi, era peletakan fondasi mazhab fikih, dan era abad ke-5 sampai 8 Hijriyah.

Bab II menjelaskan tentang sistem dalam konteks ‘filsafat sistem’. Pendekatan filsafat sistem memandang dunia dan fungsi alam serta seluruh komponennya dalam konteks sebuah sistem holistik besar yang tersusun dari sub-sub sistem yang jumlahnya tak terhingga, yang memiliki sifat berinteraksi, terbuka, hierarkis, dan memiliki tujuan. Fokus bab ini adalah filsafat sistem sebagai sebuah filsafat posmodernisme yang rasional dan tidak berkiblat pada Eropa, serta bagaimana filsafat Islam dan teori hukum Islam dapat memanfaatkan filsafat baru ini.

Bab III menyajikan analisis mazhab-mazhab fikih klasik dalam konteks sejarah dan sumber pokok mereka. Ada sembilan mazhab fikih yang akan dibahas, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, Syiah Ja’fari, Syiah Zaidi, Zahiri, Ibadi, dan Muktazilah. Bab IV menyajikan secara garis besar telaah dan analisis terkait teori yuridis 9 mazhab fikih klasik yang diakui secara luas (Bab III). Sajian analisis akan terfokus pada klasifikasi hierarkis berbagai metode, secara komparatif. 

Analisis yang disajikan dalam Bab V akan menunjukkan bagaimana teori-teori kontemporer mengesahkan atau mengkritik teori-teori klasik hukum Islam. Bab ini akan menjawab berbagai pertanyaan: Apakah mazhab-mazhab fikih klasik masih diikuti secara ketat? Jika peta mazhab dan teori hukum Islam telah berubah, apakah nama yang dapat kita berikan kepada mazhab-mazhab dan teori-teori baru dalam hukum Islam tersebut? Apa yang mendefinisikan masing-masing mazhab kontemporer? Dan terakhir seberapa banyakkah mereka setuju atau tidak setuju dengan mazhab-mazhab klasik?

Tema besar yang dibahas di Bab VI adalah identifikasi area-area tertentu di mana filsafat sistem dapat memberi kontribusi terhadap usul fikih. Fitur-fitur sistem seperti kebermaksudan, kognitif, holistik, multidimensi dan keterbukaan akan ditinjau kembali. Metode-metode untuk merealisasikan fitur-fitur ini dalam metodologi fundamental hukum Islam akan disajikan. Buku inii ditutup dengan Bab VII yang merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.

Seperti yang disampaikan Prof. Amin Abdullah dalam Kata Pengantar, buku yang ditulis pakar maqasid syariah, Jasser Auda initidak hanya sekadar membahas ulang maqasid syariah dengan pendekatan baru, yakni pendekatan sistem. Buku ini lebih dari itu, yaitu mencakup juga tema-tema yang sangat diperlukan dalam studi keislaman kontemporer, yaitu filsafat ilmu keagamaan (Islam). Ia menegaskan kembali bahwa keberadaan hukum Islam bukan untuk Tuhan sebagai pencipta, tapi untuk kehidupan dan kemaslahatan manusia dan kemanusiaan sebagai pelaku utama makhluk di muka bumi. Selamat membaca! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar