Vonis
Salah Tetap Mengikat
Oleh: Moh
Mahfud MD
Dalam
kunjungan ke berbagai tempat, baik untuk acara yang sifatnya umum maupun untuk
memberi kuliah di kampus-kampus, saya sering mendapat pernyataan dan pertanyaan
mengenai vonis-vonis Mahkamah Konstitusi (MK).
Pernyataannya,
belakangan ini banyak vonis yang bertentangan dengan rasa keadilan, terlalu
liberal, ceroboh, dan ditentang oleh masyarakat. Pertanyaan-pertanyaannya
antara lain, mengapa belakangan ini banyak vonis MK yang tidak sesuai dengan
aspirasi masyarakat? Bagaimana kalau putusan MK itu salah?
Sebenarnya
penolakan, kecaman, dan penilaian buruk atas vonis-vonis MK yang muncul dari
tengah-tengah masyarakat bukan hanya terjadi belakangan ini, tetapi sudah
selalu terjadi sejak dulu. Sejak dulu setiap ada vonis MK selalu ada saja yang
mencelanya.
Sekurang-kurangnya
pihak yang kalah dalam perkara di MK mengecam vonis MK sebagai vonis yang tidak
benar, kolutif, politis, mencari popularitas, dan sebagainya. Segemuruh apa pun
dukungan sebagian terbesar masyarakat atas suatu vonis MK, pasti ada saja yang
mencela dan mengecamnya.
Ketika
pada 2009 MK mengadili perkara ”cicak vs buaya” dengan memutar rekaman
pembicaraan rekayasa kasus yang melibatkan oknum-oknum penegak hukum, jutaan
masyarakat menyambut dan mendukungnya dengan menggelegar dan menggetarkan bumi,
tetapi ada saja yang mengatakan bahwa MK bekerja di luar wewenang dan
mendramatisasi masalah karena menilai kasus konkret dalam perkara pengujian UU
yang merupakan norma abstrak.
Begitu
juga ketika MK memvonis pembubaran BP Migas atau membatalkan hasil pemilu
legislatif dan pemilukada, meskipun disambut dengan gembira oleh sebagian besar
masyarakat, ada saja warga masyarakat yang mengecamnya. Pokoknya, setiap vonis
MK pasti ada yang mendukung dan ada yang mengecamnya.
Itu
adalah konsekuensi hidup berdemokrasi. Tapi, terlepas dari soal ada yang setuju
dan ada yang tidak setuju, vonis MK itu tetap mengikat, bukan hanya harus
dihormati, tetapi wajib ditaati dan harus dilaksanakan sebagai putusan hukum
yang final. Saya sendiri, baik sebagai warga masyarakat dulu dan sekarang
maupun saat menjadi hakim MK dulu, sering juga tidak setuju atas vonis-vonis
MK,
tetapi
saya menaatinya sebagai vonis yang harus dilaksanakan. Saat menjadi ketua MK
dulu, misalnya, saya sama sekali tidak setuju kalau MK melakukan pengujian
konstitusionalitas (judicial review) atas peraturan pemerintah pengganti
undangundang (perppu). Alasan saya, karena menurut Pasal 24C ayat (1) UUD NRI
1945, MK hanya menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD dan menurut Pasal 22
ayat (2) UUD NRI 1945 perppu itu diuji oleh DPR melalui legislative review atau
political review untuk menentukan keberlakuannya sebagai UU.
Tapi
waktu itu saya kalah voting dalam permusyawaratan hakim MK yang sebagian besar
menyetujui bahwa perppu bisa diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Saya pun
mendukung dan mengampanyekan kepada publik bahwa vonis MK tentang kompetensinya
untuk menguji perppu berlaku mengikat karena vonis MK bersifat final.
Setelah
tidak menjadi hakim MK pun saya tidak setuju atas beberapa vonis MK yang
menurut penilaian subjektif saya tidak benar. Vonis MK yang membuka peluang
peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali menurut saya tidak tepat karena
bisa menabrak kepastian hukum dan tidak sesuai dengan filosofi bahwa PK adalah
upaya hukum luar biasa.
Tapi
ketidak setujuan saya tidak mengikat dan sebaliknya vonis MK itulah yang
menurut konstitusi mengikat. Saya pun tidak setuju dan menganggap tidak tepat
vonis MK yang membolehkan mantan narapidana yang baru keluar dari penjara
(lembaga pemasyarakatan) langsung boleh mencalonkan diri dalam pemilihan umum
kepala daerah.
Menurut
saya vonis itu terlalu liberal. Masih ada beberapa vonis MK yang menurut saya
kurang tepat, tetapi vonis MK tetap mengikat, harus ditaati, dan harus
ditegakkan. Mengapa vonis MK mengikat? Karena pengadilan memang diberi wewenang
oleh negara untuk menyelesaikan perselisihan atau memutus perkara.
Putusan
pengadilan yang sudah final harus diikuti dan segera dilaksanakan, sebab jika
putusan yang sudah final masih bisa dipersoalkan atau dimentahkan karena ada
orang yang tidak setuju, masalah tidak akan selesai-selesai dan tidak ada
gunanya ada pengadilan. Ada kaidah dalam metodologi hukum Islam yang berlaku
universal: ”vonis hakim itu mengakhiri perselisihan (hukmul haakim yarfa
(hukmul haakim yarfaul khilaaf) ”.
Jadi apa
pun isinya putusan hakim itu harus diterima sebagai hukum untuk mengakhiri
sengketa. Bagaimana kalau vonisnya salah? Kalau vonis salah, asalkan sudah
berkekuatan hukum tetap (inkracht ), vonis itu tetap berlaku mengikat,
sedangkan kesalahan itu dilihat sebagai kasus yang bisa diadili tersendiri.
Misalnya
kesalahan itu terjadi karena penyuapan, maka hakim dan penyuapnya dihukum
melalui pengadilan tersendiri tanpa harus membatalkan vonis yang inkracht.
Tentu masih ada yang mempersoalkan dengan mengatakan bahwa itu tidak adil dan
lebih tepat kalau putusan yang salah itu dibatalkan.
Pikiran
seperti benar juga, tetapi risikonya akan banyak masalah hukum yang tak
selesai-selesai karena dituding vonisnya salah. Prinsipnya, vonis yang inkracht
tetap mengikat dan harus dilaksanakan, tetapi kalau salah, ada pengadilan hukum
dan atau etik tersendiri untuk menyelesaikannya. []
KORAN
SINDO, 31 Oktober 2015
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar