Selasa, 10 November 2015

Mahfud MD: Vonis Salah Tetap Mengikat



Vonis Salah Tetap Mengikat
Oleh: Moh Mahfud MD

Dalam kunjungan ke berbagai tempat, baik untuk acara yang sifatnya umum maupun untuk memberi kuliah di kampus-kampus, saya sering mendapat pernyataan dan pertanyaan mengenai vonis-vonis Mahkamah Konstitusi (MK).

Pernyataannya, belakangan ini banyak vonis yang bertentangan dengan rasa keadilan, terlalu liberal, ceroboh, dan ditentang oleh masyarakat. Pertanyaan-pertanyaannya antara lain, mengapa belakangan ini banyak vonis MK yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat? Bagaimana kalau putusan MK itu salah?

Sebenarnya penolakan, kecaman, dan penilaian buruk atas vonis-vonis MK yang muncul dari tengah-tengah masyarakat bukan hanya terjadi belakangan ini, tetapi sudah selalu terjadi sejak dulu. Sejak dulu setiap ada vonis MK selalu ada saja yang mencelanya.

Sekurang-kurangnya pihak yang kalah dalam perkara di MK mengecam vonis MK sebagai vonis yang tidak benar, kolutif, politis, mencari popularitas, dan sebagainya. Segemuruh apa pun dukungan sebagian terbesar masyarakat atas suatu vonis MK, pasti ada saja yang mencela dan mengecamnya.

Ketika pada 2009 MK mengadili perkara ”cicak vs buaya” dengan memutar rekaman pembicaraan rekayasa kasus yang melibatkan oknum-oknum penegak hukum, jutaan masyarakat menyambut dan mendukungnya dengan menggelegar dan menggetarkan bumi, tetapi ada saja yang mengatakan bahwa MK bekerja di luar wewenang dan mendramatisasi masalah karena menilai kasus konkret dalam perkara pengujian UU yang merupakan norma abstrak.

Begitu juga ketika MK memvonis pembubaran BP Migas atau membatalkan hasil pemilu legislatif dan pemilukada, meskipun disambut dengan gembira oleh sebagian besar masyarakat, ada saja warga masyarakat yang mengecamnya. Pokoknya, setiap vonis MK pasti ada yang mendukung dan ada yang mengecamnya.

Itu adalah konsekuensi hidup berdemokrasi. Tapi, terlepas dari soal ada yang setuju dan ada yang tidak setuju, vonis MK itu tetap mengikat, bukan hanya harus dihormati, tetapi wajib ditaati dan harus dilaksanakan sebagai putusan hukum yang final. Saya sendiri, baik sebagai warga masyarakat dulu dan sekarang maupun saat menjadi hakim MK dulu, sering juga tidak setuju atas vonis-vonis MK,

tetapi saya menaatinya sebagai vonis yang harus dilaksanakan. Saat menjadi ketua MK dulu, misalnya, saya sama sekali tidak setuju kalau MK melakukan pengujian konstitusionalitas (judicial review) atas peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu). Alasan saya, karena menurut Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, MK hanya menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD dan menurut Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 perppu itu diuji oleh DPR melalui legislative review atau political review untuk menentukan keberlakuannya sebagai UU.

Tapi waktu itu saya kalah voting dalam permusyawaratan hakim MK yang sebagian besar menyetujui bahwa perppu bisa diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Saya pun mendukung dan mengampanyekan kepada publik bahwa vonis MK tentang kompetensinya untuk menguji perppu berlaku mengikat karena vonis MK bersifat final.

Setelah tidak menjadi hakim MK pun saya tidak setuju atas beberapa vonis MK yang menurut penilaian subjektif saya tidak benar. Vonis MK yang membuka peluang peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali menurut saya tidak tepat karena bisa menabrak kepastian hukum dan tidak sesuai dengan filosofi bahwa PK adalah upaya hukum luar biasa.

Tapi ketidak setujuan saya tidak mengikat dan sebaliknya vonis MK itulah yang menurut konstitusi mengikat. Saya pun tidak setuju dan menganggap tidak tepat vonis MK yang membolehkan mantan narapidana yang baru keluar dari penjara (lembaga pemasyarakatan) langsung boleh mencalonkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah.

Menurut saya vonis itu terlalu liberal. Masih ada beberapa vonis MK yang menurut saya kurang tepat, tetapi vonis MK tetap mengikat, harus ditaati, dan harus ditegakkan. Mengapa vonis MK mengikat? Karena pengadilan memang diberi wewenang oleh negara untuk menyelesaikan perselisihan atau memutus perkara.

Putusan pengadilan yang sudah final harus diikuti dan segera dilaksanakan, sebab jika putusan yang sudah final masih bisa dipersoalkan atau dimentahkan karena ada orang yang tidak setuju, masalah tidak akan selesai-selesai dan tidak ada gunanya ada pengadilan. Ada kaidah dalam metodologi hukum Islam yang berlaku universal: ”vonis hakim itu mengakhiri perselisihan (hukmul haakim yarfa (hukmul haakim yarfaul khilaaf) ”.

Jadi apa pun isinya putusan hakim itu harus diterima sebagai hukum untuk mengakhiri sengketa. Bagaimana kalau vonisnya salah? Kalau vonis salah, asalkan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht ), vonis itu tetap berlaku mengikat, sedangkan kesalahan itu dilihat sebagai kasus yang bisa diadili tersendiri.

Misalnya kesalahan itu terjadi karena penyuapan, maka hakim dan penyuapnya dihukum melalui pengadilan tersendiri tanpa harus membatalkan vonis yang inkracht. Tentu masih ada yang mempersoalkan dengan mengatakan bahwa itu tidak adil dan lebih tepat kalau putusan yang salah itu dibatalkan.

Pikiran seperti benar juga, tetapi risikonya akan banyak masalah hukum yang tak selesai-selesai karena dituding vonisnya salah. Prinsipnya, vonis yang inkracht tetap mengikat dan harus dilaksanakan, tetapi kalau salah, ada pengadilan hukum dan atau etik tersendiri untuk menyelesaikannya. []

KORAN SINDO, 31 Oktober 2015
Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar