Agama:
Tradisi, Memori, dan Modernitas (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Setiap
perubahan dalam suatu masa dapat memunculkan tantangan serius tertentu
pada agama. Karena itu, tidak heran jika kalangan ilmuwan dan
akademisi—terutama yang bergerak dalam bidang agama dan perubahan
sosial—memprediksi dan membangun berbagai teori tentang kian merosot dan bahkan
menghilangnya agama dalam meningkatnya modernitas dalam berbagai lapangan
kehidupan. Bukan tidak jarang prediksi dan teori itu meleset jauh.
Agama
terus bertahan di tengah gelombang perubahan demi perubahan yang terkait dengan
modernitas—termasuk globalisasi yang sering disebut para ahli sebagai salah
satu puncak modernitas. Kebertahanan agama—khususnya agama wahyu; agama Yahudi,
Kristianitas, dan Islam—terkait banyak dengan tradisi yang telah mapan selama
berabad-abad. Tradisi ini tidak mudah berubah karena bersumber dari wahyu yang
diyakini para penganut agama masing-masing sebagai permanen atau tidak berubah.
Tradisi
agama mendapat tambahan kekuatan dengan ingatan bersama (collective memory)
para penganutnya tentang doktrin dan praksis agama yang mendatangkan banyak
kebaikan, manfaat dan keselamatan bagi umat manusia. Memori yang diabadikan
dari waktu ke waktu dari satu generasi ke generasi berikutnya membuat tradisi
keagamaan kian tidak mudah lenyap begitu saja.
Subyek
tentang agama dengan tradisinya dan memori para penganutnya dalam tantangan
modernitas masih menguasai imajinasi dunia akademis dan para ahli. Hal ini
misalnya terlihat dari Konperensi selama tiga hari (9-11/11/2015) yang
diselenggarakan Accademia Ambrosiana, Milan, Italia. Mengangkat tema
‘Tradizione, Memoria e Modernita’, Konperensi membahas tradisi ketiga agama
Abramik (agama Yahudi, Kristianitas, dan Islam) dalam kaitan dengan memori
penganutnya dalam menghadapi tantangan modernitas.
Penulis
Resonansi ini mendapat kesempatan baik bukan hanya sebagai salah satu
narasumber dalam Konperensi Akademi Ambrosiana ini, tetapi juga sekaligus
sebagai pembelajar. Pembicaraan tentang tradisi, memori dan modernitas terkait
agama Yahudi dan Kristianitas memberikan perspektif perbandingan yang kaya dengan
tradisi Islam dan memori kaum Muslimin dalam menghadapi tantangan modernitas.
Dalam
pembicaraan tentang tradisi versus modernitas dalam agama Yahudi misalnya,
wahyu yang terkandung dalam kitab Torah (Taurat) memerlukan interpretasi baru
untuk dapat memberikan jawaban terhadap tantangan modernitas. Tetapi
interpretasi baru itu tidak bisa terlalu jauh dari teks, karena bisa dianggap
otoritas ortodoksi sebagai ‘menyimpang’. Jadi, teks tetap penting bersamaan
dengan perlunya pemahaman baru tentang konteks.
Salah
satu kasus dalam konteks ini adalah tentang kedudukan perempuan. Secara
tradisional kitab suci semacam Torah dan Injil mengajarkan pandangan bias
terhadap perempuan. Dalam perspektif Torah misalnya, rahmat (blessing) Tuhan
hanya diberikan kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Blessing ini dianggap
sudah baku, yang kemudian diperkuat teks-teks yang dihasilkan ortodoksi
keagamaan, pemimpin dan fungsionaris agama.
Dalam
masa sekarang bukan hanya teks ayat kitab suci yang perlu dipertimbangkan
kembali penafsirannya, tetapi juga mesti ditinjau ulang konteksnya—termasuk
sejarah munculnya perumusan doktrin tertentu oleh otoritas ortodoksi. Pemahaman
tentang blessing Tuhan hanya kepada laki-laki, tidak kepada perempuan adalah
interpretasi subyektif para penafsirnya.
Jelas,
sebelum kemunculan masa moderen dengan gagasan dan konsep tentang modernitas,
perempuan menduduki posisi marjinal dalam masyarakat Yahudi, Kristiani dan
bahkan juga Muslim. Tetapi dengan penyebaran modernitas, secara bertahap pandangan
lebih positif terhadap perempuan mulai bertumbuh.
Dalam
perspektif baru misalnya, perempuan dipandang memiliki kecenderungan
spiritualistik lebih kuat dan lebih dalam daripada laki-laki. Karena itu,
doktrin yang dihasilkan otoritas agama yang mendiskriminasikan perempuan dalam
hal ibadah perlu dipertimbangkan kembali.
Dalam
Islam misalnya ada fiqh yang menganjurkan perempuan untuk beribadah di rumah
daripada ke masjid. Dalam perspektif baru, beribadah bersama antara jamaah
laki-laki dan perempuan dapat memperkaya pengalaman spiritualitas. Hal ini
tidak harus bertentangan dengan ortodoksi keagamaan.
Perspektif
baru semacam ini memang bukan tanpa hambatan, khususnya dari otoritas ortodoksi
keagamaan. Terdapat kecenderungan kuat otoritas keagamaan manapun
mempertahankan penguasaan menyeluruh (totalitarianisme) terhadap pemahaman dan
praksis doktrin yang telah menjadi tradisi dan melekat dalam memori
penganutnya.
Karena
itu setiap upaya memberikan pemaknaan baru terhadap tradisi dan memori selaras
modernitas mengenai pengalaman historis keagamaan hampir selalu mendapat
resistansi dan penolakan otoritas ortodoksi. Penekanan kuat pada teks dan
konteks yang melibatkan hermeutika dalam menemukan perspektif baru mereka
pandang berujung pada penyimpangan yang akhirnya menggoyahkan kitab suci dan
bahkan agama itu sendiri.
Hasilnya,
pergulatan antara tradisi dan memori pada satu pihak dengan modernitas bakal
terus berlanjut. Namun dalam perjalanannya, kedua kubu ini juga dapat saling
mengakomodasi dalam batas tertentu, sehingga tradisi dan modernitas dapat eksis
berdampingan, walaupun bukan tanpa kecanggungan. []
REPUBLIKA,
12 November 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar