Menembus
Batas
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Di mana
batas akhir perjalanan manusia? Dari sisi kapasitas intelektualnya menurut
neurosains, capaian manusia saat ini belum seberapa. Potensi intelektual
rata-rata manusia belum sampai 5% yang digunakan.
Jadi,
kita yang hidup hari ini sulit membayangkan inovasi sains dan teknologi di masa
depan yang semua itu akan memengaruhi pola hidup manusia. Dengan ditemukannya
teknologi internet dan telepon seluler saja moda kerja, jejaring sosial, dan
metode belajar serta relasi sosial sudah berubah drastis, tak terbayangkan oleh
generasi orang tua yang lahir prakemerdekaan.
Pertanyaan
tentang batas akhir perjalanan manusia akan semakin sulit dipahami kalau
dialamatkan pada perjalanan rohani. Bagi orang yang beriman, kehidupan ini tak
akan berakhir dengan pisahnya roh dari badan wadak. Jika kita amati, terdapat
dua karakter yang melekat pada manusia, yaitu pertumbuhan dan pengembaraan.
Yang namanya hidup selalu bergerak, tidak statis.
Secara
fisik manusia terkena hukum pertumbuhan layaknya dunia flora. Namun secara
intelektual dan spiritual orang berharap agar semakin tambah usia seseorang
tumbuh menjadi semakin bijak dan bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi lingkungan.
Orang yang tidak produktif sungguh merugi dan menyia-nyiakan fasilitas umurnya.
Bagi
seorang sopir taksi, umur itu bagaikan argometer yang selalu bergerak. Jika
argometer berjalan, tetapi tidak mendapatkan penumpang, dia akan merugi karena
tidak mencapai target setoran. Dia telah mengeluarkan bahan bakar, waktu, dan
tenaga, tetapi tidak produktif. Demikianlah, sering kali tak disadari bahwa
kita telah terpenjara oleh kemalasan, kebodohan, dan kebutaan dalam membaca dan
memahami kehidupan.
Hidup
menjadi rutin dan tumpul. Dunia menjadi penjara yang menahan pertumbuhan dan
perjalanan lebih lanjut, menembus batasbatas yang kita ciptakan sendiri.
Meminjam bahasa Taufik Ismail, kita hidup dalam kotak, lalu sibuk membuat
kotak-kotak yang semakin kecil lagi sampai kita tidak bisa bergerak karena
terjepit oleh kotak terkecil yang kita ciptakan sendiri.
Alquran
mengingatkan, Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum kecuali mereka mengubah
terlebih dahulu mindset mereka. Mengubah jiwa dan mental mereka sendiri. Baik
secara individual maupun kelompok dan generasional, sejarah manusia selalu
memiliki agenda menembus batas. Dalam bahasa akademis disebut riset, terdiri atas
dua kata re dan search .
Mencari
dan mencari kembali agar batas pengalaman, pengetahuan, dankeilmuan senantiasa
melebar. Dan ini dilakukan sambung-menyambung dari generasi ke generasi untuk
memperluas dunia manusia. Ibarat ulat yang bergulat untuk bermetamorfosis
menjadi kupu-kupu agar bisa terbang menikmati indahnya taman yang luas.
Setiap
manusia dan masyarakat selalu dibatasi geraknya oleh garis perbatasan
(boundary), oleh batasan fisik, bahasa, dan tradisi. Teknologi internet telah
merobohkan tembok perbatasan ini. Masyarakat modern telah menciptakan benua
yang keenam, yaitu benua maya, dunia simbolik (virtual world) yang dihubungkan
oleh internet yang memfasilitasi warganya berkomunikasi dengan simbol kata dan
gambar.
Di dunia
yang baru ini komunikasi warganya tidak bisa dihalangi oleh sekat-sekat negara,
etnis, budaya, dan agama. Mereka bebas mengemukakan imajinasinya. Di dunia
virtual, orang bebas berbicara, berdiskusi, dan berdebat tanpa kehadiran fisik.
Ide dan gagasan apa pun mesti siap diuji, dipuji, dan dicaci sekalipun itu
merupakan pemikiran keagamaan.
Di dunia
virtual akan dijumpai ribuan agama dan kepercayaan. Orang pun bebas untuk
menerima atau menolaknya. Bagi mereka yang tak tahan dengan kritik dan cacian,
cara termudah tinggal klik, matikan internetnya atau TV-nya. Mau teriak pun
boleh di kamar sendiri asal tidak mengganggu orang lain atau tetangga.
Sedemikian
mudah dan bebasnya orang melakukan pengembaraan di dunia maya bagaikan
berselancar di lautan informasi tanpa hambatan. Kebebasan ini tentu tidak
semahal dan sesulit kalau kita hendak melihat-lihat negeri dan budaya orang
dari dekat dalam wujudnya yang nyata. Faktor kesehatan, kesempatan, dan
finansial mesti mendukung.
Esai ini
pun saya tulis di airport Istanbul, 7 November 2015 pukul 6 pagi, sambil
menunggu jadwal penerbangan ke Wina dalam rangka berwisata menembus batas
geografis untuk melihat dari dekat negara-negara Eropa Timur. Sejak berangkat
dari Jakarta saya sudah niatkan perjalanan ini merupakan wisata budaya
(cultural tour ) untuk melihat kota-kota tua di Eropa Timur yang tidak semegah
dan seglamor kalau kita jalan-jalan misalnya ke Paris, London, New York,
Frankfurt, Tokyo.
Namun
kota-kota bekas rezim sosialis ini menyimpan monumen sejarah peradaban manusia
yang amat berharga untuk diapresiasi, merekam inovasi dan eksperimentasi
politik dan budaya yang telah memperkaya khazanah peradaban dunia. Menurut
Alquran, semesta dan sejarah manusia merupakan ayat-ayat Tuhan yang mesti
dibaca dan dipahami. []
KORAN
SINDO, 13 November 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar