Rabu, 05 Agustus 2020

Helmy Faishal Zaini: Idul Kurban di Tengah Pandemi Covid-19

Idul Kurban di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh: A Helmy Faishal Zaini

 

Sejarah tentang syariat berkurban adalah sejarah tentang drama yang luar biasa antara Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail.  Cerita tentang ketiganya kemu- dian menjadi sebuah landasan teologis atas ajaran berkurban dalam agama Islam.

 

Cerita tersebut terekam dalam Al Quran surat As-Shaffat ayat 100-106: ”Ya Tuhanku, anugerahilah aku anak yang saleh. Kemudian Kami berikan kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang penyantun. Setelah anak itu dapat melakukan usaha bersamanya, Ibrahim berkata kepadanya, ’Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi dalam tidurku bahwa aku menyembelih engkau. Maka pertimbangkanlah bagaimana pendapatmu?’” Sang anak menjawab, ”Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan itu. Niscaya ayah akan mengetahui bahwa diriku termasuk orang-orang yang sabar, insya Allah”.

 

Maka ketika keduanya telah mematuhi perintah Allah dan pipi sang anak sudah ditempelkan di atas tanah, maka Kami berseru kepadanya: ”Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah mematuhi perintah berdasarkan mimpi itu!” Dan sesungguhnya dengan cara seperti itulah Kami membalas orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya peristiwa ini adalah suatu ujian yang nyata!”

 

Ayat tersebut secara gamblang melukiskan bagaimana dialog yang terjadi antara Ibrahim dan putra tercintanya, Ismail, tentang perintah berkurban. Salah satu dialog yang sangat menyentuh hati sekaligus pada saat yang bersamaan dapat menggetarkan iman.

 

Ajaran pengorbanan

 

Ajaran kurban sejatinya adalah sebuah ajaran tentang pengorbanan, keikhlasan, kesabaran, dan juga kemanusiaan. Ketiga nilai ajaran tersebut secara simbolik-metaforik dilukiskan melalui dialog yang melibatkan tiga manusia pilihan.

 

Ketiganya, yakni Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail harus menjalani fase kehidupan yang sangat berat. Cinta ketiganya diuji oleh Allah SWT. Sukacita dan rasa bahagia setelah dikaruniai seorang putra yang telah dinanti sekian lama harus diuji sebab Allah menginginkan sang anak yang bernama Ismail itu disembelih dan dijadikan kurban.

 

Dalam konteks ini, kurban adalah medium untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kurban merupakan salah satu media yang paling efektif untuk mengesampingkan egoisme sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Egoisme adalah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya jika tidak dieliminasi. Sebab ia akan menggerogoti kesalehan sosial yang merupakan salah satu pilar kesalehan yang harus dijaga oleh seorang Muslim.

 

Saya sependapat dengan KH A Mustofa Bisri yang berpendapat seyogianya manusia harus menyeimbangkan kesalehan ritual dengan kesalehan sosialnya dalam menjalani kehidupan ini. Kesalehan memiliki dimensi vertikal yang menyambungkan hamba dengan Tuhannya dan berkaitan langsung dengan ritual mahdah (murni) seperti salat dan puasa. Sementara, kesalehan sosial memiliki dimensi horizontal yang berdampak langsung kepada kehidupan sosial.

 

Muslim yang ideal adalah Muslim yang mampu menyelaraskan ibadah-ibadah ritual yang bersifat vertikal dengan ibadah sosialnya yang berdimensi horizontal. Al Quran jelas sekali menyinggung keseimbangan dua aspek ini: ritual dan sosial. Sebagai contoh kita dapat menjumpai ayat Al Quran yang mengatakan: ”dirikanlah shalat, dan bayarlah zakat”. Perintah tersebut memiliki muatan yang sangat jelas, yakni pesan untuk menjaga keseimbangan dalam beribadah vertikal berupa salat dan ibadah horizontal berupa zakat.Ali Al-jurjawi dalam Hikmatus Tasyri Wafalsafutuh menggarisbawahi latar belakang pensyariatan ajaran-ajaran Islam, termasuk di dalamnya adalah hikmah disyariatkannya berkurban. Setidaknya ada dua hikmah yang diungkapkan oleh Ali Al-Jurjawi soal disyariatkannya ajaran kurban.

 

Pertama, Idharu tamamit tha’ah lil Khaliq atau menampakkan sempurnanya ketaatan Sang Pencipta. Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dengan mengorbankan anak yang dicintainya (Nabi Ismail) adalah perwujudan totalitas ketaatan kepada Allah SWT.

 

Kedua, al-qiyam bis syukri ala ni’matil fida’ atau sebagai sebuah bentuk pernyataan dan ungkapan syukur dan sekaligus penebusan kepada Allah atas segala kenikmatan sehingga bisa berbagi kepada sesama.

 

Mengapa bersyukur sekaligus menebus? Sebab, andai saja Nabi Ismail benar disembelih, tanpa diganti domba oleh Allah SWT, lalu bagaimana nasib manusia setelahnya? Allah memerintahkan Jibril AS untuk mengganti Ismail dengan seekor kambing dengan hikmah agar kita menyembelih unsur hewani di dalam diri kita.

 

Kepedulian sosial

 

Dalam sebuah hadis dikatakan, khairunnasi anfauhum linnas. Sebaiknya-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat untuk sesamanya. Dalam bahasa Ibnu Arabi, yang bermanfaat bagi sesamanya itulah yang disebut dengan cinta. Cinta dalam hemat saya selalu berparadigma give and give.

 

Selalu memberi dan memberi. Selalu semangat untuk berbagi dan berbagi. Dalam cinta tak ada paradigma take and give. Paradigma yang terakhir disebut hanya berlaku dalam perniagaan dan perdagangan. Cinta tidak diperdagangkan. Ia hanya mengenal berbagi. Inilah esensi cinta.

 

Di sisi lain, penting untuk kita renungkan bahwa di tengah situasi pandemi seperti saat ini, ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Salah satunya, kita bisa menjadikan momentum karantina ini sebagai wahana untuk menyemaikan spirit dan konsep baity jannaty, yakni konsep rumah sebagai sebuah surga yang manifes dalam kehidupan nyata.

 

Kita bisa membangun tatanan masyarakat yang baik, juga mewujudkan semangat kohesi sosial yang luas dengan jalan paling sederhana, yakni memulai membangun tatanan kehidupan yang kohesif di mulai dari diri kita pribadi dan juga keluarga kita. Tentu saja, masyarakat yang baik, bangsa yang kokoh bisa terwujud dari tiang-tiang kecil keluarga yang kokoh dan kohesif.

 

Pentingnya ajaran berbagi kepada sesama terlukis di dalam banyak firman Allah SWT, antara lain sebagaimana yang tercantum dalam surat An-Nisa Ayat 114: ”La khaira fi katsirin min najwahum illa man amara bishadaqatin au ma’rufin au ishlahin bainnasi.”

 

Ayat di atas jika diterjemahkan secara bebas berarti, tiada guna orang beragama jika ia tidak melakukan, pertama, gerakan filantropi berupa sedekah, kedua, terus-menerus berbuat baik, dan terakhir, melakukan upaya-upaya transformatif menuju perdamaian antar sesama. Jika kita cermati lebih dalam, dalam surat An-Nisa 114 di atas, perintah untuk sedekah ditaruh pada posisi pertama. Ini merupakan sebuah bukti nyata bahwa betapa anjuran dan ajaran untuk bersedekah itu sangat penting kedudukannya dalam agama Islam.

 

Islam sangat menjunjung tinggi spirit filantropisme. Spirit untuk saling berbagi satu dengan yang lain.  Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Hurairah, Rasulullah Muhammad SAW pada suatu ketika bersabda ”Sesungguhnya harta tidak akan berkurang karena disedekahkan.”

 

Dalam memaknai hadis ini, pakar tafsir, Syaikh Ali Ash-Shabuni (2000) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan garansi tidak akan berkurangnya harta yang disedekahkan adalah Allah SWT akan senantiasa mengembangkan serta membersihkan harta seorang yang telah bersedia untuk bersedekah.

 

Walhasil, Idul Adha harus kita manfaatkan untuk meningkatkan kepekaan, rasa peduli, dan juga memperbaiki ikatan-ikatan sosial, terutama pada masa-masa sulit ketika wabah melanda seperti saat ini. Semoga bangsa kita diberi kekuatan sehingga kita semua dapat keluar dari wabah ini dengan selamat. Wallahu a’lam bis showab. []

 

KOMPAS, 30 Juli 2020

A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar