Bintik-Bintik Hitam dalam Sejarah Modern Indonesia (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saya menolak keras pendapat tentang gagasan sejarah suci (sacred history/al-târîkh al-muqaddas). Juga saya tidak pernah percaya tentang konsep takhta suci. Sebaliknya yang terjadi adalah takhta berlumur darah, termasuk yang berlaku dalam sejarah Muslim, bahkan sampai hari ini. Bagi saya, jika ada pendapat yang mengatakan ada sejarah atau takhta yang suci, itu tidak lain dari tipuan yang direkayasa penguasa untuk membunuh akal sehat manusia . Tidak pernah ada sejarah manusia itu tanpa cacat. Bahkan dalam sejarah kenabian pun pasti ada bintik-bintik hitamnya, tetapi tidak besar karena lebih banyak dikawal wahyu. Kita kutip salah satu contoh di bawah ini.
Nabi Yunus yang ditelan ikan Nun adalah salah satu bentuk bintik hitam itu, karena marah lalu meninggalkan kaumnya yang selalu saja membangkang dan keras kepala. Kisah nabi Yunus ini sungguh dramatis. Dia hengkang dari kaumnya tanpa seizin Tuhan. Hengkang ini adalah salah satu bentuk bintik hitam itu. Tetapi nabi Yunus kemudian taubat dan keluarlah dia dari perut ikan dalam keadaan lemah dan sakit untuk kembali kepada kaumnya. Ini bunyi kalimat penyesalan nabi Yunus itu: “Lâ ilâha illâ anta subhânaka innî kuntu min al-zhâlimîn”/Tiada Tuhan kecuali Engkau, maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim.” (Lihat Alquran surat al-Anbiyâ’: 87).
Pengakuan nabi Yunus yang menilai dirinya sebagai golongan yang zalim adalah sebuah kejujujuran. Kejujuran ini sangat dihargai Tuhan. Melalui proses yang sangat melelahkan, nabi Yunus kemudian berhasil kembali memimpin kaumnya yang telah berubah menjadi manusia baik. Drama nabi Yunus ini dilukislan Alquran sebagai berikut: “Maka kalau bukanlah dia sesungguhnya seorang di antara orang yang bertasbih. Nscaya dia akan tinggal dalam perut ikan itu sampai hari manusia dibangkitkan.” (Lihat Alquran surat al-Shaffât ayat 143-144). Kenapa umur ikan menjadi lama sekali? Bagamaina menafsirkan ayat ini?
Hamka menjelaskan begini: “Inilah kata-kata yang halus sebagai ganti kata ‘mati’. Sebab ikan itu sendiri pun tentu tidak akan hidup sampai hari kiamat. Lantaran itu maka badannya [Yunus] akan cair dalam perut ikan itu.” (Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XXIII. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hlm. 165). Alquran tidak menjelaskan berapa lama nabi Yunus terkurung dalam perut ikan itu.
Tentu tidak lama, sebab nabi Yunus masih bernafas sampai terlempar keluar. Cukup berani tafsiran metafor Hamka ini yang belum tentu kita temukan dalam tafsir-tafsir yang lain. Mufassir Hasanaian Muhammad Makhlûf dalam Shafwatu al-Bayân lima’ânî al-Qur’ân (al-Kuwait: Wizâratu al-Auqâf wa al-Syuûni al-Islâmiyyah, 1987, hlm. 572-573) malah tidak menjelaskan tafsiran ayat 144 ini.
Artikel ini sesungguhnya ingin berbicara tentang bintik-bintik hitam dalam sejarah modern Indonesia dengan lebih dulu menegaskan bahwa tidak ada sejarah atau takhta yang suci. Bahkan dalam sejarah kenabian ada saja bintik-bintik hitam itu. Apalagi dalam perjalanan sejarah Indonesia yang memang bukan sejarah kenabian, pastilah ada peristiwa yang berlangsung di luar nalar yang patut dan tidak jarang membawa korban.
Lalu bagamaina? Karena sejarah itu mengandung ajaran moral, maka diharapkan mereka yang datang kemudian mau belajar untuk mengurangi jika bukan meniadakan bintik-bintik hitam itu, sekalipun yang demikian itu mustahil, karena pelakunya adalah manusia yang secara moral sering tidak stabil.
Berikut ini saya rekamkan kembali contoh-contoh bintik hitam dalam sejarah modern Indonesia sejak praproklamasi sampai dengan kejadian-kejadian tragis yang belum terlalu lama. Sebagian masih terngiang dalam ingatan kolektif kita. Kejadian itu sempat memicu ketegangan antara pihak-pihak yang berbeda pandangan dalam menilai situasi.
Seri artikel ini ditulis menjelang usia ke-75 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan maksud agar di masa yang akan datang elite bangsa ini jangan lagi banyak bikin ulah. Rakyat sudah terlalu lama menanggung beban para elite yang salah jalan.
Pertama, drama Rengasdengklok. Ini terjadi pada 16 Agustus 1945 dengan cara menculik Bung Karno dan Bung Hatta oleh sekelompok pemuda Sukarni dan teman-temannya. Mereka menilai Bung Karno dan Bung Hatta tidak cukup revolusioner untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, lepas dari pengaruh Jepang yang memang sudah menyerah kepada sekutu.
Karena tidak terdapat titik temu antara kedua belah pihak, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta memenuhi keinginan para pemuda itu, demi kata mereka untuk menjaga keamanan kedua tokoh itu. Menurut mereka revolusi pemuda akan meledak melawan pasukan Jepang di Jakarta. []
REPUBLIKA, 21 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar