Selasa, 02 Januari 2018

Zuhairi: Sikap Arab Saudi terhadap Palestina



Sikap Arab Saudi terhadap Palestina
Oleh: Zuhairi Misrawi

Di tengah hiruk pikuk kecaman dan protes terhadap Amerika Serikat dan Israel terkait kebijakan pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, muncul pertanyaan: Bagaimana sikap Arab Saudi? Kenapa tidak ada sikap keras dan tegas mengecam kebijakan Trump?

Setiap hari, saya selalu membaca media-media terkemuka Timur-Tengah, seperti al-Syarq al-Awsath dan al-Hayat, yang notabene dimiliki oleh Arab Saudi. Saat isu kebijakan Trump soal ibu kota Israel mencuat dan dunia merespons dengan serius, rupanya media-media tersebut adem-ayem. Tidak ada hiruk-pikuk dan protes keras terkait kebijakan Trump.

Tidak ada angin dan tidak ada hujan, media-media Arab Saudi justru getol mengecam Iran sebagai biang keladi konflik politik di Timur-Tengah. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi di Timur-Tengah pasca-kebijakan kontroversial Trump. Padahal semua tahu, justru masalah utama di Timur-Tengah adalah Israel yang telah mencaplok wilayah Palestina. Disokong oleh Amerika Serikat, Israel telah menjadikan Timur-Tengah tercabik-cabik, tanpa masa depan.

Banyak pihak yang bertanya, bahkan menyoal sikap Arab Saudi tersebut. Sebagai salah satu negara yang mempunyai pengaruh di Timur-Tengah, bahkan di dunia Islam dalam kapasitasnya sebagai pelayan dua kota suci (khadim al-haramayn), sikap Arab Saudi terhadap kebijakan Donald Trump sangat ditunggu-tunggu publik.

Hingga tulisan ini dibuat, nyatanya tidak ada kecaman keras terhadap kebijakan Donald Trump. Bahkan, di media massa muncul rumor yang menyebutkan Arab Saudi justru terlibat secara tidak langsung dalam proses perbincangan perihal perdamaian Israel-Palestina versi Amerika Serikat dan Israel.

Arab Saudi dikabarkan telah menyetujui sebuah kawasan di luar Yerusalem Timur, yang dikenal dengan Abu Dis. Konon, Amerika Serikat dan Israel sudah menyetujui wilayah tersebut sebagai bagian dari klausul solusi dua negara. Arab Saudi ditugaskan untuk melobi pihak Palestina agar menerima keputusan tersebut.

Hingga saat ini belum ada konfirmasi resmi dari pihak Arab Saudi perihal solusi tersebut. Namun, jika itu benar-benar terjadi, maka Arab Saudi telah mengambil jalur sendiri di luar negara-negara OKI yang saat ini sedang berjuang untuk menolak kebijakan Trump dan menyodorkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina saat merdeka nanti.

Yang patut disesalkan adalah tidak adanya kecaman Arab Saudi terhadap Amerika Serikat dan Israel. Bahkan, warga Arab Saudi dibungkam untuk tidak melakukan protes. Padahal protes dan demonstrasi di dunia Islam meluas dan massif, menentang keras kebijakan Trump dan penjajahan Israel terhadap Palestina. Salah satunya adalah demonstrasi Indonesia Bersatu Mendukung Palestina di Monumen Nasional, Jakarta sebagai salah satu demonstrasi terbesar di dunia pasca-kebijakan kontroversial Trump.

Yerusalem merupakan kawasan suci bagi agama-agama samawi, yang selama ini disepakati sebagai kawasan status quo. Israel tidak boleh memonopoli kekuasaannya di Yerusalem. Apa yang dilakukan oleh Trump merupakan sebuah penjajahan dan pelanggaran terhadap hukum internasional.

Namun sekali lagi, Arab Saudi tidak melontarkan kecaman terhadap Amerika Serikat dan Israel. Bahkan dalam sidang darurat OKI di Turki yang membahas perihal kebijakan Trump tersebut, Raja Salman atau Putera Mahkota Muhammad bin Salman tidak hadir, sebagaimana negara-negara Islam lainnya yang dihadiri langsung oleh para pemimpin negaranya. Arab Saudi hanya mengirimkan Menteri Luar Negeri.

Semua pihak menafsirkan ketidakhadiran Raja atau Putera Mahkota dalam KTT OKI di Turki secara implisit merupakan sikap politik dari Arab Saudi terhadap kebijakan Trump dan Israel.

Madawi Rasheed dalam wawancara di sebuah stasiun televisi menyatakan bahwa sikap lunak Arab Saudi terhadap Amerika Serikat dan Israel dapat ditelusuri dari sejarah masa lampau setelah Deklarasi Balfour pada 1917.

Dalam sebuh dokumen resmi ditemukan surat menyurat antara Raja Abdul Aziz dengan pemerintah Inggris pada tahun 30-an, bahwa Raja Arab Saudi tidak akan pernah menentang sikap Inggris yang memberikan kedaulatan kepada Israel untuk mendirikan sebuah negara di kawasan Palestina. Bahkan, sikap Raja Abdul Aziz tersebut disahkan dalam sebuah fatwa keagamaan yang merupakan sikap resmi kerajaan pada tahun 90-an bahwa diperkenankan berdamai dengan Israel.

Maka dari itu, menurut Rasheed, tidak ada yang aneh jika melihat sikap Arab Saudi saat ini terkait dengan kebijakan Trump dan penjajahan Israel di Tanah Palestina. Sikap Arab Saudi yang cenderung lunak dan halus terhadap isu-isu Palestina dapat dilacak dari sejarah yang panjang. Apalagi kedaulatan dan kemerdekaan Arab Saudi merupakan "hadiah" dari Inggris.

Dalam konteks geopolitik Timur-Tengah saat ini pun, sikap Arab Saudi yang cenderung melunak dapat dimaklumi terkait dengan kesamaan musuh yang dihadapi oleh Amerika Serikat dan Israel. Ketiga negara tersebut mempunyai musuh yang sama, yaitu Iran. Karenanya, di media-media Arab Saudi selalu muncul kecaman terhadap Iran.

Walhasil, publik Arab Saudi pun menganggap Iran sebagai musuh utama. Sebaliknya, hanya sebagian kecil yang menganggap Israel sebagai musuh utama. Shimon Shapira, jenderal purnawirawan Israel menyatakan, we discoverd we have the same problems and same challenges and some of the same answers. Artinya, Iran adalah musuh bersama Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Israel.

Sikap Arab Saudi yang seperti ini tentu semakin menyulitkan perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina. Karena, sikap Trump yang menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel merupakan hambatan serius bagi perundingan proses perdamaian antara Israel-Palestina, yang pada akhirnya akan menjadi batu sandungan bagi terwujudnya kemerdekaan Palestina.

Idealnya, seluruh dunia Arab dan dunia Islam bersama-sama saling bahu-membahu mendukung Palestina tanpa reserve dan menanggalkan kepentingan politik masing-masing. Bagaimanapun, kemerdekaan Palestina merupakan beban sejarah yang harus ditunaikan.

Kini, semua jalan menuju kemerdekaan Palestina semakin sulit. Pada momen-momen seperti ini sejatinya Arab Saudi menunjukkan komitmennya terhadap Palestina dengan menolak keras kebijakan Trump dan penjajahan Israel terhadap Palestina. []

DETIK, 21 Desember 2017
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar