Jalur Etika dan Hukum
Oleh: Moh Mahfud MD
Melalui media dan rubrik ini saya sudah pernah menulis tentang
jalur penyelesaian kasus pelanggaran etika dan hukum serta makna asas praduga
tak bersalah yang sering kali disalahartikan.
Setelah mencuatnya kasus perpanjangan kontrak Freeport, masalah
tersebut menjadi bahan perdebatan lagi yang isinya cenderung keliru atau
dikelirukan. Misalnya, ada yang mengatakan, proses dugaan pelanggaran hukum
oleh Setya Novanto harus menunggu keputusan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) di
DPR. Ada juga usul agar Menteri ESDM Sudirman Said diproses secara hukum karena
telah melanggar UU. Tapi ada yang mengatakan, Sudirman baru bisa diproses hukum
jika ”peradilan” etika atas Novanto atau atas dirinya sudah diputus oleh Dewan
Etik atau Majelis Kehormatan.
Haruslah dipahami, jalur peradilan etika dan peradilan pidana tak
saling bergantung. Keduanya bisa dilakukan secara simultan. Pelanggaran etika
yang berhimpit dengan pelanggaran pidana tidak harus diselesaikan salah satunya
lebih dulu melainkan bisa diproses secara bersamaan. Sebab produk vonisnya
berbeda. Produk terburuk vonis peradilan etika dan peradilan disiplin adalah
pemberhentian tidak dengan hormat, sedangkan produk vonis peradilan pidana
adalah hukuman pidana seperti penjara, denda, hukuman mati, dan pencabutan
hak-hak tertentu.
Ketentuan ini berlaku bagi semua profesi, bukan hanya pada
politisi. Untuk pejabat negara dan pegawai negeri hal ini berlaku berdasar
Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 dan No VIII/MPR/2001. Kalau pejabat negara dan
pegawai negeri melakukan pelanggaran etika dan disiplin, maka bisa ditindak
secara administratif lebih dulu tanpa harus menunggu vonis pengadilan. Bisa
juga dijatuhi mereka hukuman pidana sebelum dijatuhi sanksi administratif atau
etik.
Dalam kasus Freeport, Novanto dan Sudirman oleh publik dinilai
patut diduga melakukan pelanggaran etika dan hukum yang tak perlu saling
digantungkan. Keduanya bisa diadili melalui pengadilan etik dan pengadilan
pidana secara simultan, ”tanpa harus” menunggu selesai salah satunya.
Sudirman diduga melakukan pelanggaran hukum karena membuat izin
ekspor konsentrat yang jelas-jelas dilarang oleh UU No 4 Tahun 2009. Sementara
Novanto diduga melakukan pelanggaran hukum karena menegosiasikan perpanjangan
kontrak Freeport sambil meminta bagian saham dan fasilitas lain.
Menurut UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, seperti diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 butir a, pegawai negeri
atau penyelenggara negara diancam dengan hukuman penjara atau denda yang
lumayan berat apabila menerima hadiah atau janji untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya atau patut diduga
begitu. Menjanjikan sesuatu (ikut mengurus perpanjangan kontrak) sambil
mengusulkan pembagian saham atau fasilitas lain adalah melanggar ketentuan UU
No 20 Tahun 2001 tersebut.
Hal yang sama bisa dikenakan Sudirman Said karena dengan
jabatannya, melalui surat resmi tertanggal 7 Oktober 2015, dia menjanjikan,
bahkan menjamin, perpanjangan kontrak dengan Freeport begitu peraturan
perundang-undangan selesai direvisi. Seharusnya Sudirman tidak memberi jaminan
seperti itu, melainkan cukup menyatakan akan mempertimbangkan kembali jika
hasil revisi peraturan perundang-undangan memungkinkan untuk itu. Isi surat itu
memberi kesan, peraturan perundang-undangan akan diubah agar bisa langsung
memperpanjang kontrak Freeport.
Dalam hal memberi janji perpanjangan otomatis yang digantungkan
pada rencana diubahnya peraturan perundang-undangan itu Sudirman patut diduga
telah melakukan pelanggaran yang berhimpit yakni pelanggaran hukum (menggunakan
kewenangan untuk mengubah peraturan perundang-undangan untuk bisa memperpanjang
kontrak Freeport) dan pelanggaran etika (karena memihak Freeport dengan nada
memberi jaminan perpanjangan).
Adapun Novanto diduga kuat melakukan pelanggaran etika karena
menegosiasi masalah kontrak Freeport, menyerobot tugas pihak eksekutif. Alasan
bahwa hal itu dilakukan demi rakyat Papua tetaplah tak bisa diterima, sebab
kalau nego-nego seperti itu bisa dia lakukan, maka Ketua MA, Ketua DPD, Ketua
BPK, Ketua MK, Ketua MPR bisa juga melakukannya. Padahal secara etika hal itu
salah.
Harap dimengerti, jika ada orang menganalisis dan berkesimpulan
bahwa Sudirman dan Novanto telah melanggar etika dan hukum, janganlah dicap
melanggar asas praduga tak bersalah. Asas praduga tak bersalah bukanlah asas
yang melarang orang untuk menganalisis, beropini, bahkan berkesimpulan bahwa
seseorang berdasar fakta lapangan telah bersalah. Orang diproses secara hukum
pun, menurut hukum, harus didahului dugaan dan kemudian sangkaan.
Jadi sebenarnya, menduga orang bersalah itu bukan hanya boleh
melainkan ”harus”. Tak mungkin ada proses hukum tanpa diduga lebih dulu tentang
kesalahannya. Asas praduga tak bersalah hanya berarti seseorang tak boleh
diperlakukan sebagai orang yang ”seolah-olah” sudah divonis bersalah secara
inkracht oleh pengadilan, padahal belum divonis. Misalnya, belum boleh dipecat,
belum boleh disebut terpidana, hartanya belum boleh dilelang, belum harus
ditahan, dan sebagainya. Kalau hanya menganalisis dan beropini berdasar fakta
umum bahwa seseorang itu bersalah maka hal itu bukan melanggar asas praduga tak
bersalah. Itu boleh saja dan selalu terjadi di mana-mana di seluruh dunia.
Tapi, tentu saja Novanto dan Sudirman mempunyai hak penuh untuk membela
diri agar nantinya tidak sampai benar-benar dinyatakan bersalah oleh putusan
pengadilan maupun oleh Dewan Etik. Itu juga adalah hak konstitusional keduanya.
[]
KORAN SINDO, 28 November 2015
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar