Selasa, 15 Desember 2015

Musdah: Potret Kebebasan Beragama di Indonesia



Potret Kebebasan Beragama di Indonesia
Oleh: Musdah Mulia

CAPAIAN paling monumental dalam perlindungan kebebasan beragama selama masa reformasi di Indonesia ialah UU No 39/1999 tentang HAM. Pasal 22 dari UU tersebut memperkuat kembali jaminan kebebasan beragama seperti tertera dalam UUD 1945 Pasal 29. Jaminan bahwa setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Progres lain terjadi di masa Presiden Abdurrahman Wahid, agama Konghucu diakui agama sehingga para penganutnya mendapatkan pelayanan dan perlindungan secara resmi dari negara. Kemudian Presiden Megawati mengakui Imlek sebagai hari besar keagamaan. Sejak itu kita mengenal enam agama ‘resmi’. Sebelumnya, masa Orde Baru hanya mengenal lima agama ‘resmi’. Sepatutnya, negara tidak perlu mendeklarasikan agama mana yang dianggap ‘resmi’. Tugas negara ialah menjamin kebebasan beragama semua warga tanpa diskriminasi sedikit pun.

Sepuluh tahun masa pemerintahan SBY ialah masa stagnasi kebebasan beragama, tidak tercatat prestasi apa pun dalam hal pemajuan dan perlindungan kebebasan beragama. Itulah sebabnya, pasangan Jokowi-Kalla dalam kampanye pilpres lalu mendapatkan dukungan publik yang luar biasa ketika menyebut merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa sebagai salah satu dari tiga problem pokok bangsa yang harus segera diselesaikan. Jokowi sangat tegas menjanjikan perlunya negara hadir dalam setiap konflik keagamaan dan pentingnya perlindungan kebebasan beragama bagi setiap warga negara.

Namun, setelah setahun lebih pemerintahan Jokowi, belum satu pun kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama yang mendapatkan perhatian, apalagi penyelesaian tuntas. Sebut saja sejumlah kasus yang masih menggantung, antara lain seperti pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram, pengungsi Syiah di Sampang, dan Gereja Yasmin di Bogor.

Konsep kebebasan beragama

Berbagai dokumen internasional tentang HAM menyebut hak kebebasan beragama sebagai bagian dari basic human rights, yakni hak asasi manusia yang sangat mendasar sebagai makhluk bermartabat (dignity). Hak itu dinilai amat perlu dan mendapatkan prioritas di dalam hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Indonesia sebagai negara pihak yang menandatangani Deklarasi Universal HAM mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk melaksanakan kewajiban memenuhi hak kebebasan beragama dan hak-hak lain yang tercantum di dalam piagam PBB tersebut. UUD 1945, terutama setelah diamendemen, secara tegas pula mencantumkan hak kebebasan beragama. Artinya, kebebasan beragama telah menjadi hak konstitusional dari setiap warga negara Indonesia.

Lebih lanjut UUD No 39/1999 tentang HAM juga menyatakan hal yang sama dan bahkan di dalam penjelasannya disebutkan secara tegas dan jelas bahwa hak itu dijamin tanpa adanya paksaan dari siapa pun juga.

Untuk konteks Indonesia, jaminan kebebasan beragama terlihat jelas pada sejumlah kebijakan berikut. UUD 1945 Pasal 28 E, Pasal 29 (ayat 2), UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik, Pasal 18 (ayat 1), UU No 39/1999 tentang HAM, Pasal 22 (ayat 1).

Tentu saja hak kebebasan beragama setiap warga tidaklah bersifat mutlak, bukan hak tanpa batas. Hak kebebasan beragama tetap harus dibatasi kewajiban dan tanggung jawab seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, apa pun agamanya. Hak itu pun dapat dibatasi oleh negara.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pemerintah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan-pembatasan dalam kehidupan keagamaan. Akan tetapi, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan dengan UU, serta alasan yang digunakan ialah semata untuk perlindungan terhadap semua warga negara tanpa kecuali.

Dengan demikian, tujuan utama pembatasan itu ialah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan atas kehidupan, integritas, kesehatan warga negara atau kepemilikan mereka. Pembatasan itu semata-mata dimaksudkan untuk melindungi keselamatan masyarakat, bukan untuk mengurangi, apalagi membelenggu kebebasan masyarakat dalam menjalankan ajaran agama.

Muncul pertanyaan, elemen-elemen apa saja yang dapat dimuat di dalam pengaturan pembatasan tersebut? Pembatasan dimaksud sebagaimana terbaca dalam Pasal 18, ayat (3) mencakup lima hal. Pertama, pembatasan untuk melindungi keselamatan masyarakat. Kedua, pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftarkan badan hukum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan izin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadat yang diperuntukkan umum.

Ketiga, pembatasan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Pembatasan yang diizinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya.

Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, misalnya pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota penerima askes guna mencegah penularan suatu penyakit tertentu, seperti Tb. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang transfusi darah, melarang penggunaan helm pelindung kepala dan seterusnya.

Keempat, pembatasan untuk melindungi moral masyarakat. Pembatasan dapat dilakukan pemerintah, bahkan untuk binatang tertentu yang dilindungi UU agar tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.Kelima, pembatasan untuk melindungi hak kebebasan orang lain.

Kebinekaan agama di Indonesia

Slogan Bhinneka Tunggal Ika ialah ikon kebanggaan Indonesia. Bangsa ini sadar betul bahwa kebinekaan adalah fakta sosiologis yang sulit dimungkiri. Kebinekaan bangsa Indonesia terlihat nyata dalam ras, etnik, agama, kepercayaan, warna kulit, bahasa, dan tradisi.Semua bentuk kebinekaan itu menjadi modal sosial yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebinekaan agama dan kepercayaan sangat mudah dijumpai di masyarakat. Masyarakat terdiri dari penganut agama Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu, Baha'i, Tao, Sikh, Yahudi, Kristen Ortodoks, dan penganut agama-agama perenial (tidak punya bentuk formal). Bahkan ada juga yang mengaku tidak beragama. Selain itu, dikenal ratusan kepercayaan lokal (indigenous religions), seperti Parmalim di Sumatra Utara, Kaharingan di Kalimantan, Sapto Darmo di Jawa Tengah, Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, dan Tolotang di Sulawesi Selatan. Jumlah mereka diprediksikan lebih dari 10 juta jiwa.

Bukan hanya itu, dalam satu agama terdapat pula beragam sekte dan aliran. Dalam Islam, misalnya, dikenal kelompok Sunni dan Syiah. Sunni sendiri terbagi dalam banyak mazhab, demikian halnya Syiah. Di luar itu ada lagi kelompok-kelompok lain, seperti Ahmadiyah, hadir dan berkembang di Tanah Air sejak 1920. Kebinekaan serupa juga ditemukan dalam Konghucu, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan lainnya.

Mengapa itu terjadi? Bicara tentang agama hakikatnya ialah bicara tentang interpretasi agama, dan faktanya tidak ada interpretasi tunggal dalam agama dan kepercayaan mana pun. Sepanjang interpretasi agama tidak membawa kepada pemutlakan agama dan kepercayaan tertentu, tindak kekerasan, dan pemaksaan terhadap kelompok lain yang berbeda, lalu apa yang salah? Kebinekaan agama merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, apalagi diingkari. Yang penting ialah setiap warga menjaga agar tidak melakukan hal-hal yang dapat mengganggu dan mencederai sesama warga bangsa, tidak memaksakan agama pada orang lain, tidak melakukan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap orang lain.

Sayangnya, data tentang fakta kebinekaan agama tersebut tak muncul dalam dokumen resmi negara, tetapi hanya ditemukan dalam laporan sejumlah LSM, seperti ICRP, Setara Institute, Wahid Institute, dan sejumlah dokumen organisasi lain yang menekuni isu penegakan HAM. Hal itu disebabkan negara tak sungguh-sungguh mengelola kehidupan umat beragama dengan secara demokratis yang menjamin kebebasan beragama bagi semua warga sesuai landasan Pancasila dan konstitusi, serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Hambatan struktural

Upaya pemenuhan dan penegakan hak kebebasan beragama menghadapi berbagai hambatan, baik bersifat struktural maupun kultural. Hambatan struktural berupa kebijakan dan UU di tingkat nasional, regional dan lokal yang diskriminatif dan jauh dari nilai-nilai konstitusional.

Pertama, UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Kebijakan itu jelas menunjukkan pembatasan kebebasan Upaya pemenuhan dan penegakan hak kebebasan beragama menghadapi berbagai hambatan, baik bersifat struktural maupun kultural. Hambatan struktural berupa kebijakan dan UU di tingkat nasional, regional dan lokal yang diskriminatif dan jauh dari nilai-nilai konstitusional.

Pertama, UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Kebijakan itu jelas menunjukkan pembatasan kebebasan beragama dengan melarang munculnya interpretasi lain yang berbeda dengan pokok-pokok ajaran suatu agama. Sebab, pokok-pokok ajaran agama pun bisa sangat multitafsir tergantung siapa penafsirnya.

Dalam implementasinya, pemerintah menjadikan kebijakan ini untuk mengekang berbagai interpretasi dan penafsiran agama yang berbeda dengan pandangan mainstream. Akibatnya, sejumlah kelompok keagamaan dipidanakan, seperti penganut Ahmadiyah, pengikut Lia Eden, dan penganut Syiah.

Kedua, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan agama yang diakui pemerintah yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Sejak itu, lekatlah istilah agama ‘resmi’ atau ‘diakui’ dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu saja pengakuan ini berdampak pada pengabaian hakhak kebebasan beragama penganut agama lain di luar agama yang diakui ‘resmi’ tersebut.

Ketiga, Tap MPR No II/MPR/1998 tentang GBHN. Kebijakan ini sangat diskriminatif terhadap penganut agamaagama lokal (indigenous religions). Mereka diminta untuk kembali ke agama induk, padahal menurut mereka agama merekalah yang pantas disebut sebagai induk. Sebab, bagi mereka keenam agama yang dinyatakan ‘resmi’ tiada lain hanyalah agama impor, yang datang ke Indonesia setelah abad ke-5 M.

Keempat, UU Perubahan atas UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Inilah UU pertama di Indonesia yang secara eksplisit menyebut pengakuan terhadap agama ‘resmi’ negara, dan anehnya itu dibuat di era reformasi. Kebijakan pemerintah hanya mengakui enam agama ‘resmi’ sangat bertentangan dengan spirit Pancasila dan konstitusi.

Selain berbagai kebijakan yang dijelaskan sebelumnya, hambatan struktural lainnya ialah UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003, Keputusan Presiden No 11/2003 tentang Penerapan Syariat Islam di Aceh, sejumlah peraturan daerah bernuansa agama yang mengandung pasal-pasal diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok keagamaan lainnya. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8/9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah dan masih banyak lagi.

Demikianlah hambatan struktural yang kasatmata dalam pemenuhan hak kebebasan beragama di Indonesia. Hambatan tersebut dapat diatasi melalui langkahlangkah konkret reformasi hukum. Negara juga perlu mendorong para pemuka agama mulai tingkat pusat sampai tingkat desa agar membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan melibatkan semua unsur agama di masyarakat (termasuk mereka yang digolongkan kafir dan sesat oleh kelompok lainnya). Dialog agama akan membuat masyarakat menjadi lebih demokratis dan menghargai kelompok lain yang berbeda.

Hambatan sosiokultural

Selain bersifat struktural, hambatan lain dalam upaya pemenuhan hak kebebasan beragama ialah hambatan sosiokultural, antara lain berupa sikap keagamaan masyarakat yang tidak toleran dan menyalahi prinsip pluralisme. Penghapusan diskriminasi menuju kebebasan beragama membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain pengakuan dan penghormatan atas pluralisme, stabilitas ekonomi, pemerintahan dengan legitimasi yang kuat, dan terakhir kelompok-kelompok masyarakat harus mempunyai cara pandang yang positif terhadap perbedaan, termasuk perbedaan agama.

Untuk itu, diperlukan regulasi yang mampu memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan berbasis agama. Tujuannya ialah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat, yaitu bahwa mereka sebagai manusia merdeka dan beradab, serta sebagai warga negara yang sah memiliki kebebasan dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama, serta mengembangkan potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. Regulasi tersebut harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih operasional dan terukur.

Harapan ke depan

Disadari bahwa upaya penegakan hak kebebasan beragama sungguh tidak mudah dan kuatnya kemauan politik pemerintah menjadi syarat utama. Kemauan politik yang dimaksudkan di sini ialah langkahlangkah konkret pemerintah untuk mengeliminasi semua bentuk hambatan yang dihadapi, baik di ranah struktural maupun bersifat sosiokultural.

Hambatan struktural dapat diatasi melalui upaya penghapusan semua kebijakan dan peraturan diskriminatif, dan selanjutnya menciptakan regulasi baru yang menjamin kebebasan beragama semua warga tanpa kecuali. Selanjutnya, hambatan nonstruktural dapat diatasi melalui pendidikan multikulturalisme dan pluralisme serta upaya restorasi sosial melalui penguatan prinsip kebinekaan dalam semua aspek kehidupan, terutama kehidupan keagamaan.

Kebebasan beragama merupakan syarat mutlak bagi tegaknya demokrasi substansial di Indonesia. Negara harus tegas berpihak pada Pancasila dan konstitusi, dan sedikit pun tidak boleh tunduk pada agen-agen kekerasan dan intoleransi yang berkedok agama. Akankah pemerintah Jokowi mengulangi kesalahan rezim sebelumnya yang membiarkan tumbuhnya intoleransi beragama di negeri ini? Sejarahlah yang menjawabnya. []

MEDIA INDONESIA, 12 Desember 2015
Musdah Mulia  ;  Ketua Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar