Potret
Kebebasan Beragama di Indonesia
Oleh:
Musdah Mulia
CAPAIAN
paling monumental dalam perlindungan kebebasan beragama selama masa reformasi
di Indonesia ialah UU No 39/1999 tentang HAM. Pasal 22 dari UU tersebut
memperkuat kembali jaminan kebebasan beragama seperti tertera dalam UUD 1945
Pasal 29. Jaminan bahwa setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Progres
lain terjadi di masa Presiden Abdurrahman Wahid, agama Konghucu diakui agama
sehingga para penganutnya mendapatkan pelayanan dan perlindungan secara resmi
dari negara. Kemudian Presiden Megawati mengakui Imlek sebagai hari besar
keagamaan. Sejak itu kita mengenal enam agama ‘resmi’. Sebelumnya, masa Orde
Baru hanya mengenal lima agama ‘resmi’. Sepatutnya, negara tidak perlu mendeklarasikan
agama mana yang dianggap ‘resmi’. Tugas negara ialah menjamin kebebasan
beragama semua warga tanpa diskriminasi sedikit pun.
Sepuluh
tahun masa pemerintahan SBY ialah masa stagnasi kebebasan beragama, tidak
tercatat prestasi apa pun dalam hal pemajuan dan perlindungan kebebasan
beragama. Itulah sebabnya, pasangan Jokowi-Kalla dalam kampanye pilpres lalu
mendapatkan dukungan publik yang luar biasa ketika menyebut merebaknya
intoleransi dan krisis kepribadian bangsa sebagai salah satu dari tiga problem
pokok bangsa yang harus segera diselesaikan. Jokowi sangat tegas menjanjikan
perlunya negara hadir dalam setiap konflik keagamaan dan pentingnya
perlindungan kebebasan beragama bagi setiap warga negara.
Namun,
setelah setahun lebih pemerintahan Jokowi, belum satu pun kasus-kasus
pelanggaran hak kebebasan beragama yang mendapatkan perhatian, apalagi
penyelesaian tuntas. Sebut saja sejumlah kasus yang masih menggantung, antara
lain seperti pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram, pengungsi Syiah di
Sampang, dan Gereja Yasmin di Bogor.
Konsep
kebebasan beragama
Berbagai
dokumen internasional tentang HAM menyebut hak kebebasan beragama sebagai
bagian dari basic human rights, yakni hak asasi manusia yang sangat mendasar
sebagai makhluk bermartabat (dignity). Hak itu dinilai amat perlu dan
mendapatkan prioritas di dalam hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional
maupun internasional.
Indonesia
sebagai negara pihak yang menandatangani Deklarasi Universal HAM mengemban
tanggung jawab moral dan hukum untuk melaksanakan kewajiban memenuhi hak
kebebasan beragama dan hak-hak lain yang tercantum di dalam piagam PBB
tersebut. UUD 1945, terutama setelah diamendemen, secara tegas pula
mencantumkan hak kebebasan beragama. Artinya, kebebasan beragama telah menjadi
hak konstitusional dari setiap warga negara Indonesia.
Lebih
lanjut UUD No 39/1999 tentang HAM juga menyatakan hal yang sama dan bahkan di
dalam penjelasannya disebutkan secara tegas dan jelas bahwa hak itu dijamin
tanpa adanya paksaan dari siapa pun juga.
Untuk
konteks Indonesia, jaminan kebebasan beragama terlihat jelas pada sejumlah
kebijakan berikut. UUD 1945 Pasal 28 E, Pasal 29 (ayat 2), UU No 12/2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik, Pasal 18 (ayat
1), UU No 39/1999 tentang HAM, Pasal 22 (ayat 1).
Tentu
saja hak kebebasan beragama setiap warga tidaklah bersifat mutlak, bukan hak
tanpa batas. Hak kebebasan beragama tetap harus dibatasi kewajiban dan tanggung
jawab seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, apa pun
agamanya. Hak itu pun dapat dibatasi oleh negara.
Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi
pemerintah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan
pembatasan-pembatasan dalam kehidupan keagamaan. Akan tetapi, pembatasan atau
pengaturan itu hanya boleh dilakukan dengan UU, serta alasan yang digunakan
ialah semata untuk perlindungan terhadap semua warga negara tanpa kecuali.
Dengan
demikian, tujuan utama pembatasan itu ialah untuk menangkal ancaman terhadap
keselamatan atas kehidupan, integritas, kesehatan warga negara atau kepemilikan
mereka. Pembatasan itu semata-mata dimaksudkan untuk melindungi keselamatan
masyarakat, bukan untuk mengurangi, apalagi membelenggu kebebasan masyarakat
dalam menjalankan ajaran agama.
Muncul
pertanyaan, elemen-elemen apa saja yang dapat dimuat di dalam pengaturan
pembatasan tersebut? Pembatasan dimaksud sebagaimana terbaca dalam Pasal 18,
ayat (3) mencakup lima hal. Pertama, pembatasan untuk melindungi keselamatan masyarakat.
Kedua, pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga
ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftarkan badan hukum organisasi
keagamaan masyarakat, mendapatkan izin untuk melakukan rapat umum, mendirikan
tempat ibadat yang diperuntukkan umum.
Ketiga,
pembatasan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Pembatasan yang diizinkan
berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya.
Pemerintah
diwajibkan melakukan vaksinasi, misalnya pemerintah dapat mewajibkan petani
yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota penerima askes guna mencegah
penularan suatu penyakit tertentu, seperti Tb. Bagaimana pemerintah harus
bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang transfusi darah,
melarang penggunaan helm pelindung kepala dan seterusnya.
Keempat,
pembatasan untuk melindungi moral masyarakat. Pembatasan dapat dilakukan
pemerintah, bahkan untuk binatang tertentu yang dilindungi UU agar tidak
disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.Kelima, pembatasan
untuk melindungi hak kebebasan orang lain.
Kebinekaan
agama di Indonesia
Slogan Bhinneka
Tunggal Ika ialah ikon kebanggaan Indonesia. Bangsa ini sadar betul bahwa
kebinekaan adalah fakta sosiologis yang sulit dimungkiri. Kebinekaan bangsa
Indonesia terlihat nyata dalam ras, etnik, agama, kepercayaan, warna kulit,
bahasa, dan tradisi.Semua bentuk kebinekaan itu menjadi modal sosial yang amat
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebinekaan
agama dan kepercayaan sangat mudah dijumpai di masyarakat. Masyarakat terdiri
dari penganut agama Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu, Baha'i,
Tao, Sikh, Yahudi, Kristen Ortodoks, dan penganut agama-agama perenial (tidak
punya bentuk formal). Bahkan ada juga yang mengaku tidak beragama. Selain itu,
dikenal ratusan kepercayaan lokal (indigenous religions), seperti
Parmalim di Sumatra Utara, Kaharingan di Kalimantan, Sapto Darmo di Jawa
Tengah, Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, dan Tolotang di Sulawesi
Selatan. Jumlah mereka diprediksikan lebih dari 10 juta jiwa.
Bukan
hanya itu, dalam satu agama terdapat pula beragam sekte dan aliran. Dalam
Islam, misalnya, dikenal kelompok Sunni dan Syiah. Sunni sendiri terbagi dalam
banyak mazhab, demikian halnya Syiah. Di luar itu ada lagi kelompok-kelompok
lain, seperti Ahmadiyah, hadir dan berkembang di Tanah Air sejak 1920.
Kebinekaan serupa juga ditemukan dalam Konghucu, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha,
dan lainnya.
Mengapa
itu terjadi? Bicara tentang agama hakikatnya ialah bicara tentang interpretasi
agama, dan faktanya tidak ada interpretasi tunggal dalam agama dan kepercayaan
mana pun. Sepanjang interpretasi agama tidak membawa kepada pemutlakan agama
dan kepercayaan tertentu, tindak kekerasan, dan pemaksaan terhadap kelompok
lain yang berbeda, lalu apa yang salah? Kebinekaan agama merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dihindari, apalagi diingkari. Yang penting ialah
setiap warga menjaga agar tidak melakukan hal-hal yang dapat mengganggu dan
mencederai sesama warga bangsa, tidak memaksakan agama pada orang lain, tidak
melakukan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap orang lain.
Sayangnya,
data tentang fakta kebinekaan agama tersebut tak muncul dalam dokumen resmi
negara, tetapi hanya ditemukan dalam laporan sejumlah LSM, seperti ICRP, Setara
Institute, Wahid Institute, dan sejumlah dokumen organisasi lain yang menekuni
isu penegakan HAM. Hal itu disebabkan negara tak sungguh-sungguh mengelola
kehidupan umat beragama dengan secara demokratis yang menjamin kebebasan
beragama bagi semua warga sesuai landasan Pancasila dan konstitusi, serta
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Hambatan
struktural
Upaya
pemenuhan dan penegakan hak kebebasan beragama menghadapi berbagai hambatan,
baik bersifat struktural maupun kultural. Hambatan struktural berupa kebijakan
dan UU di tingkat nasional, regional dan lokal yang diskriminatif dan jauh dari
nilai-nilai konstitusional.
Pertama,
UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Kebijakan itu jelas menunjukkan pembatasan kebebasan Upaya pemenuhan dan
penegakan hak kebebasan beragama menghadapi berbagai hambatan, baik bersifat
struktural maupun kultural. Hambatan struktural berupa kebijakan dan UU di
tingkat nasional, regional dan lokal yang diskriminatif dan jauh dari
nilai-nilai konstitusional.
Pertama,
UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Kebijakan itu jelas menunjukkan pembatasan kebebasan beragama dengan melarang
munculnya interpretasi lain yang berbeda dengan pokok-pokok ajaran suatu agama.
Sebab, pokok-pokok ajaran agama pun bisa sangat multitafsir tergantung siapa
penafsirnya.
Dalam
implementasinya, pemerintah menjadikan kebijakan ini untuk mengekang berbagai
interpretasi dan penafsiran agama yang berbeda dengan pandangan mainstream.
Akibatnya, sejumlah kelompok keagamaan dipidanakan, seperti penganut Ahmadiyah,
pengikut Lia Eden, dan penganut Syiah.
Kedua,
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No 477/74054/1978 yang antara lain
menyebutkan agama yang diakui pemerintah yaitu Islam, Katolik,
Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Sejak itu, lekatlah istilah agama ‘resmi’
atau ‘diakui’ dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu saja pengakuan ini
berdampak pada pengabaian hakhak kebebasan beragama penganut agama lain di luar
agama yang diakui ‘resmi’ tersebut.
Ketiga,
Tap MPR No II/MPR/1998 tentang GBHN. Kebijakan ini sangat diskriminatif
terhadap penganut agamaagama lokal (indigenous religions). Mereka
diminta untuk kembali ke agama induk, padahal menurut mereka agama merekalah
yang pantas disebut sebagai induk. Sebab, bagi mereka keenam agama yang
dinyatakan ‘resmi’ tiada lain hanyalah agama impor, yang datang ke Indonesia
setelah abad ke-5 M.
Keempat,
UU Perubahan atas UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Inilah UU
pertama di Indonesia yang secara eksplisit menyebut pengakuan terhadap agama
‘resmi’ negara, dan anehnya itu dibuat di era reformasi. Kebijakan pemerintah
hanya mengakui enam agama ‘resmi’ sangat bertentangan dengan spirit Pancasila
dan konstitusi.
Selain
berbagai kebijakan yang dijelaskan sebelumnya, hambatan struktural lainnya
ialah UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003, Keputusan Presiden No 11/2003
tentang Penerapan Syariat Islam di Aceh, sejumlah peraturan daerah bernuansa
agama yang mengandung pasal-pasal diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok
keagamaan lainnya. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No
8/9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah dan masih banyak lagi.
Demikianlah
hambatan struktural yang kasatmata dalam pemenuhan hak kebebasan beragama di
Indonesia. Hambatan tersebut dapat diatasi melalui langkahlangkah konkret
reformasi hukum. Negara juga perlu mendorong para pemuka agama mulai tingkat
pusat sampai tingkat desa agar membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan
melibatkan semua unsur agama di masyarakat (termasuk mereka yang digolongkan
kafir dan sesat oleh kelompok lainnya). Dialog agama akan membuat masyarakat
menjadi lebih demokratis dan menghargai kelompok lain yang berbeda.
Hambatan
sosiokultural
Selain
bersifat struktural, hambatan lain dalam upaya pemenuhan hak kebebasan beragama
ialah hambatan sosiokultural, antara lain berupa sikap keagamaan masyarakat
yang tidak toleran dan menyalahi prinsip pluralisme. Penghapusan diskriminasi
menuju kebebasan beragama membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain pengakuan
dan penghormatan atas pluralisme, stabilitas ekonomi, pemerintahan dengan
legitimasi yang kuat, dan terakhir kelompok-kelompok masyarakat harus mempunyai
cara pandang yang positif terhadap perbedaan, termasuk perbedaan agama.
Untuk
itu, diperlukan regulasi yang mampu memproteksi warga dari tindakan
diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan berbasis agama. Tujuannya ialah
menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang
bermartabat, yaitu bahwa mereka sebagai manusia merdeka dan beradab, serta
sebagai warga negara yang sah memiliki kebebasan dalam berpendapat,
berkeyakinan dan beragama, serta mengembangkan potensi-potensi yang terkandung
di balik hak-hak tersebut. Regulasi tersebut harus mendefinisikan kebebasan
beragama secara lebih operasional dan terukur.
Harapan
ke depan
Disadari
bahwa upaya penegakan hak kebebasan beragama sungguh tidak mudah dan kuatnya
kemauan politik pemerintah menjadi syarat utama. Kemauan politik yang
dimaksudkan di sini ialah langkahlangkah konkret pemerintah untuk mengeliminasi
semua bentuk hambatan yang dihadapi, baik di ranah struktural maupun bersifat
sosiokultural.
Hambatan
struktural dapat diatasi melalui upaya penghapusan semua kebijakan dan
peraturan diskriminatif, dan selanjutnya menciptakan regulasi baru yang
menjamin kebebasan beragama semua warga tanpa kecuali. Selanjutnya, hambatan
nonstruktural dapat diatasi melalui pendidikan multikulturalisme dan pluralisme
serta upaya restorasi sosial melalui penguatan prinsip kebinekaan dalam semua
aspek kehidupan, terutama kehidupan keagamaan.
Kebebasan
beragama merupakan syarat mutlak bagi tegaknya demokrasi substansial di
Indonesia. Negara harus tegas berpihak pada Pancasila dan konstitusi, dan
sedikit pun tidak boleh tunduk pada agen-agen kekerasan dan intoleransi yang
berkedok agama. Akankah pemerintah Jokowi mengulangi kesalahan rezim sebelumnya
yang membiarkan tumbuhnya intoleransi beragama di negeri ini? Sejarahlah yang
menjawabnya. []
MEDIA
INDONESIA, 12 Desember 2015
Musdah Mulia ; Ketua Indonesian Conference on
Religions and Peace (ICRP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar