Kamis, 17 Desember 2015

Buya Syafii: MKD



MKD
Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Secara resmi, MKD adalah singkatan dari Majelis Kehormatan Dewan. Kata Dewan mesti diteruskan lagi agar jelas apa yang dimaksud: menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan 17 anggota, tiga orang merangkap pimpinan.

Jika hanya bicara dalam bingkai serbalegal normatif, “Resonansi” tidak perlu ditulis. Sebab, pasti akan membosankan, seperti bosannya kita menonton sebagian besar wajah anggota DPR.

Namun, Tuan dan Puan tidak perlu terlalu pusing menonton drama politik yang sarat dengan sikap berpura-pura ini. Peradaban politik Indonesia baru sampai pada tingkat yang belum menggembirakan. Politik masih sebagai sawah-ladang karena cari kerja lain sungguh sulit. Maka, kerja politik bagi mereka yang pintar memutar kata dan mengumbar janji jauh lebih memikat. Tipe manusia model inilah yang sekarang jumlahnya berjibun di panggung politik daerah dan nasional.

Anda yang sempat dan jeli menonton sidang-sidang MKD pada Desember 2015 ini, tentu akan bertanya: ini sidang MKD dalam arti Majelis Kehormatan Dewan atau MKD dalam singkatan lain: Majelis Komidi Dewan. Wajah-wajah yang penuh semangat telah mencecar Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin dengan pertanyaan-pertanyaan tunamutu, tidak fokus pada masalah inti persoalan: percobaan berebut rezeki pada PT Freeport Indonesia (PTFI).

Jika yang terlibat bukan seorang pejabat negara sebagai Ketua DPR, tentu suasananya tidak akan memanas seperti hari-hari ini. Kongkalikong pejabat ini dengan seorang Muhammad Riza Chalid, pemain migas sejak lama, tidak bisa dimaknai lain kecuali sebuah najis politik yang dilakukan oleh jenis manusia tunaetika.

Karena dipicu oleh skandal yang sangat memalukan di atas, tidak mengherankan telah muncul dalam media sosial bermacam bentuk sarkasme lucu, tetapi menyakitkan. Salah satu sarkasme itu mengisahkan kunjungan anggota DPR dari berbagai negara ke Swiss belum lama ini. Saat mereka menumpang bus di sana, tiba-tiba bus itu masuk jurang. Semua penumpang pada geger otak, kecuali seorang yang hanya pening-pening saja.

Dokter Swiss penasaran untuk mengenal siapa orang ini, mengapa demikian hebat dan kuat tulang kepalanya sehingga otaknya terlindung tidak sampai geger. Karena penasaran, anggota DPR ini diperiksa oleh tim dokter spesialis dalam masalah otak. Apa hasilnya? Otak itu tidak dijumpai di kepalanya, tetapi malah bersembunyi di dengkulnya. Maka, maklumlah para dokter itu mengapa orang ini hanya sedikit pening saja dalam kecelakaan bus itu. Sarkasme macam ini bertebaran di media sosial.

Sarkasme ini jelas diciptakan oleh orang Indonesia untuk menunjukkan rasa muak dan marah yang luar bisa saat menonton sidang-sidang MKD dalam arti yang kedua tadi. Pada waktu sarkarme ini muncul, Ketua DPR Indonesia belum lagi menghadiri sidang tertutup yang diprotes publik dengan bahasa keras sebagai simbol ketidakpercayaan kepada lembaga yang anggotanya dipanggil sebagai yang mulia.

Sarkasme muncul ketika tatanan budaya bangsa sudah dalam proses membusuk, sementara para elitenya masih saja berlagak pilon dalam akrobatik politik, tidak sadar bahwa rakyat sedang jijik terhadap kelakuan mereka. Demokrasi di tangan mereka yang telah lumpuh kepekaan batinnya pasti akan mempercepat Indonesia menuju jurang malapetaka politik, ekonomi, sosial, dan moral.

Cobalah dengar baik-baik kepingan pembelaan Setya Novanto dalam sidang MDK itu. Terasa sekali telah disesatkan oleh pengacaranya: membicarakan etika dimulai dengan mempermasalahkan legal standing pelapor Sudirman Said, sedangkan substansi masalah malah tidak disentuh. Nama Riza pun dilindungi, tidak disebut.

Ajaibnya, dua Wakil Ketua DPR yang masih muda ini dengan caranya sendiri telah membela bosnya tanpa rasa malu, dengan mempertaruhkan karier politiknya di masa depan. Tentu, yang dua orang ini tidak termasuk mereka yang mengalami musibah di Swiss di atas.

Adapun Marsekal Muda Maroef Sjamsoeddin (Purn) sebagai presiden direktur PTFI yang kesaksiannya dalam sidang MKD saya ikuti sampai rampung tampak sekali piawai menahan diri, tanpa emosi. Rupanya dia memang terlatih sebagai mantan intel yang berbakat. Saya tidak kenal sosok ini, penilaian saya hanyalah sepintas lalu saja. []

REPUBLIKA, 15 Desember 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar