Bila Kimia Kawin Metalurgi di Kepala Sungging
Oleh:
Dahlan Iskan
Setidaknya
25 e-mail saya terima selama minggu lalu. Semua berisi pemikiran agar kita
tidak perlu impor coking coal untuk peleburan nikel kita.
Ada ahli yang sangat serius mengirimkan konsepnya. Ada yang
sekadar masukan. Misalnya, masukan bahwa di Sawahlunto, Sumbar, ada tambang
coking coal. Dia ingat Belanda dulu menambangnya untuk peleburan baja. Karena
itu, di zaman Belanda, Sawahlunto menjadi kota yang sangat hidup. Dan
melahirkan tokoh seperti Sofyan Wanandi, kini ketua tim penasihat Wapres.
Saya ingat pernah ke Sawahlunto saat mengatasi krisis listrik di
sana. Kota itu masih memperlihatkan sisa-sisa kejayaannya. Bekas bangunan
tambang masa lalu masih terlihat antik. Berdasar info itu, saya cari tahu ke
Dirut PT Bukit Asam, BUMN bidang batu bara, Bapak Milawarman. Itu karena masuk
wilayah kerja Bukit Asam.
“Batu bara Sawahlunto memang berkalori sangat tinggi,” jawabnya.
“Tapi, tidak memenuhi syarat sebagai coking coal.”
Ada juga e-mail dari seorang anak muda yang hebat di Cirebon.
Namanya Deni Zailani. Dia punya peternakan ayam. Kandang anak-anak ayam itu
perlu dihangatkan. Dulu dia menghangatkannya dengan elpiji. Sejak elpiji 3 kg
dilarang dipakai komersial, dia tidak kuat beli elpiji nonsubsidi. Secara
bisnis tidak masuk. Biaya terlalu mahal. Dia pun pindah ke batu bara. Tapi,
karena kotor, diprotes lingkungan.
Dia belum menyerah. Ini contoh anak muda yang ulet. Dia terus
mencari akal: Bikin arang dari bahan organik. Berkali-kali uji coba gagal.
Memperoleh komposisi ideal tidaklah mudah. Tapi, akhirnya berhasil. Kandang itu
kini dia hangatkan dengan charcoal bikinan sendiri. Bahkan, hitungannya lebih
murah dari elpiji bersubsidi.
“Apakah charcoal bikinan saya cocok untuk smelter?” tanyanya.
Dia minta dikirimi spek batu bara yang diinginkan. Dia akan
melakukan penelitian lebih lanjut.
Beberapa e-mail lagi berisi informasi tentang adanya cadangan
coking coal di Kalteng. Tapi, harus ditambang dulu. Dan untuk itu, harus
diteliti apakah kandungan kimiawinya memenuhi syarat.
Seorang ahli yang berpengalaman dari Cilacap menulis e-mail begini:
Teknologi membuat coking coal itu sudah tersedia. Tapi, investasinya mahal.
Bukan untuk memproses coking coal-nya, tetapi untuk mengatasi emisi gas
buangnya yang berbahaya. Karena itu, dia mengusulkan coking coal itu harus
dibuat oleh masing-masing smelter. Agar gas buangnya dimanfaatkan dalam proses
peleburan nikelnya. Ahli ini lantas menyertakan angka-angka, tabel-tabel, dan
perhitungan teknisnya.
Masalahnya, dari smelter-smelter yang baru dan akan dibangun itu,
tidak ada yang merencanakan integrasi seperti itu. Agar biaya investasinya
tidak meledak, mereka berprinsip lebih baik impor saja. Waktu merencanakan dulu
mereka tidak memperkirakan bahwa dolar akan bergejolak begini.
Lalu, saya tertarik pada e-mail yang satu ini: Dari ahli metalurgi
yang latar belakangnya ahli kimia. Mungkin gabungan ilmu kimia dan metalurgi
inilah yang membuatnya memiliki konsep yang amat berbeda. Ahli kimia murni atau
ahli metalurgi murni mungkin tidak pernah memikirkannya.
Nama orang itu tidak terlalu lazim untuk orang Jawa dari Madiun:
Dr Ir Sungging Pintowantoro MSc. Dia lahir di Dolopo dengan bapak anggota
TNI/CPM dari Madiun dan ibu dari Babat. Alumni SMAN 16 Surabaya ini masuk ITS
jurusan kimia. Lalu, memperdalam kimia lagi di S-2. Masih di kampus yang sama.
Nah, saat memperoleh kesempatan belajar ke Jepang, dia memilih ke Universitas
Tohoku di Sendai. Sungging memilih studi metalurgi. Empat tahun Sungging di
sana. Sampai memperoleh gelar doktor metalurgi.
Selama di Jepang Sungging menyadari bahwa Jepang tidak punya
sumber alam, tapi menguasai teknologi pengolahan sumber alam. Lalu, dia juga
tahu bahwa Indonesia sangat kaya akan nikel. Bahkan, dia tahu bahan mentah
nikel dari Indonesia itu banyak yang diolah di Tiongkok dengan cara yang dia
nilai kurang tepat: Menggunakan teknologi yang aslinya untuk pengecoran baja.
Hanya disesuaikan untuk nikel. Karena itu, hasilnya kurang maksimal. Dan
teknologi Tiongkok seperti inilah yang banyak didatangkan ke Indonesia
belakangan ini.
Dr Sungging lantas merenung. Ingin menciptakan smelter nikel yang
memang untuk peleburan nikel. Dia temukan teknologi itu. Dia bangun
miniplant-nya di ITS. Sudah diuji. Berhasil. Semua itu menggunakan anggaran
penelitian dari Kemenristek.
Sudah banyak yang datang ke ITS untuk bertemu Sungging. Tapi,
belum ada satu pun yang menjadi kenyataan.
Saya tidak heran. Inilah problem utama bangsa ini. Sulit
mewujudkan hasil penelitian bangsa sendiri. Biarpun penelitiannya dibiayai oleh
negara. Saya jamin tidak akan ada BUMN atau perusda atau instansi mana pun yang
berani mulai menggunakannya. Pasti akan terperangkap birokrasi. Lalu, terjerat
perkara.
Jeratan seperti itu pernah mengusik pikiran saya. Lama. Lalu, saya
temukan: terobosan untuk mengatasinya. Agar bisa mengakomodasi hasil riset
seperti ini. Tanpa birokrasi yang sulit, tanpa terjerat perkara. Sayangnya,
cara itu baru saya temukan di akhir masa jabatan saya sebagai menteri BUMN.
Saya tidak sempat memaksakannya menjadi sebuah peraturan.
Kalau ada yang ingin tahu seperti apa cara itu, saya tidak
keberatan menuliskannya minggu depan. Meskipun, bagi saya pribadi, itu hanya
akan memperbanyak penyesalan. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar