Senin, 14 Desember 2015

Azyumardi: Quo Vadis Guru Besar? (2)



Quo Vadis Guru Besar? (2)
Oleh : Azyumardi Azra

Jauh tidak memadainya jumlah guru besar di Indonesia bersumber dari banyak masalah yang membuat mereka sulit mencapat derajat profesor. Jumlah gurubesar relatif tidak banyak bertambah dalam sepuluh tahun terakhir. Jumlah gurubesar yang pensiun atau mangkat tidak tergantikan jumlah mereka yang berhasil mendapat jabatan akademik guru besar dalam beberapa tahun terakhir.

Karena itu, para guru besar perlu dipertanyakan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Quo vadis guru besar atau mau ke mana para profesor Indonesia? Penulis Resonansi ini mendapat tugas dari Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) untuk menjawab pertanyaan yang rumit jawabannya dalam Konperensi Guru Besar PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) tiga hari (29/11-1/12/2015) yang menghadirkan sekitar 400-an guru besar dari seluruh Tanah Air.

Berbicara tentang kesulitan mencapai  jabatan akademik fungsional professorship terkait banyak dengan kian ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal lingkungan akademik dan sosial di mana para dosen calon guru besar tidak kondusif dari banyak segi.

Lihatlah misalnya para gurubesar dan dosen lain harus berhadapan dengan  birokratisasi PT yang kian membunuh imajinasi dan kreativitas. Mereka diperlakukan tidak ubahnya seperti buruh pabrik. Semua dosen diwajibkan hadir di kampus setiap hari dengan absensi sidik jari (fingerprint) di waktu mulai jam kerja dan di akhir jam kerja. Padahal kewajiban mengajar mereka bisa dilaksanakan sepenuhnya dalam dua hari.

Berhadapan dengan ‘ancaman’ dicabut tunjangannya, para dosen tidak punya pilihan kecuali ‘mematuhi’ kebijakan birokratisasi dosen dan PT secara keseluruhan. Mereka tak ubahnya seperti karyawan administrasi yang memang harus melayani berbagai urusan mahasiswa setiap hari.

Birokratisasi melalui finger print boleh jadi bisa dilakukan jika para dosen tinggal di lingkungan dekat kampus. Tetapi jika banyak di antara mereka tinggal di tempat jauh dari kampus—seperti di Bekasi atau di Bogor dalam kasus UIN Jakarta—sehingga harus berhadapan dengan kemacetan luar biasa berjam-jam, jelas kebijakan tersebut sangat menyiksa. Keadaan ini agaknya juga berlaku bagi para dosen di kota-kota lain.

Selain itu, para dosen umumnya tidak punya kantor atau ruang privasi di mana mereka bisa bekerja atau mangkal di kampus. Jadi,di mana mereka harus menunggu sampai finger print di akhir jam kerja? Haruskah mereka luntang lantung; atau kembali ke rumah dan bertarung lagi menghadapi kemacetan?

Birokratisasi paling akhir adalah kewajiban registrasi ulang PNS termasuk dosen/guru besar (e-PUPNS). Menurut estimasi, mempertimbangkan tenggat waktu 15 September 2015, sekitar 120 ribu dosen terancam bakal kehilangan status PNS karena’malas’ atau ‘enggan’ melakukan her-registrasi PNS. Bayangkan kerepotan dosen/GB yang harus menyiapkan ijazah sejak dari SD sampai S2, S3, segala macam SK (CPNS dan PNS), surat izin belajar, Buku Nikah sampai Berita Acara Sumpah PNS, dan banyak lagi.

Selain itu, para dosen PNS sebagai aparatur sipil negara juga wajib melaporkan harta kekayaan sesuai Surat Edaran MenPAN-RB No 1/2015. Kini bukan hanya dosen yang mendapat tugas tambahan sebagai pimpinan akademik dan manajerial di lingkungan PT yang harus melaporkan harta kekayaan, tetapi juga mereka yang sejak pengangkatan menjadi PNS hanya dosen biasa—tidak pernah menjadi pejabat dan/atau PPK (pejabat pembuat komitmen) yang tidak pernah mendapat tunjangan jabatan, remunerasi, dan honorarium ini dan itu.

Birokratisasi di atas merupakan rentetan dari sejumlah birokratisasi lain. Misalnya lagi, para dosen—termasuk gurubesar harus mempersiapkan [laporan] Beban Kerja Dosen (BKD) yang memerlukan waktu cukup lama untuk mengisi borang dan mempersiapkan bukti penunjangnya.

Berbagai kebijakan birokratisasi tersebut tidak selalu bersumber dari keinginan meningkatkan kualitas gurubesar/dosen. Beberapa tahun lalu pernah ada pernyataan dari pejabat Dikti-Dikbud, banyak dosen yang baru memperoleh gelar DR atau PhD buru-buru ingin jadi profesor karena tunjangan guru besar yang telah cukup besar. Jadi, motifnya dicurigai hanya untuk mengejar duit.

Dalam waktu lebih akhir, terlihat juga kecurigaan pejabat tinggi di lingkungan Kemenristek-Dikti dan KemenPAN-RB terkait PUPNS bahwa para dosen harus menyerahkan kembali seluruh ijazahnya sejak dari SD sampai PT karena dicurigai ada yang menggunakan ijazah palsu.

Begitu juga dengan laporan harta kekayaan yang juga terlihat muncul dari persepsi ala model KPK yang diadopsi Inspektorat Jenderal Kementerian, bahwa setiap orang, khususnya PNS, harus dicurigai potensial korupsi. Jelas ada PNS—di PT baik dosen atau tenaga administratif—yang korupsi, tetapi mencurigai setiap dan seluruh orang melakukan korupsi jelas bukan sikap yang benar dan baik dalam konteks perundang-undangan negara maupun ajaran agama.

Quo vadis guru besar? Jika para guru besar dapat ditingkatkan kuantitas dan kualitas, tidak ada alternatif lain kecuali penataan menyeluruh kebijakan PT. Selama PT masih dikolonisasi Kementerian, hampir tidak ada otonomi, fasilitas tidak memadai, gaji juga relatif tidak kompetitif, jelas sulit bagi PTKI dan PT lain di Tanah Air untuk dapat memiliki guru besar yang memadai dari sudut jumlah dan sekaligus berkualitas tinggi untuk bisa kompetitif di kancah akademik global. []

REPUBLIKA, 10 Desember 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar