Dialog
dengan Pimpinan KPK, 2015-2019
Oleh :
Ahmad Syafii Maarif
Pimpinan
baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alex
Marwata, Laode Muhammad Syarif, Saut Situmorang, menjalani masa induksi selama
seminggu untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak sebagai bahan
pertimbangan bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya empat tahun ke depan.
Franz Magnis-Suseno dan saya dapat giliran pada Rabu, 23 Desember 2015, pukul
13.20-15.15, bertempat di kantor KPK, Jakarta.
Kelima
pimpinan hadir, dimoderatori dengan lancar oleh Kepala Diklat KPK (Rosana
Fransisca). Jadi, ada tujuh orang yang hadir dalam pertemuan siang itu.
Kepada
kami diminta untuk menggambarkan harapan publik terhadap pimpinan KPK yang baru
dilantik Senin, 21 Desember, oleh Presiden Joko Widodo. Saya yang diminta
bicara lebih dulu. Biasa, saya jelaskan bahwa di antara anak kandung gerakan
Reformasi, KPK adalah yang paling tinggi mendapat perhatian publik karena
lembaga ini dinilai relatif berhasil melawan korupsi, sekalipun sebenarnya
indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2015 masih berada pada angka 117 dari
175 negara di dunia.
Dengan
demikian, sebenarnya tingkat korupsi di Indonesia masih sangat tinggi sejak UU
Anti Korupsi No 30/2002 mulai dilaksanakan pada 2003. Sudah 12 tahun berjalan,
kinerja KPK dinilai yang paling fenomenal memberantas korupsi, sekalipun indeks
persepsi publik masih dengan angka di atas.
Karena
kejahatan korupsi sudah menjadi darah daging di Indonesia, proses
pemberantasannya sungguh sangat sulit. Yang diperlukan bukan hanya revolusi
mental, melainkan amputasi mental.
Mengapa
sulit? Kepada para komisioner itu saya tegaskan: negara tidak sungguh-sungguh
untuk membasmi korupsi itu. Negara di sini diwakili oleh pemerintah dan DPR
yang selama ini lebih banyak mengumbar retorika tinimbang mendukung KPK secara
riil dalam menjalankan tugas UU di atas.
Dalam
perjalanan ke KPK, saya dititipi pesan oleh seorang pengusaha barang kelontong
dengan kalimat yang menggelitik ini, “ISIS saja berani mati membela kesesatan,
KPK tentu juga berani mati untuk membela kebenaran.” Pesan ini saya bacakan
kepada para komisioner itu yang ditanggapi dengan bertepuk tangan.
Semoga
saja tepuk tangan ini sebagai tanda setuju, bukan karena gaya pesannya dengan
bahasa perbandingan yang sedikit menyentak. Saya tambahkan agar para komisioner
akan tampil sebagai petarung sejati untuk membebaskan dan menyelamatkan negeri
ini dari kanker korupsi.
Magnis-Suseno
menyarankan agar para komisioner yang baru tidak perlu menghiraukan pesimisme
publik terhadap mereka dengan syarat langkah mereka ke depan benar-benar nyata
untuk melawan korupsi sehingga mampu membangun optimisme kembali. Tentu, kita
berharap pimpinan KPK yang sekarang ini memang bertekad bulat untuk menghalau
korupsi itu sampai ke batas yang sangat jauh, sesuatu yang masih harus kita
tunggu.
Saya
katakan dalam tempo dua-tiga bulan, publik akan membaca arah kebijakan mereka
apakah akan bisa menepis pesimisme atau tidak. Sebagai seorang yang berpikir
positif, saya lebih bijak menanti kinerja mereka daripada memberi hukuman di
awal perjalanan.
Kini,
giliran para komisioner untuk memberi tanggapan terhadap apa yang kami
sampaikan. Dimulai oleh ketuanya, Agus Rahardjo. Ditegaskannya bahwa tingkat
korupsi sudah demikian parah, trust (kepercayaan) publik begitu rendah
kepada lembaga-lembaga negara. Masjid, gereja, dan lain-lain rumah ibadah tidak
banyak berfungsi melawan korupsi.
Diteruskan
oleh Basaria Panjaitan bahwa gagasan revisi UU KPK adalah untuk memperkuat
lembaga ini, bukan untuk melemahkannya. Dikatakan bahwa mereka berlima kompak
sekali. Tentu, pernyataan-pernyataan semacam ini perlu pembuktian dalam
perjalanan waktu sebagai ujian bagi kepemimpinan mereka. Katanya, komunikasi
internal akan dilakukan terus-menerus, termasuk dengan Magnis-Suseno dan Syafii
Maarif.
Seperti
dikatakan Basaria, Laode M Syarif juga akan tetap menghubungi Magnis-Suseno dan
Syafii Maarif untuk minta saran-saran. Sekalipun, katanya, dipilih oleh lembaga
politik, “tetapi kami adalah KPK”. Ketika saya usulkan agar dibentuk Badan
Pengawasan Independen untuk KPK, oleh Laode dijawab bahwa mereka telah
menyetujui usul itu.
Komisioner
Alex Marwata mengatakan bahwa korupsi bisa dideteksi sejak dini karena para
koruptor biasa membuat perusahaan fiktif. Oleh sebab itu, kata Alex, rakyat
dimohon selalu memberikan info kepada KPK.Terakhir, komisioner Saut Situmorang
mengatakan bahwa UU Tipikor 1971 sudah cukup bagus, tetapi tidak dijalankan.
Lalu, Saut bertanya, “Ada apa dengan peradaban kita?”
Itulah
sekadar kepingan-kepingan dialog antara kami dan pimpinan KPK angkatan keempat
ini. Untuk selanjutnya kita tunggu janji-janji mereka di tengah-tengah
pesimisme yang merata di kalangan rakyat banyak terhadap mereka. []
REPUBLIKA,
29 Desember 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar