Kamis, 10 Desember 2015

Buya Syafii: KPK Itu Anak Haram?



KPK Itu Anak Haram?
Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Dengan segala boroknya di sana-sini, setidak-tidaknya era Reformasi telah melahirkan empat lembaga penting untuk melawan korupsi, penegakan konstitusi/hukum, dan pemantauan aliran dana: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dengan segala kelemahannya, secara relatif, keempat lembaga ini telah berjalan dengan baik.

Tentu saja yang paling menonjol adalah KPK karena langsung berhadapan dengan kultur hitam yang telah menggurita di Indonesia sejak lama berupa korupsi yang memiskinkan rakyat banyak. Resonansi ini khusus menyoroti KPK yang keberadaannya dirasakan sangat menakutkan pihak-pihak yang bermental korup. Jika memang demikian faktanya, apakah KPK ini dinilai sebagai anak haram?

Adalah sebuah ironi yang amat menyakitkan, sebuah lembaga antirasuah yang dilahirkan oleh UU No 30/2002 malah hendak dikebiri dan dilumpuhkan. Apa arti semuanya ini? Tidak sulit untuk menjawabnya: negara memang tidak sungguh-sungguh untuk melumpuhkan korupsi.

Negara di sini diwakili oleh pemerintah dan DPR. Jika pemerintah memang sungguh-sungguh ingin membersihkan bangsa dan negara ini dari perbuatan korupsi, apa sulitnya menyelesaikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus Bank Century yang menggerogoti pundi-pundi negara dalam angka yang mengerikan.

Dalam menghadapi masalah korupsi ini, pemerintah dan DPR sering benar main kucing-kucingan sehingga kejahatan luar biasa itu seperti mau dipelihara. Beberapa tahun yang lalu, ada presiden yang berjanji: saya akan pimpin sendiri pemberantasan korupsi itu. Kenyataan yang berlaku sebaliknya: korupsi malah semakin menjadi-jadi, hampir pada semua lini kehidupan.

Oleh sebab itu, akan sia-sialah rakyat berharap agar korupsi menghilang dari kultur politik dan ekonomi Indonesia karena memang negara dan DPR berada dalam satu perahu: tidak ingin korupsi diberantas sampai tuntas karena banyak benar pihak yang bermain di dunia hitam itu. Lalu bagaimana dengan UU No 30 di atas?

Dulu ditetapkan sebagai UU sebenarnya lebih didorong oleh desakan publik pasca-Orde Baru, bukan karena kesadaran para elite untuk membersihkan lumbung negara dari para penggarong. Dalam kaitan inilah kita harus membaca mengapa pemerintah dan DPR gencar sekali untuk merevisi UU KPK itu agar lembaga ini semakin tak berdaya, agar usianya tidak melebihi 12 tahun, agar wewenang penyadapnya harus melalui pengadilan negeri.

Jika izin menyadap harus melalui lembaga pengadilan, sebenarnya KPK telah masuk kerangkeng. Sebab, selama ini pengadilan negeri sangat rentan masuk angin dan berkompromi dengan pihak-pihak yang prokorupsi.

Saya sendiri tidaklah dalam posisi untuk mengatakan KPK itu serbasuci. Kekuasaannya yang luar biasa itu memang bisa saja disalahgunakan oleh pimpinannya yang lemah integritas dan kabur visi moralnya. Juga kebiasaan memperlakukan seseorang sebagai tersangka dalam tempo yang terlalu lama adalah di antara kelemahan KPK yang dapat melukai rasa keadilan publik.

Oleh sebab itu, saya mengusulkan dibentuk Badan Pengawas Independen yang bertugas “menjewer” pimpinan KPK manakala berperilaku yang tidak sesuai dengan rasa keadilan publik. Badan ini harus berdasarkan ketetapan presiden agar punya kekuatan pengawasan yang ketat, terdiri dari mereka yang dikenal lurus, berani, dan dengan integritas yang tidak diragukan. Tidak seperti lembaga penasihat KPK yang selama ini dibentuk oleh pimpinan KPK sendiri yang sama sekali tidak berdaya berhadapan dengan pimpinan.

Dengan sedikit catatan penting ini, KPK bagi saya tidak perlu dibatasi umurnya sampai suatu saat lembaga penegak hukum lain yang lebih tua: kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan telah berfungsi secara benar, adil, dan bersih dari korupsi. Jika suasana itu telah tercipta, baru kita boleh kita berdiskusi tentang umur KPK.

Pada saat sekarang, sikap membatasi umur KPK sama saja dengan melindungi para koruptor yang sudah lama gentayangan menghisap kekayaan bangsa dan negara untuk kepentingan dirinya sendiri. Rakyat banyak dibiarkan telantar dalam kubangan kemiskinan dan dalam suasana putus asa.

Apakah ada pengkhianatan yang lebih busuk dan lebih kejam dari perilaku tunamoral yang membawa kehancuran bangsa ini? Menganggap KPK sebagai anak haram adalah pengingkaran secara sengaja terhadap ruh UU yang dibuat sendiri. []

REPUBLIKA, 08 Desember 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar