KPK Itu
Anak Haram?
Oleh :
Ahmad Syafii Maarif
Dengan
segala boroknya di sana-sini, setidak-tidaknya era Reformasi telah melahirkan
empat lembaga penting untuk melawan korupsi, penegakan konstitusi/hukum, dan
pemantauan aliran dana: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi
(MK), Komisi Yudisial (KY), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK). Dengan segala kelemahannya, secara relatif, keempat lembaga ini telah
berjalan dengan baik.
Tentu
saja yang paling menonjol adalah KPK karena langsung berhadapan dengan kultur
hitam yang telah menggurita di Indonesia sejak lama berupa korupsi yang
memiskinkan rakyat banyak. Resonansi ini khusus menyoroti KPK yang
keberadaannya dirasakan sangat menakutkan pihak-pihak yang bermental korup.
Jika memang demikian faktanya, apakah KPK ini dinilai sebagai anak haram?
Adalah
sebuah ironi yang amat menyakitkan, sebuah lembaga antirasuah yang dilahirkan
oleh UU No 30/2002 malah hendak dikebiri dan dilumpuhkan. Apa arti semuanya
ini? Tidak sulit untuk menjawabnya: negara memang tidak sungguh-sungguh untuk
melumpuhkan korupsi.
Negara di
sini diwakili oleh pemerintah dan DPR. Jika pemerintah memang sungguh-sungguh
ingin membersihkan bangsa dan negara ini dari perbuatan korupsi, apa sulitnya
menyelesaikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus Bank Century
yang menggerogoti pundi-pundi negara dalam angka yang mengerikan.
Dalam
menghadapi masalah korupsi ini, pemerintah dan DPR sering benar main
kucing-kucingan sehingga kejahatan luar biasa itu seperti mau dipelihara.
Beberapa tahun yang lalu, ada presiden yang berjanji: saya akan pimpin sendiri
pemberantasan korupsi itu. Kenyataan yang berlaku sebaliknya: korupsi malah
semakin menjadi-jadi, hampir pada semua lini kehidupan.
Oleh
sebab itu, akan sia-sialah rakyat berharap agar korupsi menghilang dari kultur
politik dan ekonomi Indonesia karena memang negara dan DPR berada dalam satu
perahu: tidak ingin korupsi diberantas sampai tuntas karena banyak benar pihak
yang bermain di dunia hitam itu. Lalu bagaimana dengan UU No 30 di atas?
Dulu
ditetapkan sebagai UU sebenarnya lebih didorong oleh desakan publik pasca-Orde
Baru, bukan karena kesadaran para elite untuk membersihkan lumbung negara dari
para penggarong. Dalam kaitan inilah kita harus membaca mengapa pemerintah dan
DPR gencar sekali untuk merevisi UU KPK itu agar lembaga ini semakin tak
berdaya, agar usianya tidak melebihi 12 tahun, agar wewenang penyadapnya harus
melalui pengadilan negeri.
Jika izin
menyadap harus melalui lembaga pengadilan, sebenarnya KPK telah masuk kerangkeng.
Sebab, selama ini pengadilan negeri sangat rentan masuk angin dan berkompromi
dengan pihak-pihak yang prokorupsi.
Saya
sendiri tidaklah dalam posisi untuk mengatakan KPK itu serbasuci. Kekuasaannya
yang luar biasa itu memang bisa saja disalahgunakan oleh pimpinannya yang lemah
integritas dan kabur visi moralnya. Juga kebiasaan memperlakukan seseorang
sebagai tersangka dalam tempo yang terlalu lama adalah di antara kelemahan KPK
yang dapat melukai rasa keadilan publik.
Oleh
sebab itu, saya mengusulkan dibentuk Badan Pengawas Independen yang bertugas
“menjewer” pimpinan KPK manakala berperilaku yang tidak sesuai dengan rasa
keadilan publik. Badan ini harus berdasarkan ketetapan presiden agar punya
kekuatan pengawasan yang ketat, terdiri dari mereka yang dikenal lurus, berani,
dan dengan integritas yang tidak diragukan. Tidak seperti lembaga penasihat KPK
yang selama ini dibentuk oleh pimpinan KPK sendiri yang sama sekali tidak
berdaya berhadapan dengan pimpinan.
Dengan
sedikit catatan penting ini, KPK bagi saya tidak perlu dibatasi umurnya sampai
suatu saat lembaga penegak hukum lain yang lebih tua: kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan telah berfungsi secara benar, adil, dan bersih dari korupsi.
Jika suasana itu telah tercipta, baru kita boleh kita berdiskusi tentang umur
KPK.
Pada saat
sekarang, sikap membatasi umur KPK sama saja dengan melindungi para koruptor
yang sudah lama gentayangan menghisap kekayaan bangsa dan negara untuk
kepentingan dirinya sendiri. Rakyat banyak dibiarkan telantar dalam kubangan
kemiskinan dan dalam suasana putus asa.
Apakah
ada pengkhianatan yang lebih busuk dan lebih kejam dari perilaku tunamoral yang
membawa kehancuran bangsa ini? Menganggap KPK sebagai anak haram adalah
pengingkaran secara sengaja terhadap ruh UU yang dibuat sendiri. []
REPUBLIKA,
08 Desember 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar