Selasa, 15 Desember 2015

Kang Komar: Pertanyaan Abadi dan Eksistensial



Pertanyaan Abadi dan Eksistensial
Oleh: Komaruddin Hidayat

Dari zaman ke zaman selalu muncul pertanyaan, apakah hidup ini merupakan anugerah yang mesti disyukuri dan dirayakan? Ataukah tragedi yang pantas disesali dan diratapi? Atau semua ini hanyalah ketidaksengajaan tanpa skenario?

Jawaban orang pasti berbeda-beda. Begitu pun dalam mengisi waktu dan jatah umur, seseorang mungkin saja merasa terlalu singkat, terutama bagi mereka yang usianya sudah memasuki angka 60 tahun. Tapi bagi mereka yang te-ngah berada di dalam penjara, jalannya waktu dirasakan sangat lambat. Jadi, ukuran panjang-pendek umur dan waktu sangat berkaitan dengan suasana psikologis seseorang.

Pada umumnya kalangan teolog dan filsuf berpandangan positif tentang hidup sekalipun sulit diingkari ada kesan narasi kitab suci yang menyiratkan bahwa kehidupan di dunia ini merupakan kelanjutan dari kehidupan Adam yang terusir dari alam surgawi. Dalam pandangan Islam, Adam telah diampuni dan anak cucunya tidak terbebani dosa asal. Bahkan manusia diberi mandat dan predikat wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fi al-ardhi).

Meskipun begitu tidak dapat diingkari bahwa hidup memang merupakan serial suka dan duka. Bagi mereka yang berpandangan negatif-pesimistis, kehidupan ini merupakan serial derita, diawali dengan jeritan tangis ketika terlahirkan dan diakhiri dengan kesedihan serta kebisuan di ujung perjalanannya. Di sana terdapat tiga pandangan tentang kehidupan.

Ada yang melihatnya sebagai derita dan kutukan, yang lain melihatnya sebagai anugerah Tuhan yang mesti disyukuri dan dirayakan. Lalu, yang ketiga , mereka tidak begitu peduli pada pertanyaan teologis dan ontologis, yang penting hidup dijalani dengan kesiapan beradaptasi dengan situasi baru yang menjemputnya Dunia manusia adalah dunia makna.

Manusia bukan sebuah mesin yang bekerja otomatis tanpa motif dan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam setiap geraknya. Manusia senantiasa bertanya dan mempertanyakan eksistensinya. Makanya agama selalu hadir dan diperlukan sepanjang zaman karena agama memberikan acuan makna serta tujuan hidup sekalipun oleh sebagian orang agama tak lebih sebagai mitos dan dongeng belaka.

Salah satu ciri dan identitas manusia adalah selalu bertanya, merasa dirinya dikurung misteri, lalu tak pernah berhenti mencari jawaban di luar kebutuhan dan aktivitas fisiknya. Setelah kebutuhan fisik terpenuhi, muncul pertanyaan ontologis, semua yang ada ini akhirnya akan menuju ke mana? Ada lagi pertanyaan etis, adakah nilai kebaikan dari yang kita perjuangkan dan raih ini?

Dalam ajaran agama-agama besar dunia terdapat doktrin yang sangat fundamental, yaitu beriman tentang adanya Tuhan dan adanya kehidupan lanjut setelah kematian. Keyakinan ini membawa implikasi sangat jauh terhadap pikiran dan perilaku seseorang. Bagi orang beriman, setiap tindakan lalu diniati sebagai pengabdian kepada Tuhan karena akan membawa implikasi moral pada kehidupan akhirat kelak.

Apakah tindakannya akan mendekatkan pada surga ataukah neraka, pada kebahagiaan ataukah penderitaan? Kesadaran transendental di atas menjadikan dunia manusia lebih luas, melewati batas ruang dan waktu empiris yang kita ketahui dan jalani selama ini. Dunia manusia tidak lagi sebatas makan dan minum layaknya dunia nabati dan hewani.

Hidup dan kehidupan tidak bermula dan berakhir dalam batas dunia ini. Kalau saja kita mau mengamati, merenung, dan membuat refleksi terhadap semua realitas di sekeliling kita, satu hal yang pasti: semua benda dan tindakan selalu berkaitan dengan yang lain. Selalu menimbulkan pertanyaan eksistensial, awal dan akhir dari semuanya ini, pertanyaan alfa dan omega. Misalnya kita melihat tukang kayu membuat kursi. Kursi baru benar-benar menjadi kursi ketika ia diduduki.

Jika ada sebuah kursi tetapi tidak pernah diduduki, ia baru potensial menjadi sebuah kursi. Ketika ada orang duduk di kursi, pertanyaan pun muncul, untuk kepentingan apa seseorang duduk? Misalnya saja dia duduk untuk istirahat dan makan. Pertanyaan berikutnya muncul, setelah makan kenyang untuk apa? Untuk bekerja, misalnya. Kita bertanya lagi, bekerja apa, untuk apa dan siapa?

Demikianlah seterusnya, setiap tindakan tidak berhenti di situ, melainkan selalu berada dalam jejaring alam dan sosial. Tidak mungkin kita berdiri terlepas dari yang lain. Makanya orang yang bersikap egois-individualistis hanya menunjukkan kepicikannya. Seakan semuanya bisa dicukupi oleh diri sendiri. Bahkan ketika orang melamun sendiri, dia tetap membutuhkan objek di luar dirinya untuk dilamunkan.

Ketika orang berbuat baik ataupun jahat, dia tetap memerlukan objek di luar dirinya untuk menyalurkan kebaikan atau kejahatannya. Dari sudut pandang agama, sungguh tepat sabda Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat bagi sesamanya. Kalaupun tidak bisa memberi manfaat, minimal jangan merugikan pihak lain.

Dalam sabdanya yang lain disebutkan, berbicaralah yang baik, kalau tidak bisa lebih baik diam. Ketika agenda hidup dijalani dengan rutin tanpa kesadaran maknawi, seseorang sesungguhnya sudah mati sebelum mati. Ketika seorang eksekutif tengah antusias mengejar karier, misalnya, hal itu mesti disertai pertanyaan kontemplatif, apa ukuran sukses itu?

Bisa jadi ada orang merasa kayaraya, tetapi ketika hidupnya tidak sempat menaklukkan hartanya dengan membelanjakan di jalan kebaikan dan kebenaran untuk membantu meringankan beban hidup sesamanya, jangan-jangan dia tak ubahnya sebagai centeng atau satpam bagi hartanya.

Dia bukan majikan dari hartanya. Ketika ada mahasiswa tengah berjuang untuk meraih titel sarjana, muncul pertanyaan etis-teologis, untuk kepentingan apa dan siapa ilmu dan titel yang dikejarnya? Rasulullah mengingatkan, sebaik-baik ilmu adalah yang paling banyak mendatangkan manfaat bagi diri dan orang lain.

Bobot ilmu dan titel sarjana akhirnya terletak pada manfaat yang dibuatnya, bukan jumlah titel yang dikumpulkan, bukan pula jabatan yang dipeluknya. Aristoteles pernah dibuat kagum dan tercenung ketika mengamati kebunnya. Bahwa setiap biji pohon ketika disebar dan ditanam, semuanya mengarah pada tujuan yang pasti. Ada gerak teleologis , berkembang ke depan sesuai dengan potensinya.

Biji mangga kalau tumbuh akan jadi pohon mangga. Biji beringin meskipun kecil akan tumbuh jadi pohon beringin yang besar. Lalu bagaimana halnya dengan manusia? Ternyata manusia memiliki dimensi dan potensi yang tak terduga. Manusia memiliki nafsu, intelektualitas, imajinasi, dan kemerdekaan menentukan langkahnya.

Sejarah manusia penuh dengan eksperimentasi, trial and error. Beruntunglah bangsa yang mau belajar dari kesalahan masa lalu dan kesalahan bangsa lain lalu tidak mengulangi tindakan serupa. Kecuali bangsa yang bebal. []

KORAN SINDO, 11 Desember 2015
Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar