Menikah dengan Nama Baru,
Sahkan Bercerai dengan Nama Lama?
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. Wb. Seseorang perempuan
menikah dengan nama baru (pemberian kiai) dan di akta nikahnya tertulis sesuai
dengan nama aslinya. Kemudian terjadi perceraian, di Pengadilan Agama digunakan
nama sesuai dengan akta nikah tersebut. Sahkah perceraian tersebut, karna nama
yang berbeda waktu akad nikahnya...terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Tabrani – Kuala Tungkal
Jawaban:
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah swt. Dalam sebuah kehidupan rumah tangga perceraian merupakan hal yang
sangat tidak diinginkan. Tetapi memang akhir-akhir sepengetahuan kami tingkat
perceraian pasangan suami-isteri sangat tinggi. Padahal kita juga semua sudah
mengetahui bahwa perceraian meskipun halal tetapi merupakan hal yang Allah swt
tidak sukai.
أَبْغَضُ
اَلْحَلَالِ عِنْدَ اَللَّهِ اَلطَّلَاقُ
“Perkara halal yang paling dibenci Allah swt
adalah cerai” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Sedangkan mengenai seseorang perempuan
menikah dengan nama baru (pemberian kiai) dan di akta nikahnya tertulis sesuai
dengan nama aslinya. Kemudian terjadi perceraian, di Pengadilan Agama digunakan
nama sesuai dengan akta nikah tersebut, maka hemat kami merupakan kasus yang
menarik. Sebab, biasanya yang kami temui adalah perceraian tetapi dengan
menggunakan nama yang tidak tertera di KTP atau dalam akta nikah.
Hal yang harus dipahami dalam kasus
perceraian ini adalah bahwa saat menikah dengan menggunakan nama baru pemberian
sang kyai itu sebenarnya adalah nama lain dari nama yang sudah ada. Dengan kata
lain, namanya lebih dari satu, tetapi individunya (musamma) adalah sama.
Dalam pandangan kami, perceraian tersebut
tetap sah, meskipun dengan nama yang tidak tersebut pada saat akad nikah.
Sebab, yang menjadi acuan dalam hal ini adalah bukan namanya, tetapi yang
diberi nama atau individunya. Nama boleh saja berbeda, tetapi orangnya tetap
sama. Karena itu acuannya adalah orangnya (al-musamma), bukan nama itu sendiri.
اَلْعِبْرَةُ
بِالْمُسَمَّى لَا بِالْاِسْمِ
“Yang menjadi acuan pokok adalah yang
disemati (al-musamma), bukan nama (al-ism) itu sendiri” (Lihat, Ali bin Sulthan
Muhammad al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarhu Misykah al-Mashabih, juz, 13, h. 66)
Demikian jawaban singkat ini yang dapat kami
kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami jangan lakukan
perceraian kecuali memang sudah tidak ada jalan lain. Dan kami selalu terbuka
untuk menerima saran dan kritik dari pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar