Jumat, 18 Desember 2015

Dahlan: Tidak Harus Tunggu James dan Sakhira Menua



Tidak Harus Tunggu James dan Sakhira Menua
Oleh: Dahlan Iskan

Memang Colombia melahirkan penyanyi waka-waka Sakhira dan bintang Real Madrid James Rodriguez, tapi dua alasan berikut inilah yang membuat Kolombia menjadi bintang baru dalam model pembangunan ekonomi sebuah negara miskin.

Pertama, pemerintah Kolombia berhasil mengatasi mafia cocain di Medellin yang begitu melegenda. Dengan tokoh utamanya Pablo Escobar itu.

Zaman kartel yang mengerikan berhasil dilewati. Meski korban tewas sudah terlanjur begitu besar: tiga calon presiden, satu jaksa agung, satu menteri hukum, 120 hakim, belasan wartawan dan 1.200 polisi. Semua tewas di tangan mafia.

Kedua, pemberontakan bersenjata hampir di seluruh negeri yang berlangsung 50 tahun terakhir sudah reda. Juga setelah membawa korban lebih 600.000 di kedua belah pihak. Bulan lalu nota perdamaian ditandatangani.

Maret tahun depan  adalah final perdamaiannya. Setelah DPR menyetujui RUU perdamaian itu.

Aman, damai, stabil dan tidak gaduh adalah kunci utama dimulainya era pembangunan ekonomi di Kolombia. Yang sekarang gegap gempita. Kini investor dari seluruh dunia mengincar Kolombia. Di segala bidang. Tiongkok baru saja memenangkan proyek jalan tol 200 km.

Infrastruktur di Kolombia memang masih ketinggalan. Untung penduduknya tidak terlalu besar seperti kita. Hanya 48 juta. Tapi wilayah utamanya yang penuh perbukitan menjadi faktor penyulit pembangunan. Di samping menjadi faktor daya tarik karena bukan main indahnya. Separo wilayah negeri itu bak Priangan semua: hijau, indah, sejuk, bergunung-gunung.

Untuk menerobos kesulitan itu Kolombia meluncurkan paket kontrak 4G. Peraturan dirombak. Keterbukaan tender dibuat telanjang. Hasilnya, 4 tahun terakhir ini saja berhasil ditandatangani kontrak proyek PPP (Public Private Partnership) sebanyak 26 proyek. Termasuk terowongan menembus gunung 8,7 km dan jembatan antar gunung sepanjang Suramadu: 4,7 km.

Sambil berbincang bersama Wakil Menteri Perhubungan Kolombia dan Dubes Indonesia Nien Tri Mulyani  di Bogota Senin lalu saya teringat sesuatu: selama 10 tahun terakhir Indonesia hanya berhasil menandatangani satu proyek PPP.

Saya tahu karena yang satu itu memang yang jadi tanggungjawab saya saat itu. Puluhan lainnya, termasuk pemanfaatan air umbulan di Jatim, masih terhambat birokrasi. Sampai sekarang.

Apakah pembebasan tanahnya tidak masalah? Bukankah demokrasi Kolombia juga multi partai yang tidak pernah ada pemenang mutlaknya? Bukankah pemilihan presiden, gubernur dan walikotanya juga dilakukan secara langsung?

Benar. Tapi sudah diterobos. Harga tanah yang terkena proyek misalnya,  ditentukan lembaga independen. Penentuan harganya sangat fair. Pemilik tanah yang tidak mau terkena proyek diberi waktu 25 hari. Lewat dari itu justru hanya akan dibayar 50 persennya!

Ribuan proyek lagi dilelang. Untuk mengejar ketinggalan. Jarak dua kota terbesarnya (Bogota-Medellin) yang hanya 30 menit lewat udara harus ditempuh selama 12 jam jalan darat.

Semua penghambat diatasi. Jabatan politik dibatasi. Gubernur, bupati dan wali kota hanya boleh menjabat satu periode. Itu pun hanya empat tahun. Masa jabatan presiden pun juga hanya akan boleh satu periode, 6 tahun. Presiden sekarang, Juan Manuel Santos, adalah presiden terakhir yang boleh menjabat dua periode.

Kolombia memang jauh dari Indonesia. Tapi negara itu akan maju tidak lama lagi. Itulah yang akan membuatnya terasa dekat. Tidak salah kita satu-satunya negara Asia Tenggara yang punya kedutaan di sana.

Politiknya, hobi pindah partainya, kulturnya, pembawaan orangnya, tahapan kelas ekonominya, keramahan penduduknya, suka ngomongnya, begitu mirip dengan kita. Hanya saja Kolombia sudah punya Rene Heguita, James Rodriguez dan Sakhira.

Menarik untuk terus dilihat dan dibandingkan: Indonesia dan Kolombia. Siapa yang akan lebih maju 15 tahun yang akan datang. Saat James dan Sakhira sudah tua. (***)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar