Rabu, 23 Desember 2015

Yudi Latif : Dari Kemarau Menuju Hujan Harapan



Dari Kemarau Menuju Hujan Harapan
Oleh: Yudi Latif

KEKERINGAN dan asap tebal yang mengepung langit Indonesia sekitar setahun terakhir seperti isyarat alam yang melukiskan peralihan kehidupan bangsa dari musim semi pengharapan. Kemunculan pemerintahan Joko Widodo dan M Jusuf Kalla ditandai kegairahan musim semi kesukarelaan yang membangkitkan harapan. Setelah sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin (relatif) autentik mengembalikan darah segar ke jantung politik.

Kehadiran darah segar itu lantas dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan, yang digerakkan simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul relawan itu bergerak serempak mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian.Sontak saja, Indonesia pun disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif, energik, dan kreatif.

Sayang sekali, bulan madu musim semi pengharapan itu begitu cepat berlalu. `Pembajakan' kekuasaan oleh kekuatan oportunistis dan investor politik serta pertikaian berkepanjangan antarkubu politik, yang menyeret konflik internal dalam lingkaran dalam kekuasaan, meniupkan udara panas ke jantung politik.Mendapati para petinggi politik dengan jiwa kenegarawanan yang kering, udara panas itu pun begitu cepat membakar ranting jiwa yang kering, menimbulkan kebakaran di berbagai lini dengan menyisakan asap tebal di langit kekuasaan.

Ketika pusat kuasa diliputi kabut, para penyelenggara negara sering kali tidak bisa mengambil keputusan dengan pikiran yang jer nih. Berbagai kebijakan diambil dengan risiko yang harus ditanggung rakyat kebanyakan. Kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, BBM, dan gas elpiji terus naik harganya dengan pasokan yang makin sulit diperoleh di pasar. Di saat yang sama, kemerosotan nilai tukar rupiah bersamaan dengan kenaikan tarif kereta ekonomi, pengenaan PPN atas tarif listrik dan tol, kenaikan biaya meterai dan berbagai kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya kian membebani rakyat.

Subsidi untuk rakyat dipangkas, tapi subsidi sumbangan pembelian mobil bagi pejabat negara dinaikkan. Kebocoran pendapatan negara tetap tak bisa ditekan dan pembiayaan negara kembali bergantung pada utang luar negeri.Konflik dan pertikaian antarlembaga negara merebak di ruang publik dan melemahkan kebersamaan. Institusi KPK sebagai mahkota reformasi untuk pemerintahan bersih mengalami hantaman dan demoralisasi yang menggoyahkan eksistensinya.

Pusat teladan

Partai-partai politik sebagai pilar demokrasi kehilangan independensi dan kesolidannya karena penetrasi aneka kepentingan dari luar yang mengarah pada perpecahan, tanpa komitmen pemerintah untuk menjaga iklim yang sehat bagi pertumbuhan kepartaian.

Kemerosotan otoritas kepemimpinan dan pertikaian elite ini bersejalan dengan peningkatan kerawanan sosial; tindak kriminalitas, aksi-aksi pembegalan, perampokan dan pembunuhan, serta radikalisme mewarnai kehidupan rakyat sehari-hari.

Dalam situasi gelap seperti itu, Presiden dan Wakil Presiden belum mampu menunjukkan diri sebagai pusat teladan dan pusat harapan.Konflik kepentingan antara Presiden dan Wakil Presiden bisa dirasakan sensitivitas publik; dan tarik-menarik kepentingan di antara keduanya merembet pada pertikaian dalam internal kabinet.

Dalam menghadapi cobaan berat yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara ini, kita tidak boleh hanyut dalam irama adu domba dan kehilangan orientasi. Cobaan berat ini justru harus kita hadapi dengan memperkuat semangat gotong royong; melawan setiap usaha pecahbelah; serta meneguhkan kembali komitmen untuk mengedepankan keselamatan bangsa di atas kepentingan sempit perseorangan dan golongan.

Di tengah penderitaan rakyat dan pertikaian elite, perlu ditumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan para pemimpin dan aparatur negara. Seperti diingatkan Bung Hatta, “Indonesia luas tanahnya dan besar daerahnya dan sebagai Nusantara tersebar letaknya. Oleh karena itu, soal-soal yang mengenai pembangunan ne gara Indonesia yang merdeka dan kuat tak sedikit jumlahnya dan tidak pula mudah adanya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita, jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.“

Dalam menunaikan rasa tanggung jawab itu, hendaklah disadari bahwa berbagai cobaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini mencerminkan kekeliruan kita dalam menjalankan sistem pemerintahan negara karena penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan semangat Konstitusi Proklamasi. Untuk itu, para penyelenggara negara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus kembali ke rel pemerintahan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Kemaslahatan publik

Perlu adanya perbaikan tata negara dan tata kelola negara yang lebih sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila dan konstitusi dalam mewujudkan aspirasi demokrasi (pemberdayaan rakyat) dan tujuan bernegara. Dalam kaitan itu, faktor kepemimpinan memainkan peran kunci. Demokrasi yang bermaksud memuliakan kedaulatan rakyat menghendaki kepemimpinan yang `kuat'; yakni kepemimpinan berbasis hukum dengan menjalankan amanat konstitusi, seperti tecermin dalam isti lah `demokrasi konstitusional' (constitusional democracy).

Dengan kata lain, demokrasi yang dijalankan tidak bisa bersifat generik yang bisa diambil begitu saja dari pengalaman negara lain, betapa pun majunya negara tersebut. Demokrasi harus disesuaikan dengan falsafah dasar dan amanat konstitusi, yang merupakan abstraksi dari kesadaran dan jati diri bangsa.
Komitmen utama konstitusi dan kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya untuk mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods). Hal itu berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif.

Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial. Klaim itu bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses permusyawaratan publik (public deliberation) secara bebas, setara, dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah, peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).

Setelah basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya ialah kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada `keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'. Pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat. Pemimpin negara, sebagai mata hati dan mata nalar rakyat, harus berani mengambil sikap prorakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara.

Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga; yakni identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai perwujudan dari civic nationalism (yang berbasis demokrasi konstitusional), dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektifnya, mulai mendapatkan an caman dari meruyaknya aspirasi politik identitas yang bersemangat partikularistik.

Fungsi pemimpin negara di tengah gelombang ekstremitas dalam masyarakat benar-benar sedang diuji. Betapapun Presiden/Wakil Presiden tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sekali mereka terpilih anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama. 

Kepemimpinan Presiden/Wakil Presiden lebih dari sekadar `petugas partai', tapi petugas seluruh rakyat Indonesia yang harus dilayaninya. Terlalu besar taruhannya jika Presiden tidak lagi mendengar jerit tangis ratusan juta rakyat hanya karena lebih mengutamakan kepentingan perseorangan dan golongan.
Dalam situasi krisis akut dengan darurat ke pemimpinan, dunia politik memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar. Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang baik (good leader), melainkan pemimpin agung (great leader). Keagungan di sini tidaklah merefleksikan kapasitas untuk mendominasi dan memaksa, tetapi terpancar dari kesejatian karakter untuk mengasihi, melindungi, mengurus, dan menertibkan.

Singkat kata, diperlukan kepemimpinan moral yang dapat menambatkan kembali biduk-biduk yang oleng pada jangkar keyakinan. Tentang hal ini, Khalifah Umar memberikan petunjuk, “Yang dapat memangku kepemimpinan ini adalah orang yang tegas tapi tak sewenang-wenang, lembut tapi tidak lemah, murah hati tapi tidak boros, hemat tapi tak kikir. Hanya orang seperti itulah yang mampu.“ []

MEDIA INDONESIA, 10 Desember 2015
Yudi Latif  ;  Pakar Kebangsaan dan Kenegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar