Dari
Kemarau Menuju Hujan Harapan
Oleh:
Yudi Latif
KEKERINGAN
dan asap tebal yang mengepung langit Indonesia sekitar setahun terakhir seperti
isyarat alam yang melukiskan peralihan kehidupan bangsa dari musim semi
pengharapan. Kemunculan pemerintahan Joko Widodo dan M Jusuf Kalla ditandai
kegairahan musim semi kesukarelaan yang membangkitkan harapan. Setelah sekian
lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin
(relatif) autentik mengembalikan darah segar ke jantung politik.
Kehadiran
darah segar itu lantas dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan
semangat perubahan, yang digerakkan simpul-simpul relawan yang tersebar di
seluruh pelosok negeri. Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul
relawan itu bergerak serempak mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan
institusi kepartaian.Sontak saja, Indonesia pun disapu gelombang partisipasi
politik rakyat yang masif, energik, dan kreatif.
Sayang
sekali, bulan madu musim semi pengharapan itu begitu cepat berlalu.
`Pembajakan' kekuasaan oleh kekuatan oportunistis dan investor politik serta
pertikaian berkepanjangan antarkubu politik, yang menyeret konflik internal
dalam lingkaran dalam kekuasaan, meniupkan udara panas ke jantung
politik.Mendapati para petinggi politik dengan jiwa kenegarawanan yang kering,
udara panas itu pun begitu cepat membakar ranting jiwa yang kering, menimbulkan
kebakaran di berbagai lini dengan menyisakan asap tebal di langit kekuasaan.
Ketika
pusat kuasa diliputi kabut, para penyelenggara negara sering kali tidak bisa
mengambil keputusan dengan pikiran yang jer nih. Berbagai kebijakan diambil
dengan risiko yang harus ditanggung rakyat kebanyakan. Kebutuhan pokok
masyarakat seperti beras, BBM, dan gas elpiji terus naik harganya dengan
pasokan yang makin sulit diperoleh di pasar. Di saat yang sama, kemerosotan
nilai tukar rupiah bersamaan dengan kenaikan tarif kereta ekonomi, pengenaan
PPN atas tarif listrik dan tol, kenaikan biaya meterai dan berbagai kenaikan
harga-harga kebutuhan lainnya kian membebani rakyat.
Subsidi
untuk rakyat dipangkas, tapi subsidi sumbangan pembelian mobil bagi pejabat
negara dinaikkan. Kebocoran pendapatan negara tetap tak bisa ditekan dan
pembiayaan negara kembali bergantung pada utang luar negeri.Konflik dan
pertikaian antarlembaga negara merebak di ruang publik dan melemahkan
kebersamaan. Institusi KPK sebagai mahkota reformasi untuk pemerintahan bersih
mengalami hantaman dan demoralisasi yang menggoyahkan eksistensinya.
Pusat
teladan
Partai-partai
politik sebagai pilar demokrasi kehilangan independensi dan kesolidannya karena
penetrasi aneka kepentingan dari luar yang mengarah pada perpecahan, tanpa
komitmen pemerintah untuk menjaga iklim yang sehat bagi pertumbuhan kepartaian.
Kemerosotan
otoritas kepemimpinan dan pertikaian elite ini bersejalan dengan peningkatan
kerawanan sosial; tindak kriminalitas, aksi-aksi pembegalan, perampokan dan
pembunuhan, serta radikalisme mewarnai kehidupan rakyat sehari-hari.
Dalam
situasi gelap seperti itu, Presiden dan Wakil Presiden belum mampu menunjukkan
diri sebagai pusat teladan dan pusat harapan.Konflik kepentingan antara
Presiden dan Wakil Presiden bisa dirasakan sensitivitas publik; dan
tarik-menarik kepentingan di antara keduanya merembet pada pertikaian dalam
internal kabinet.
Dalam
menghadapi cobaan berat yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara ini, kita tidak boleh hanyut dalam irama adu domba dan kehilangan
orientasi. Cobaan berat ini justru harus kita hadapi dengan memperkuat semangat
gotong royong; melawan setiap usaha pecahbelah; serta meneguhkan kembali
komitmen untuk mengedepankan keselamatan bangsa di atas kepentingan sempit
perseorangan dan golongan.
Di tengah
penderitaan rakyat dan pertikaian elite, perlu ditumbuhkan rasa tanggung jawab
di kalangan para pemimpin dan aparatur negara. Seperti diingatkan Bung Hatta,
“Indonesia luas tanahnya dan besar daerahnya dan sebagai Nusantara tersebar
letaknya. Oleh karena itu, soal-soal yang mengenai pembangunan ne gara
Indonesia yang merdeka dan kuat tak sedikit jumlahnya dan tidak pula mudah
adanya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh
mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai
pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita,
jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat,
keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.“
Dalam
menunaikan rasa tanggung jawab itu, hendaklah disadari bahwa berbagai cobaan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini mencerminkan kekeliruan kita dalam
menjalankan sistem pemerintahan negara karena penyimpangan terhadap nilai-nilai
Pancasila dan semangat Konstitusi Proklamasi. Untuk itu, para penyelenggara
negara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus kembali ke rel pemerintahan
yang sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Kemaslahatan
publik
Perlu
adanya perbaikan tata negara dan tata kelola negara yang lebih sejalan dengan
prinsip-prinsip Pancasila dan konstitusi dalam mewujudkan aspirasi demokrasi
(pemberdayaan rakyat) dan tujuan bernegara. Dalam kaitan itu, faktor
kepemimpinan memainkan peran kunci. Demokrasi yang bermaksud memuliakan
kedaulatan rakyat menghendaki kepemimpinan yang `kuat'; yakni kepemimpinan
berbasis hukum dengan menjalankan amanat konstitusi, seperti tecermin dalam
isti lah `demokrasi konstitusional' (constitusional democracy).
Dengan
kata lain, demokrasi yang dijalankan tidak bisa bersifat generik yang bisa
diambil begitu saja dari pengalaman negara lain, betapa pun majunya negara
tersebut. Demokrasi harus disesuaikan dengan falsafah dasar dan amanat
konstitusi, yang merupakan abstraksi dari kesadaran dan jati diri bangsa.
Komitmen
utama konstitusi dan kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya untuk
mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan
publik (public goods). Hal itu berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi,
kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif.
Basis
legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa
institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh
rakyat secara imparsial. Klaim itu bisa dipenuhi jika segala keputusan politik
yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses permusyawaratan publik
(public deliberation) secara bebas, setara, dan rasional. Hanya dengan
penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah, peraturan
dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua
warga dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu
(strong).
Setelah
basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya ialah kesejahteraan
ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang
ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan ujung pencapaian nilai-nilai ideal
kebangsaan harus bermuara pada `keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'.
Pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi
dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat.
Pemimpin negara, sebagai mata hati dan mata nalar rakyat, harus berani
mengambil sikap prorakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan
bangsa dan negara.
Semuanya
itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga; yakni identitas
kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai perwujudan dari
civic nationalism (yang berbasis demokrasi konstitusional), dengan Pancasila
sebagai titik temu solidaritas kolektifnya, mulai mendapatkan an caman dari
meruyaknya aspirasi politik identitas yang bersemangat partikularistik.
Fungsi
pemimpin negara di tengah gelombang ekstremitas dalam masyarakat benar-benar
sedang diuji. Betapapun Presiden/Wakil Presiden tampil karena dukungan partai
atau kelompok tertentu, sekali mereka terpilih anasir-anasir partikularistik
harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama.
Kepemimpinan
Presiden/Wakil Presiden lebih dari sekadar `petugas partai', tapi petugas
seluruh rakyat Indonesia yang harus dilayaninya. Terlalu besar taruhannya jika
Presiden tidak lagi mendengar jerit tangis ratusan juta rakyat hanya karena
lebih mengutamakan kepentingan perseorangan dan golongan.
Dalam
situasi krisis akut dengan darurat ke pemimpinan, dunia politik memerlukan
peran kepemimpinan yang lebih besar. Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang
baik (good leader), melainkan pemimpin agung (great leader). Keagungan di sini
tidaklah merefleksikan kapasitas untuk mendominasi dan memaksa, tetapi
terpancar dari kesejatian karakter untuk mengasihi, melindungi, mengurus, dan
menertibkan.
Singkat
kata, diperlukan kepemimpinan moral yang dapat menambatkan kembali biduk-biduk
yang oleng pada jangkar keyakinan. Tentang hal ini, Khalifah Umar memberikan
petunjuk, “Yang dapat memangku kepemimpinan ini adalah orang yang tegas tapi
tak sewenang-wenang, lembut tapi tidak lemah, murah hati tapi tidak boros,
hemat tapi tak kikir. Hanya orang seperti itulah yang mampu.“ []
MEDIA
INDONESIA, 10 Desember 2015
Yudi Latif ; Pakar Kebangsaan dan Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar